Senin, 30 Juni 2008

Budaya Membaca

Oleh Ichwani AS

JELAJAHILAH dunia dengan membaca. Begitulah ungkapan orang bijak yang menandakan betapa besar keuntungan yang diperoleh seseorang ketika ia mengembangkan minat membaca apalagi minat yang dikembangkan itu berubah menjadi hobby yang tidak bisa ditinggalkan. Membaca dengan sendirinya akan menjadi kebutuhan pokok yang setiap hari harus dipenuhi dan tidak bisa ditinggalkan. Apa bila tidak dipenuhi dan ditinggalkan maka akan berakibat kepada kehampaan pengetahuaan bahkan spritualitas. Membaca dengan sendirinya akan berpengaruh kepada entitas keilmuan seseorang, kualitas tulisan seseorang pun diukur dari bacaan yang dikonsumsinya, semakin banyak bacaan atau referensi yang diutarakan maka bobot tulisannya akan mendekati kesempurnaan. Orang bisa membuat suatu karya ilmiah apakah dalam bentuk penelitian atau pun tulisan (buku) sudah semestinya mempunyai basic awal yaitu membaca. Bukankah Muhammad SAW diangkat dan diutus sebagai pemimpin dimuka bumi oleh Tuhan melalui perantaraan malaikat Jibril mengemban printah untuk membaca (Q.S: Al-alaq, 1-5), padahal kita tau bahwa Muhammad ketika itu (berumur empat puluh tahun) tidak mengenal yang namanya baca tulis. Tetapi Muhammad di tuntut untuk larut dalam proses membaca baik secara tersirat maupun tersurat atau dalam Islam kita kenal dengan istilah qauni'yah dan qauliyah. Membaca disini menjadi tulang punggung pengetahuan keilmuan, orang bisa menulis sudah pasti ia tekun dan konsisten dalam membaca. Membaca dan menulis adalah dua "sijoli" yang tak