Sabtu, 21 November 2009

SULTAN HAMID II, FEDERALISME DAN NASIB BORNEO

Sultan Hamid II, seorang Sultan Pontianak yang saya anggap paling berjaya meneguhkan keberadaan Kalimantan Barat sebagai daerah yang seharusnya diperhitungkan dan dihargai sebagai negeri yang bermarwah.
Sebagai seorang tokoh yang sudah kenyang asam garam perpolitikan pra kemerdekaan, semasa kemerdekaan dalam prosesi pembentukan identitas Negara Republik Indonesia ini dan turut menjadi tokoh yang mempunyai perana dalam periode awal kemerdekaan, maka eksistensi Sultan Hamid II tak pelak bagi saya menjadi percontohan yang mesti dibanggakan oleh masyarakat Kalimantan Barat.
Meskipun selama sejarah negara ini berkembang, penuh cerita yang manipulatif, sehingga peranan-peranan putra Kalimantan ini diabaikan dan tiada dianggap sebagai tokoh yang memainkan peranan dalam pembentukan negara-bangsa ini.

Sultan Hamid II di-stereotipekan sebagai pemberontak, anti negara kesatuan, dalang APRA, dan sebagainya. Sehingga dengan gampangnya sejarah yang dimunculkan mentadbirkan Sultan Hmid II sebagai sosok antagonis dalam republik ini.
Boleh jadi sejarah dan pencatatan sejarah tidak berpihak kepada Sultan yang cerdas ini, inilah penyakit negara bangsa yang kerap dengan mudahnya menghilangkan jasa-jasa dan apa-apa yang telah diperbuat seseorang hanya karena adanya perbedaan pandangan, adanya perbedaan visi seperti mengenai ideologi dan model/bentuk negara, serta adanya pertentangan politik akibat perbedaan itu, terutama jika bertentangan dengan rezim yang berkuasa. Karena rezim yang berkuasalah yang menentukan seperti apa sejarah hendak dicatat dan diceritakan kepada generasi berikutnya.
Dalam hal tiadanya pengakuan negara, Sultan Hamid tiada sendiri, ada Tan Malaka tokoh Pergerakan yang Revolusioner nan berjasa, tapi mati karena bangsanya sendiri, ada Semaun yang tidak dihargai jasanya sebagai tokoh yang bergerak untuk memperjuangkan bangsanya, jauh sebelum 1945, tapi tak dianggap hanya karena Semaun seorang yang berfaham kiri marxis sama halnya dengan Tan Malaka. Ada Natsir, yang keluar masuk penjara oleh bangsa yang diperjuangkannya, ada Alex Evert Kawilarang seorang militer mumpuni yang hilang jejak sejarahnya hanya karena bermusuhan dan bermasalah dengan rezim Orba. Dan masih banyak yang lain lagi.
………………..
Sultan Hamid II, Sultan Pontianak seorang lulusan Akademi Militer Breda Belanda, menjadi perwira tentara KNIL (Koninklijk Nederland Indische Leger) dengan pangkat Major, Sultan Hamid II mempunyai jejaring diplomatik yang amat sangat berpengaruh dalam upaya mendapatkan pengakuan atas kedaulatan negeri ini. Namun kedekatannya dengan pemerintahan kolonial Belanda kerap dijadikan argumentasi bahwa Sultan Hamid II adalah pengkhianat.
Apalagi ketika tokoh ini menjadi ketua sebuah daerah federasi dengan nama Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) pada awal tahun 1948 yang membawahi daerah swapraja dan neo-swapraja di Kalimantan Barat. Pemerintahan DIKB terdiri dari 40 orang anggota dewan legislatif yang terdiri daripada 15 orang wakil swapraja dan neo-Swapraja, 8 orang wakil golongan etnik Dayak, 5 orang wakil etnik Melayu, 8 orang wakil etnik Cina, 4 orang wakil daripada Indo Belanda. Sedangkan pemerintahan DIKB dipimpin Sultan Hamid II selaku kepala daerah dengan wakilnya iaitu Nieuwhusysen yang kemudian digantikan Masjhoer Rifai’i. Dalam menjalankan pemerintahan sehariannya, Sultan Hamid selaku kepala DIKB dibantu oleh sebuah Badan Pemerintah Harian (BPH) yang beranggota 5 orang, iaitu J.C Oevaang Oeray, A.F Korak, Mohamad Saleh, Lim Bak Meng, dan Nieuwhusysen.
Lantas kemudian memimpin delegasi BFO yang lebih setuju negara ini sebagai negara federal pada Konferensi Meja Bundar (KMB) Den Haag. Maka cukup sudah alasan untuk menyingkirkan dan mengubur dalam-dalam jasa-jasa Sultan Hamid II.
Sultan Hamid II adalah seorang federalis, namun bukan berarti beliau seorang yang tidak nasionalis. Ia mendukung pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS), tetapi ia tetap menolak keinginan pemerintah Belanda untuk menjadikan Kalimantan Barat sebagai sebuah negara bagiannya. Hal ini yang dihilangkan dari sejarah! Padahal, kalau Sultan Hamid II dengan kecakapan dan keluasan jaringan diplomasinya pada saat itu, jika memang menginginkan DIKB menjadi negara bagian Belanda, maka boleh jadi Kalimantan Barat sekarang bukan bagian dari Republik ini.
Cita-cita Sultan Hamid II bersama-sama ketua-ketua daerah swapraja dan neo-swapraja lainnya sederhana sekali, bahwa dengan egara federalis, mereka menginginkan kesepakatan seperti yang telah mereka buat yakni untuk membentuk pemerintahan Kalimantan Barat sebagai sebuah daerah istimewa, sebagaimana kedudukan Kesultanan Yogyakarta yang berstatus sebagai provinsi daerah istimewa yang masih wujud sampai saat ini. Tapi karena federalisnya ini Sultan Hamid menjadi korban perjuangan politiknya bahkan seumur hidup jatuh dalam fitnah ‘pemberontak.’
Sultan Hamid II dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Denhaag, sebagai wakil negara-negara bagian dan daerah federasi dengan gigihnya memperjuangkan agar negara Indonesia tetap menjadi sebuah negara federal dengan Republik Indonesia Serikat (RIS). Selaku ketua DIKB, Sultan Hamid II berusaha agar status Kalimantan Barat sebagai daerah istimewa mendapat pengakuan resmi dalam perundingan dengan pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pemerintah Belanda.
Secara singkat perjuangan tersebut tidak sia-sia, kedudukan Kalimantan Barat sebagai daerah istimewa dan negara-negara bagian serta daerah federasi kemudian mendapat pengakuan dalam konstitusi negara RIS (Republik Indonesia Serikat). Pengakuan terhadap daerah istimewa Kalimantan Barat itu sesuai dengan perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang ditanda tangani di Den Haag tentang pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS), serta persetujuan pemerintah Belanda menyerahkan kedaulatan pada tahun 1949 kepada pemerintahan RIS.
Namun apa daya, dalam pemerintahan RIS di bawah Perdana Menteri Muhammad Hatta, Sultan Hamid II hanya dilantik menjadi Menteri Negara Porto Folio, suatu jabatan penghibur atau mungkin sekedar pelengkap penderita. Pengangkatannya sebagai Menteri Negara tanpa tugas khusus itu, tentu membuat Sultan Hamid II kecewa, karena tidak setimpal dengan peranan yang telah dilakukannya dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag (kasusnya hampir sama meskipun berbeda konteks ketika Natsir kecewa, Alex Evert Kawilarang kecewa, atau ketika Kahar Mudzakar kecewa dengan pemerintahan sehingga melahirkan protes).
Jasa lainnya yang dihilangkan begitu saja adalah peranan Sultan Hamid II dalam KMB tidaklah semata-mata memperjuangan BFO dan Federalisme, tapi…kesediaan Belanda menyetujui penyerahan kedaulatan seluruh wilayah bekas jajahannya di Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, tidak terlepas daripada jasa Sultan Hamid II yang mampu berjaya membujuk Ratu Yuliana selaku Ratu Belanda. Ini bukti kelihaian diplomasi dan karena kedekatan Sultan Hamid II yang pernah menjadi Ajudan/Pengawal Ratu Yuliana Belanda.
Kemudian, hal lain yang juga yang dilakukan untuk menghilangkan eksistensi Sultan Hamid II adalah perihal siapa yang menjadi Desainer dari Lambang Kenegaraan yang masih terpakai hingga saat ini yakni Burung Garuda tersebut. Meski sejarah menutup-nutupi, hasil karya Sultan Hamid II selaku perancang Lambang Kenegaraan tersebut tak boleh dilupakan.
…………….
Sudah menjadi nasib Kalimantan Barat, selepas Sultan Hamid II ditahan hingga wafat tanpa kehormatan, DIKB kemudian dibubarkan pada penghujung tahun 1950. Kalimantan Barat statusnya hanya menjadi sebuah provinsi dengan Undang-undang Nomor 25 tahun 1956. Hilang sudah cerita DIKB yang menjadi cita-cita Sultan Hamid II dan Para Raja, Sultan, Panembahan dan Tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Kalimantan Barat. Apa yang didapat Kalimantan Barat sebagai Provinsi yang tidak memiliki keistimewaan?
Pengeksploitasian SDA terjadi tanpa kendali, apalagi semasa rezim sentralistik. Hutan Kalimantan Barat mengalami deforestisasi yang mencengangkan sekaligus mencemaskan, sumber-sumber pertambangan di-eksploitasi, sungai-sungai besar tak lagi jernih, mercuri mencemari, penduduk negeri digusur demi perkebunan atas nama pembangunan. Tiada lagi kehormatan sebagai negeri yang pernah berjaya, tiada lagi marwah sebagai negeri yang berdikari, tiada lagi adat resam budaya yang terpelihara, peninggalan sejarah menjadi lapuk dimakan usia, hak ulayat sudah tidak dihargai lagi, masyarakat adat terpinggirkan.
Apa beda Kalimantan Barat dengan Aceh, Yogyakarta dan Papua?! Perihal keistimewaan atau mungkin kekhususan, Kalimantan harusnya punya kesitimewaan itu. Bedanya Kalimantan terutama Kalimantan Barat…meminjam istilah Melayu Pontianak ‘tak kuase jak’ untuk menagih itu. Kalimantan Barat selalu patuh dan menjadi anak baik di negeri ini, Kalimantan Barat belum berani fight menagih kembali haknya. Saking patuh dan penurutnya Kalimantan maka marwah tergadaikan. Padahal apa yang kurang yang disumbangkan Kalimantan termasuk Kalimantan Barat untuk negeri ini, SDA yang dikeruk sampai Kalimantan tinggal tunggul dan ampas. Semoga di masa hadapan Borneo menjadi lebih baik!

Selasa, 22 Juli 2008

Tradisi Yang Masih Bertahan

Oleh: Sutami

Mencoret seragam menjadi tradisi yang terus bergulir di kalangan pelajar dalam merayakan kelulusan. Eksperesi selama masa tempuh belajar dicurahkan dengan meluap-luap meskipun pakaian menjadi korban. Perilaku yang tumbuh menjalar subur hingga sekarang meskipun tidak tahu siapa pemilik ide perdananya. Alangkah indah busana sekolah tak dimubazirkan, tetapi disumbangkan kepada kalangan yang lebih memerlukan. Itulah harapan dari para kalangan kaum bijaksana.

Namun dari tahun ke tahun perayaan kelulusan dengan coretan di seragam tetap menjadi trendi. Seperti tidak ada kekuatan untuk membendung apalagi meniadakan budaya tersebut. Faktor pengaruh pergaulan dapat menjadi tarik perkaranya jika di lihat dari sisi jiwa muda. Sebab selama di bangku sekolah tidak akan pernah guru menginstruksi coret-mencoret dalam merayakan kelulusan. Kejadian yang begitu akrab di dunia pendidikan Indonesia pasca pengumuman hasil ujian nasional. Dan dalam kurikulum sistem pendidikan nasional mustahil melegalkan setiap penyimpangan perilaku produknya.

Ketika era kelulusan berstandar nasional justru perilaku mencoret semakin terpompa bagi kalangan pelajar yang lulus. Adalah sebuah prestasi akbar untuk dapat melintasi level yang ditentukan sebagai standar kelulusan. Buktinya adalah banyak pelajar Indonesia harus mendapatkan ijazah dari hasil penyetaraan sebagai konsekuensi tidak meratanya pendidikan.

Mencermati dinamika sosial yang terjadi, pasti ada sentuhan-sentuhan nilai yang akan diperjuangkan agar sesuatunya berubah ke arah yang baik. Kalangan pelajar dengan aksi coret-coret sedang generasi tua tetap sibuk dalam kancah korupsi yang terus menggebu dari segi nominal. Setiap persoalan tidaklah dapat dijadikan sebagai kesimpulan, namun tidak salah dijadikan sebagai analisa awal dalam menguraikan pendapat.

Di saat Indonesia menjalani hidup reformasi sejak 1998, pintu nasib bangsa sedikit berubah dalam segi penempatan maupun pemilihan aparatur negara. Namun kerinduan akan menikmati hidup sejahtera tetap terus bergelora. Dan tidak puas para pemimpin berkampanye bersuara bahwa perjuangan meretas kesejahteraan mereka pikul secara serius. Situasi yang terus mengalir menjelang siklus pergantian kepemimpinan; Indonesia sekarang sedang mengalaminya.

Nuansa kehidupan politik bangsa harus diakui memang berubah. Ambruknya kekuasaan orde Baru membuat semangat politik generasi bangsa terus menggebu. Akibat terlalu menggebu menjadikan ide-ide politik bertebaran dijalanan melalui spanduk hingga iklan di media elektronik yang sangat memakan biaya tinggi. Masing-masing menegaskan kefiguran yang merakyat, memiliki jiwa sosial tinggi sampai menciptakan jargon-jargon terbaru.

Dari segi aktifitas kebebasan, kehidupan politik bangsa boleh menjadi harapan. Menjadi lahan kritis tetapi di rentang waktu merealisasikan spirit yang dibuat. Sulit mendapatkan perubahan berarti dalam kehidupan rakyat. Keberpihakan pemerintah masih bersifat memanfaatkan momen tidak lebih dari itu. Simpati rakyat mayoritas digali menjelang pemilu dan ritmenya tak pernah berubah. Meskipun rakyat terus mendapatkan kebohongan-kebohongan.

Ruang demokrasi menjadi tak berarti karena roda yang berputar tidak pernah menuju jalan yang di atur dalam peta peraturan. Lencengan-lencengan para petualang politik tetap mewarnai kebijakan bagi rakyat Indonesia. Demokrasi terjadi hanya di saat pemilihan, itupun dari segi praktik hujan-hujan manipulasi tetap berjalan. Jadi bagaimana nasib bangsa ke depan? Yang jadi pemimpin cukup meng-iklankan diri, cukup melakukan money politic. Sosok pemimpin yang dihasilkan tak lebih tokoh-tokoh yang hanya akan berbicara untung rugi secara financial. Sehingga suasana kepemimpinan yang lahir cengkreman politiknya sulit menerima perbedaan akibat tidak paham konteks demokrasi sesungguhnya.

Kritik yang dilontarkan selalu dianggap sebagai manuver lawan politik bahkan dianggap subversif alias merongrong keamanan negara. Dalih penguasa jika otoriter memang demikian. Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Dalam menanggapi aksi protes kenaikan BBM 24 Juni 2008 yang menghasilkan hak angket DPR pemerintahan SBY-JK merongrong perilaku kritis dengan melakukan penangkapan-penangkapan kepada mahasiswa bahkan Ketua Dewan Tani Indonesia Ferry Yuliantono langsung ditangkap karena dituding sebagai provokator aksi.

Melihat tindakan dari pemerintahan sepertinya gaya-gaya orde Baru kembali dimainkan. Setiap pemikiran kritis langsung di jebloskan ke dalam tahanan. Sri Bintang Pamungkas korbannya era Orde Baru dan Ferry Yuliantono korban era reformasi. Jadi pola orde baru masih tetap dilakukan demi mengamankan kekuasaan tanpa perlu melihat benar atau salah. Sehingga jalannya kepemerintahan bangsa Indonesia tidak ubahnya dengan pola pelajar merayakan kelulusan. Jika pelajar lulus dirayakan dengan coret-coret, maka pemerintah jika ingin mulus kekuasaannya adalah dengan tangkap-menangkap. Padahal seharusnya di era reformasi penangkapan karena kritik harus sudah tamat karena tradisi demikian adalah miliknya Orde Baru. **

* Penulis adalah Mahasiswa Untan

Demonstrasi dan Anarkisme vs Intelektualitas

Oleh: Masngud Zauzi

Aku temukan perbudakan buta, yang mengikatkan kehidupan orang-orang saat ini dengan masa lalu orang tua mereka, dan memaksa mereka agar menyerah pada tradisi dan adat-istiadat, seraya menempatkan spirit kuno dalam tubuh yang baru.

Aku temukan perbudakan lembut yang menamai benda-benda bukan dengan nama-nama mereka yang tak memiliki nalar, tanpa pengetahuan, lemah dan pengecut,..

Aku temukan perbudakan sinting, yang menyebabkan lidah orang-orang lemah lari karena takut dan berbicara diluar perasaan mereka,.....

Aku temukan perbudakan lentur, yang menyebar di suatu negara dan membujuknya untuk mengikuti hukum-hukum dan aturan-aturan negara lain,.....(Kahlil Gibran).

Demikian prakata yang dapat kita renungi saat ini ketika melihat realitas kehidupan bangsa yang kita cintai ini. Sebuah prakata yang akan membuat kita semakin sadar bahwa kita adalah budak-budak yang tercipta karena kegagalan dalam mewujudkan kebenaran. Seringkali kita menyaksikan aksi-aksi demonstrasi yang mengatasnamakan kebenaran dan pembelaan atas penindasan yang dilakukan atas kelompok-kelompok menengah kebawah. Benarkah demikian aksi yang terjadi saat ini?

Selama satu bulan terakhir ini kita kerap kali mendengar dan melihat aksi-aksi demonstrasi terjadi di negeri yang kita cintai ini, Indonesia. Demonstrasi yang terjadi dengan alasan yang beragam, mulai dari upaya penolakan kenaikan harga BBM, berkaitan penegasan SKB untuk jamaah Ahmadiyah dan aksi-aksi lainnya. Aksi-aksi tersebut terjadi karena dipicu oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang dipandang tidak pro rakyat. Bangsa yang besar ini begitu 'miskin'. Bangsa yang besar ini 'tergantung' pada kekuasaan negara-negara adikuasa. Kemiskinan yang riil pada masyarakat kita adalah kemiskinan secara materi. Jumlah penduduk miskin di Indonesia, menurut data dari BPS mencapai 39.05 juta jiwa pada maret 2005. Artinya, sebanyak 17.35% dari total penduduk Indonesia yang mencapai 222 juta jiwa masoh hidup di bawah garis kemiskinan. Namun, pada dasarnya kemiskinan yang sesungguhnya bukanlah kemiskinan dari segi materi, melainkan kemiskinan moralitas dan kemiskinan spiritualitas. Kenapa demikian?

Tahun 1945 bangsa ini merdeka dari penjajahan pihak asing. Hari ini dan masa-masa yang akan datang bangsa ini akan terus 'terjajah' oleh sistem bangsa yang pragmatis. Kita hidup pada zaman yang serba pragmatis yang menjadikan kita tidak berdaya dan kahirnya kemiskinanlah yang muncul. Akibat dari kemiskinan itu adalah kejahatan, konflik sosial, dan kemunduran kebudayaan. Banyak kalangan yang saat ini mengeluhkan terjadinya kejahatan yang terjadi dalam masyarakat, mulai dari kejahatan seksual, kejahatan moral, sampai kejahatan fisik.meskipun demikian, sebagian besar dari mereka juga masih melihat sebab-sebab kejahatan berasal dari diri manusia itu sendiri, dan bukannya dari kondisi sosial-ekonomi yang tersedia dimasyarakat (Soyomukti, 2008).

Sesungguhnya dalam diri manusia terdiri atas dua unsur, yaitu unsur nafsu setan dan malaikat. Unsur nafsu setan adalah amarah, yaitu nafsu melawan dan menentang Tuhan; sedangkan unsur malaikat disebut unsur mutmainah, yaitu nafsu untuk tunduk dan menjalankan perintah Tuhan. Kejahatan yang merajalela hanya dilihat dari akibat kekalahan manusia dalam mengendalikan nafsu. Bukan karena faktor kemiskinan atau ekonomi, tetapi karena manusia tidak belajar dari hakikatnya sendiri. Lalu, bisakah kita berandai-andai dan mengharapkan bahwa setiap anggota masyarakat akan mampu memahami hakikat dirinya sendiri atau keadaan masyarakatnya?

Aksi demonstrasi yang terjadi saat ini adalah upaya memberangus kejahatan dalam wujud halus, kekerasan yang terselubung dalam kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat. Demikianlah dalih-dalih yang digunakan oleh demonstran. Sesungguhnya aksi tersebut adalah pilihan yang 'keliru' dalam menyikapi persoalan bangsa yang begitu kompleks. Pernahkah kita diajarkan untuk menegakkan kebenaran dengan kekerasan? Sekalipun ada tentu ada masanya dan dalam kondisi tertentu. Saat ini bangsa ini memerlukan solusi yang cerdas, tidak memerlukan aksi masa yang berakhir pada kekerasan atau pun penganiyaan.

Perlu pembenahan pada diri setiap insan yang menganggap dirinya ber-Tuhan dan memiliki hati nurani. Berpikir jernih, tidak berorientasi pada hasil, namun berorientasi pada proses tentu akan membuat kita semakin dewasa dalam menyikapi persoalan. Mahasiswa, adalah harapan muda bangsa ini. Mahasiswa adalah penerus perjuangan bangsa ini, penerus estafet kepemimpinan bangsa, maka berpikir kritis dan analis adalah suatu kewajiban, namun bukan berarti berpikir radikal. Idealisme mahasiswa yang hakiki harus tetap ditegakkan, yakni bagaimana mendewasakan pikiran agar bisa mengatasi segala persoalan hidup dengan pola pikir yang sistematis, kritis, analisis, dan komprehensif. Namun disisi lain, mahasiswa juga harus menghadapi banyaknya godaan faktual yang sangat menarik dan menggiurkan yang bisa membuatnya menyimpang dari idealisme hakiki mahasiswa.

Demonstrasi yang berakhir dengan kekerasan fisik dan penganiayaan adalah menggugurkan intelektualitas yang dimiliki. Berlaku aniaya adalah menurutkan nafsu setan yang ada dalam diri sendiri. Seharusnya intelektualitas yang dimiliki akan mampu mengendalikan nafsu yang kita miliki, bukan intelektualitas menjadi landasan dasar menuruti nafsu setan. Harus ada perubahan dalam tiap-tiap diri ini agar tidak lagi tercipta kekerasan dalam bangsa ini oleh kalangan intelektual. Tidakkah kita malu sebagai insan yang terdidik berprilaku sama denga mereka yang 'kurang terdidik'? Terdidik dan kurang terdidik bukan ukuran dalam pendidikan formal, namun lebih pada terdidik secara moral dan estetika.

Manusia terlahir tidak sama dengan binatang, yang begitu terlahir dapat berjalan atau berlari. Manusia harus melewati proses untuk bisa melakukan sesuatu. Demikian pula dengan bangsa ini, perlu waktu yang lama untuk menjadi bangsa yang 'besar', besar dalam memberikan yang terbaik bagi rakyatnya. **

Penulis adalah mahasiswa STAIN Pontianak, Ketua Umum HMI Komisariat Syari'ah Cabang Pontianak.

Menghardik Kesadaran

Oleh: Sutami

Menjalani hidup akan sangat berarti ketika dijalani dengan penuh kesadaran. Semangat keingintahuan akan terobati. Maka tidak heran apabila ilmu dituntut setinggi-tingginya oleh manusia agar memiliki senjata penangkis perusak kesadaran. Perlombaan di dunia modern terkadang menimbulkan usaha menenggelamkan tata kehidupan yang berlatar kolaborasi manusia dengan alam.. Kesigapan mental harus siap menjawab bahkan menantangnya. Karena manusia hadir adalah simbol penyuara kebenaran. Indah tentu dunia jika seluruh penghuninya memiliki kesadaran tinggi ditambah ruang kesadaran tak ada usaha untuk melakukan penyumbatan.

Indonesia sebagai bangsa yang memiliki keluasan wilayah ditambah alam yang kaya, sumber tenaga kerja melimpah tapi dalam mengisi kemerdekaan sangat sakit kondisi untuk bangkit dari runyamnya masalah pendidikan, kesehatan, ekonomi sampai sosial politik sekaligus. Keadaan paling utama menghantam adalah soal ekonomi dan politik. Komposisi keduanya seperti saudara kembar tapi berbicara landasan sepak terjang amat jauh satu sama lain. Tapi masing-masing selalu saling mempengaruhi dan pengaruhnya menjadi penentu nasib sebuah bangsa. Hantaman krisis ekonomi 98 membingkai hingga sekarang terus membutuhkan penyelesaian. Penyelesaian taraf hidup masyarakat yang terus membungkuk akibat ulah pemerintah mengurus negara secara tidak ikhlas.

Suara-suara penderitaan seakan tidak menjadi gemingan bagi pemerintah. Kebohongan bagi masyarakat terus dipamerkan tanpa rasa malu sedikit pun mempertontonkannya. Namun kejadian tersebut terjadi pada bangsa Indonesia. Bangsa penganut budaya ketimuran yang penuh etika, penuh sopan santun dan beradab. Tapi pemimpinnya memelihara ketidakjujuran dengan mengandalkan keahlian menyilatkan lidah. Ketika ketidakjujuran terus tak disingkirkan dari sifat-sifat jiwa pemimpin bangsa, akan terselamatkankah penderitaan nasib bangsa yang terus merengek-rengek untuk menjauhi kemiskinan dan kebodohan?

Dengan alasan menyelamatkan keuangan negara, kebijakan memahalkan BBM menjadi langkah utama pemerintah. Meskipun SBY-JK adalah duet penguasa pertama Indonesia yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Pemerintah seakan-akan selalu berseloroh bahwa BBM bersubsidi selalu orang kaya yang menikmati. Sebagai self implementasi, kenaikan BBM langsung terasa faedahnya. Mulai dari tak mampu melautnya para nelayan, naiknya ongkos angkot, bahkan mie instan sekalipun ikut menyesuaikan tarif. Berarti pendapat yang dilontarkan pemerintah kepada publik tak lebih dari memanfaatkan ketidaktahuan mayoritas penduduk Indonesia karena mayoritas masih terbelakang soal pendidikan.

Kenaikan harga minyak dunia dipakai sebagai lokomotif pembenar kebijakan yang diambil. Tetapi tidak pernah proses detail disampaikan kepada masyarakat mengenai BBM. Masihkah kekayaan minyak di perut Indonesia diperuntukkan bagi kemakmuran rakyat? Hal tersebut butuh kejujuran dari SBY-JK beserta ahli ekonominya. Di saat minyak naik, idealnya Indonesia menikmati surplusnya tapi yang terjadi justru kekayaan melimpah tak mampu menyelamatkan sang penghuni.

Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat paska krisis justru hanya menjadi impian. Bangsa yang merdeka di tahun 45 seakan hanya menjadi bayangan semata. Sebab bayangan hanya dapat diprediksi tapi tak dapat rasakan. Beginilah kondisi bangsa, kebijakan yang dilahirkan pemerintah merupakan kebijakan hasil pesanan para imprealis kapitalis. Akibat menggantungkan nasib dengan IMF, otomatis Indonesia harus tunduk dengan LoI (Letter of Intent) secara instrumental dalam kebijakan ekonomi. Salah satu agenda paling krusial dan wajib dilaksanakan sebagai bukti kepatuhan dengan IMF adalah mengurangi jatah subsidi di sektor publik. BBM menjadi bukti jelas, belum genap lima tahun SBY-JK berkuasa tapi harganya telah melonjak tiga kali.

Luapan ketidakberdayaan masyarakat memang banyak terlontar sebagai bukti protes dengan pemerintah. Namun rasa marah dari segenap warga bangsa tak mampu melawan superioritas yang dimiliki oleh pemerintah. Pemerintah memiliki bedil, memiliki tank, memiliki polisi, memiliki tentara dan memiliki tim ahli ekonomi. Sehingga rasa penasaran masyarakat tentang kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM disaat kondisi ekonomi rakyat masih porak poranda dengan sigap logika masyarakat dilumpuhkan agar fikiran kritis lenyap.

Protes ketidaksetujuan kebijakan pemerintah bahkan dituding sebagai aksi yang ditunggangi, terutama gerakan moral para mahasiswa. Tanda-tanda otoritarianisme yang anti kritik dalam berkuasa pantas dilontarkan dalam memaknai konteks realitas yang terjadi. Bahkan konsep ekonomi pemerintah seakan-akan konsep tak memiliki nilai sama sekali. Konsep Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau bagi-bagi uang tak ada kamusnya dalam teori ekonomi dunia. Dan BLT adalah money politic gaya baru di era reformasi yang dijalankan oleh pemerintah agar masyarakat 'membeo' terhadap kebijakan yang dilakukan, meskipun sebenarnya adalah pencekikan leher rakyatnya sendiri. Letak kemanusiaan penguasa telah hilang dari peradaban Indonesia, sehingga tidak heran gelombang reaksi mahasiswa di bombardir melalui sang penurut setia, yakni polisi.

Kemunculan Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM) menjadi langkah pemerintah menjawab protes kebijakan menyimpang. Jika pemerintah sungguh-sungguh, tak perlu BKM, tapi RUU BHP lah yang pantas dihapuskan karena akan membuat kampus menjadi lembaga yang tak bersahabat dengan orang miskin. Namun semakin jelas bahwa BLT dan BKM adalah muara pemerintah untuk melenyapkan daya kritis dari rakyat yang sadar akan kekhilafan pemerintah dalam menjalankan amanah kekuasaan yang diberikan. Berarti sekarang pengekangan kesadaran tidak hanya dalam bentuk intimidasi kekerasan, melainkan telah dalam bentuk sogokan seperti kasus Kemas Yahya dan Ayin. **

* Penulis adalah mahasiswa Untan.

Pilwako dan Pemenuhan Hak-hak Dasar

Oleh : Rudy Handoko

PONTIANAK akan melaksanakan perhelatan besar yakni pemilihan walikota dan wakil walikota. Sebagai ibukota provinsi yang menjadi barometer Kalbar, maka perhelatan dan hiruk pikuk pilwako ini tentu lebih bergaung. Jika dilihat dari porsi liputan media pun tentunya jauh lebih tercover, sehingga saban hari tiada berita tanpa berita pilwako. Dan...yang tentunya ramai sekali menjadi bahan perbincangan mulai dari warung kopi sampai gedung ber-AC adalah tentang para kandidat yang bermunculan. Boleh jadi, kandidat yang bakal meramaikan perhelatan pilwako Pontianak ini akan jauh lebih ramai ketimbang daerah kabupaten-kota lainnya. Hal ini dapat dimaklumi, karena di pusat kota ini para politisinya tentu jauh lebih banyak dunk!

Selayaknya pesta pemilihan jauh-jauh hari sebelum hari H, bahkan sebelum masa pendaftaran calon dan masa kampanye dimulai, segala atribut para kandidat yang mencoba keberuntungan di ajang pilwako ini sudah bertebaran di tiap pelosok kota. Silaturahmi politikpun kerap dilakukan untuk memperkenalkan diri sekaligus 'ecek-eceknya' minta restu dan mohon perahu. Dinamika ini terjadi mulai dari kalangan pendukung kandidat/tim-ses, parpol yang jadi perahu, ormas, OKP dan kalangan masyarakat 'tokoh' serta masyarakat 'awam'. Dan berhubung gerbong independen juga telah dibuka, maka dinamika ini kian menarik bahkan menghangat dengan gejala 'bergentayangannya' para 'pemburu' KTP dan KK buat syarat dukungan. Wooow...hueboh dech!

Dalam coretan-coretan ini, sebagai masyarakat kelas 'awam' dan 'paria', saya coba berbagi wacana kepada masyarakat kota Pontianak, tentang apa yang seharusnya kita lihat sebagai pertimbangan agar dalam pilwako nanti dapat menghasilkan pemimpin yang terbaik, yang tentunya punya kemampuan untuk me-manage pemerintahan, punya integritas dan mampu memfasilitasi seluruh elemen masyarakatnya menuju pemberdayaan dan kesejahteraan bersama.

Dalam arena pemilihan, setiap warga negara punya hak yang sama untuk dipilih dan memilih, dan sah-sah saja jika tiap kandidat saling mengklaim bahwa mereka mendapat dukungan dari 'ini' dan 'itu', toh nantinya masyarakat yang punya hak pilih yang menentukannya. Tapi dalam hal ini, saya hanya ingin menggambarkan pada masyarakat yang bakal memilih, bahwa pilihan tentunya punya konsekuensi, dan bahwa pilihan tentang siapa yang pantas menjadi pemimpin kita akan menentukan nasib penyelenggaraan pemerintahan dan proses pembangunan yang bakal kita dapatkan dalam tahun-tahun ke depan. Baik yang kita pilih, maka boleh jadi baiklah penyelenggaraan pemerintahan dan proses pembangunan yang bakal kita dapatkan. Buruk yang kita pilih, boleh jadi buruk sudah nasib penyelenggaraan pemerintahan dan proses pembangunan yang bakal kita dapatkan, terutama terkait dengan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat, khususnya hak-hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, peningkatan pendapatan, infrastruktur dasar dan sebagainya.



Nah terkait itu, selain patokan figur kandidat, hal lain yang mesti kita lihat dalam memilih pemimpin yang terbaik adalah dengan melakukan 'tracking' terhadap apa yang telah mereka (baca: calon-calon walikota-wakil walikota) lakukan pada waktu-waktu yang lalu. Jika dia pengambil kebijakan, maka dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan yang pernah dibuatnya, apakah pro rakyat dan pro pemenuhan hak-hak dasar rakyat atau tidak. Jika dia mantan pejabat, maka dapat dilihat dari kinerjanya sebagai pejabat. Jika dia mengaku wakil rakyat, maka dapat dilihat dari keberpihakannya terhadap perjuangan mengartikulasikan aspirasi rakyat. Jika dia politisi, maka dapat dilihat apakah dia politisi bersih atau politisi busuk atau pada apa yang diperbuatnya dalam melakukan pendidikan politik. Jika dia pengusaha, maka sebagai rakyat kecil kita mesti lihat dia pengusaha yang kapitalistik atau pengusaha yang juga punya sense dan perhatian terhadap pengembangan ekonomi kerakyatan yakni usaha kecil-menengah masyarakat.

Kemudian, hal lain yang harus kita perhatikan tentunya adalah tawaran program apa yang akan dilakukan jika menjadi pemimpin, sehingga kita sebagai pemilih agak lebih naik level sebagai pemilih yang 'programic oriented' dan calon pemimpin juga menjadi sedikit cerdas berorientasi program yang tidak muluk-muluk tapi realistis dan menyentuh pemenuhan hak-hak dasar rakyat dalam menawarkan ide bukan sekedar janji. Kita mesti sadari bahwa tawaran program yang riil dan pro hak-hak dasar rakyat itu lebih mudah terlihat hasilnya, mudah didesak realisasi kebijakannya, mudah diawasi dan mudah dituntut pertanggungjawabannya ketimbang janji-janji abstrak.

Kenapa ini menjadi penting untuk dipertimbangkan, karena seharusnya sekarang para calon pemimpin kita sadar bahwa pembangunan yang tidak berbasis pada masyarakat, apalagi tidak memberi ruang pemberdayaan dan tidak mempunyai keberpihakan terhadap rakyat, hanyalah bersifat semu dan keropos. Dan lebih parah, dalam jangka panjang pasti melahirkan efek turunan berupa resiko sosial bahkan resiko politik yang besar.

Nah, dari itulah kita mesti pandai memilih pemimpin, terutama pemimpin yang punya kapasitas dan kapabilitas, kemauan serta program untuk memperkuat pemerintahan sekaligus memperkuat rakyat, dengan memperkuat pembangunan yang berorientasi pemberdayaan itu di tingkat basis dalam masyarakat dengan pelibatan langsung yang mendidik-membina mereka untuk mandiri secara bersama-sama mencapai kesejahteraan. Dalam hal ini mampu mengelola pemerintahan menjadi pemberi stimulus, baik melalui segala kebijakan yang dibuatnya dan sekaligus menjadi fasilitator pemberdayaan itu. Karena sinergisitas pemerintah dan masyarakat yang diperlukan. Pemerintah mesti menjadi penggerak dan berupaya menarik minat masyarakat untuk turut serta dalam segala proses pembangunan dan sebagai daerah otonom, Pontianak harus terus memacu pembangunan dan pemberdayaan masyarakatnya menuju kesejahteraan.

Dengan wilayah yang kecil dan sumber daya yang minim, apalagi yang dapat dilakukan Pontianak selain memproyeksikan dan memberi apresiasi pada pada ide-ide berani sebagaimana daerah otonom lain yang sukses. Dan ide-ide berani yang progresif serta pro rakyat itulah yang bakal semakin diperlukan untuk memajukan Pontianak. Wabil khusus harus dipunyai calon pemimpin dan tentunya warga Pontianak. Karena keberhasilan-keberhasilan membangun dan memajukan daerah merupakan buah kerja keras bersama antara seluruh elemen masyarakat dan pemerintah. Semoga! **

Penulis adalah Divisi Riset JARI Borneo Barat; Pegiat Lembaga Studi Sosial dan Demokrasi (eLSSiDe) dan Sekjend KIPP Pamali Kota Pontianak.

Menuju Pilwako, Wujudkan Pontianak Kota Bersinar

Oleh: Syamsul Kurniawan MR*)

Pemilihan walikota Pontianak tahun 2008 tidak lama lagi akan digelar. Hiruk-pikuk masyarakat Kota Pontianak dan ragam pembicaraan soal siapa kandidat yang hendak didukung nanti agaknya menunjukkan bahwa proses demokrasi sudah mulai berjalan dengan baik di kota ini. Tentunya tidak berdosa berbicara dan berdiskusi panjang lebar soal demikian, dan begitujuga tidak berdosanya kalau warga Kota Pontianak punya harapan banyak soal kepemimpinan walikota Pontianak yang nantinya terpilih. Lantas, seperti apa figur pemimpin yang ideal memimpin Kota Pontianak ke depan?

Sebagaimana yang semua kita tahu, Kota Pontianak yang berumur sangat tua ini disamping dijuluki Kota Khatulistiwa, Kota Pontianak juga disebut sebagai Kota Bersinar, yaitu kota yang bersih, sehat, indah, aman dan ramah. Dan ironinya, menjadi Kota Bersinar yang menjadi cita-cita dari kota ini, sampai sekarang belum terwujud. Karena itu, menurut penulis, seorang calon walikota ke depan tidak usah punya janji muluk-muluk. Sederhana saja, kalau calon walikota Pontianak bisa mewujudkan Kota Pontianak sebagai Kota Bersinar, beliaulah figur ideal yang membawa perubahan besar bagi Kota Pontianak yang kita sayangi ini.

Selanjutnya apa saja tafsiran yang harus dilakukan untuk mewujudkan Pontianak sebagai Kota Pontianak itu? Pertama, mewujudkan Kota Pontianak yang bersih. Memang benar, di tahun 1993 penghargaan Adipura disabet kota ini. Tapi adakah penghargaan itu bisa dijadikan patokan bahwa Pontianak betul-betul bersih? Rasa-rasanya tidak. Sungai Kapuas sudah mulai tercemar, belum lagi sampah di mana-mana, di beberapa sudut kota yang menuntut penanganan secara serius. Pontianak yang bersih adalah yang diidamkan warga Kota Pontianak. Tapi tidak berhenti sampai di sini, Pontianak juga harus bersih dari kotoran-kotoran buta huruf karena tidak dinafikan kalau angka putus sekolah di ibukota Kalimantan Barat ini juga relatif tinggi. Tingginya biaya pendidikan, terutama perguruan tinggi dengan mutu biasa-biasa saja juga harus dicarikan solusinya. Pendidikan gratis agaknya menjadi idaman seluruh pelajar/ mahasiswa di Kota Pontianak.

Kedua, kota Pontianak yang sehat. Di sini, yang menjadi calon atau yang terpilih nanti sebagai walikota Pontianak pastinya harus memikirkan kesehatan warga Kota Pontianak. Peningkatan mutu dan pelayanan di rumah sakit, disamping memberikan perhatian lebih pada pendidikan kedokteran, kesehatan dan keperawatan di Pontianak adalah tuntutan. Bukan saja itu, kita tidak akan menutup mata bahwa warga Kota Pontianak sangat mengharapkan akses pengobatan gratis dengan mutu dan pelayanan yang baik bisa didapat dengan mudah.

Ketiga, mewujudkan kota Pontianak yang indah. Pada aras ini banyak hal yang bisa dijanjikan oleh para kandidat dan selanjutnya diprogramkan oleh para kandidat. Bisa saja pembangunan Pontianak sebagai kota perdagangan dan jasa, yang disitu berdiri megah mall-mall dan semacamnya, membangun Tugu Khatulistiwa menjadi monumen yang luar biasa megah, Kraton Kadriah, Masjid Jami' dan seterusnya. Tapi pastinya janji dan program haruslah terealisasi dan bisa dilihat secara nyata hasilnya oleh warga Kota Pontianak. Tidak sebatas janji dan mimpi--mimpi. Membangun Kota Pontianak yang mana di situ berdiri bangunan-bangunan megah dan moderen sekalipun, belum bisa dikatakan berhasil kalau tidak bisa menjanjikan peluang kerja dan mengurangi jumlah pengangguran di kota ini.

Keempat, kota Pontianak yang aman. Walaupun jumlah kejahatan narkoba dan obat terlarang sudah mulai menurun, itu bukan jaminan kejahatan narkoba dan obat terlarang tidak akan mengalami peningkatan signifikan pada tahun-tahun berikutnya. Karena itu, 'aman' juga berarti bisa menjaga kualitas keamanan sebelumnya. Melihat lalu lintas jalan raya kita, Pontianak juga masih semrawutan. Contohnya saja: menabrak lampu merah yang agaknya bukan sesuatu yang haram dilakukan sebagai pengguna jalan raya, tapi sudah bagian yang lazim di kota ini. Pontianak juga harus aman dari praktik-praktik yang berbau KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) juga dalam pemilihan calon walikota Pontianak ke depan. Pemilihan walikota Pontianak 2008 harus aman dari bentuk-bentuk demikian karena pemilihan tersebut adalah tangga menuju pemerintah kota Pontianak yang bersih dan baik. Selanjutnya, Pontianak juga harus aman dari bentuk-bentuk konflik antar warga dan etnis mengingat betapa pluralnya warga Pontianak saat ini.

Kelima, mewujudkan Pontianak yang ramah. Inilah syarat terakhir mewujudkan Pontianak menjadi kota yang diidam-idamkan. Pontianak bukan saja mempunyai potensi sebagai kota perdagangan dan jasa, tapi Pontianak juga mempunyai potensi sebagai kota kunjungan wisata dalam dan luar negeri. Keberadaan tugu khatulistiwa dan peninggalan kerajaan Pontianak merupakan alasan itu. Karena itu, untuk mewujudkan Pontianak yang bukan saja sebagai kota perdagangan dan jasa, calon walikota Pontianak juga memiliki peran dalam menumbuhkan sikap ramah itu yang bisa teraktualisasikan secara nyata oleh warga kita.

Pada akhirnya, sudah saatnya Kota Pontianak jauh lebih baik dari sekarang ini. Mewujudkan Kota Pontianak sebagai Kota Bersinar adalah suatu cita-cita yang sederhana dan tentunya sulit dilakukan oleh calon pemimpin atau pemimpin yang biasa-biasa saja. Butuh kemampuan memimpin dan komunikasi yang baik dengan warganya, seperti pandangan Hannah Arendt (1970), bahwa kekuasaan merupakan media untuk menciptakan relasi yang baik di antara anggotanya, agar tercipta sebuah realitas kehidupan yang berkualitas. Sehingga, aksi yang dibutuhkan dalam kekuasaan adalah aksi yang harmonis. Suatu aksi yang komunikatif.

Mudah-mudahan calon walikota Pontianak atau yang terpilih ke depan adalah pasangan yang betul-betul memiliki komitmen untuk mewujudkan cita-cita Kota Pontianak sebagai Kota Bersinar dengan kepemimpinan yang baik, agamis dan bertanggung-jawab. Amin. **

*) Penulis adalah warga Kota Pontianak.

Mempertegas Perjuangan HMI

Oleh : Sugeng Rohadi

Tulisan ini apresiasi tanpa henti dari seorang kader terhadap masa depan organisasinya. Tentu saja hal ini berhubungan erat dengan dinamika sosial kemasyarakatan, baik secara menyeluruh kepada bangsa Indonesia maupun kota Pontianak yang sebentar lagi menyelenggarakan pilwako. Demokrasi ini diharapkan mampu memberi pelajaran berharga bagi perjalanan organisasi HMI, khususnya HMI Cabang Pontianak.

Riak-riak perubahan yang disuarakan oleh para tokoh pemuda, mahasiswa, masyarakat, orang tua, buruh, petani, pemulung, dan anggota dewan beberapa waktu belakangan ini adalah satu dari sekian banyak degradasi kepercayaan terhadap sebuah perubahan dinamika sosial yang dalam bahasa Robert Mirsel (2004) disebut sebagai destrukturisasi dinamika sosial kemasyarakatan.

Tentunya, dinamika perubahan sistematis yang relevan dengan enzimisasi moral manusia seiring dengan degradasi moral bangsa akan sangat berdampak pada proses penentuan arah dan tujuan yang jelas perjalanan sosial kemasyarakatan. Dengan demikian, sistematisasi ideologi perubahan menjadi sangat mudah untuk dimanipulasi atau dijadikan kedok dalam meniti realitas organisasi yang independen-fungsional.

Dunia politik yang semakin memanas dan meningkat suhu persaingan antar elite politik memicu adrenalin untuk selalu memanfaatkan momen terpenting ini. Berbagai cara coba dilakukan bukan saja dalam hal menarik minat simpatisan, tetapi juga pada proses mohon pengawalan baik secara individu ataupun kelompok. Pentas demokrasi tertinggi bangsa, juga telah melibatkan sebagian besar anak muda bangsa ini pada alur 'politik praktis' yang mengarah pada persaingan yang menghalalkan segala macam cara untuk menggapai kekuasaan. Dengan demikian orientasi logika sejak dini sudah dipacu dengan hal-hal praktis yang mengfakibatkan pada degradasi logika; dalam artian pemenuhan kemenangan dan usaha jangka pendek. Tetapi demikianlah dinamika kebangsaan yang harus kita hadapi secara bersama-sama.

Dalam dunia pendidikan juga telah terjadi hal yang sama. Kuota pemenuhan kebutuhan yang seharusnya meningkat setiap tahunnya penetapan anggaran, seakan hanya basa-basi sesaat yang secara identitas politik akan memunculkan 'manusia setengah dewa' dengan janji-janji yang entah kapan terlaksana. Belum lagi jika kita melihat bagian timur Indonesia yang masih sangat jauh dari pembangunan. Sedangkan kenyataannya, masyarakat timur Indonesia juga tidak kalah lebih baik hasil buminya - bukan saja dari sisi jumlah tetapi juga pada aspek potensi dan amunisi - yang terkadang kurang mendapat perhatian yang serius oleh pemerintah.

Ini adalah potret bangsa Indonesia yang secara minimalis membutuhkan penghargaan atas penyetaraan kesejahteraan sebagai anak bangsa. Dan tentu saja, tidak habis sampai disitu; berbagai masalah juga menimpa daerah (propinsi) dimanapun kita berada. Dan Kalimantan Barat adalah satu dari beberapa propinsi yang juga turut merasakan ketidakmerataan tersebut. Infrastruktur adalah salah satu dari sekian problem kemasyarakatan yang tampak jelas. Dengan kendala tersebut mengakibatkan program penyejahteraan masyarakat pada daerah-daerah terpencil maupun pinggiran kota kadang terkendala secara teknis. Hal semacam ini sudah tidak tabu lagi untuk dikonsumsi oleh masyarakat, hanya saja bagaimana kita kemudian menimbulkan obsesi positif atas kendala tersebut.

Demikian kompleknya masalah yang ada pada bangsa ini. Secara sederhana, problem seperti ini juga terkontekstualisi dalam dinamika dalam ruang lingkup kecil, yakni organisasi. Tak terkecuali Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai satu dari ribuan organisasi perkaderan yang ada dan diakui di Indonesia. Organisasi yang didirikan oleh Lapran fane pada 1947 ini termasuk organisasi kemahasiswaan tertua di Indonesia, yang secara historis telah banyak berkontribusi dalam percaturan sosial, agama, politik, dan budaya bangsa. Keberadaannya sampai dengan detik ini menunjukkan bahwa kualitas kader-kadernya dapat disejajarkan oleh kalangan elit politik bangsa. Dinamika yang dimainkan juga terbukti mumpuni guna mempertegas identitas organisasi, umat dan bangsa.

Bukan tanpa rintangan. Problem internal kerap kali memicu emosi pembubaran organisasi, mentalitas serta penentuan arah organisasi dalam dinamika sosial kemasyarakatan bangsa Indonesia. Permasalahan-permasalahan eksternal juga kerapkali memaksa HMI untuk turut berpikir cerdas, cepat dan tepat mengambil sikap. Orientasi seperti inilah yang kemudian diusahakan oleh segenap kalangan HMI untuk terus meningkatkan prestasi dan nilai jual sebagai fungsionaris umat dan bangsa.

HMI - mulai dari struktur Pengurus Besar (PB) sampai pada Pengurus Komisariat mengalami hal yang sama berkaitan dengan mentalitas anggota dan kader - yang sangat mempengaruhi segala bentuk aktivitas berorganisasi. Ghiroh dan komitmen adalah hal dasar yang akan mempertegas identitas siapa sebenarnya kita. Karena tanpa hal itu, maka kita akan menjadi pecundang-pecundang organisasi yang selalu berpikir negatif dan picik tentang realita yang menyelimuti perjuangan HMI.

Problem ini mengharuskan kita untuk kembali mempertegas arah organisasi agar kita tidak terkesan 'mengekor' atau 'plin-plan' dalam mengambil segala kebijakan-kebijakan serta berusaha sekuat tenaga untuk memunculkan inovasi-inovasi yang lebih kreatif dan efisien bagi pembentukan mentalitas anggota dan kader agar lebih militan dan solid. Membangun dan memantapkan kembali ghiroh perjuangan yang mulai runtuh dan membangun komitmen bersama bahwa HMI adalah bukan saja milik pribadi, tetapi milik kita bersama sebagai anggota, kader, dan masyarakat. Dengan demikian akan terbersit pemikiran bahwa; baiknya HMI hari ini adalah kebaikan kita bersama dan buruknya HMI hari ini adalah keburukan kita bersama secara pribadi maupun kelompok.

Re-orientasi ini yang diharapkan kemudian dapat tercover dan memberikan pemahaman yang bukan saja secara fisik tetapi tentu saja secara psikis. Harapan besar dengan terbentuknya mentalitas yang kokoh, ghiroh yang eksis, dan komitmen yang tinggi terhadap perbaikan dan perubahan akan menuntun segenap masyarakat Indonesia, khususnya seluruh kader HMI untuk menjawab berbagai masalah yang menimpa bangsa ini. Semoga. **

* Penulis adalah Ketua Bidang Pemberdayaan Umat HMI Cabang Pontianak; Pembelajar di KBI Pontianak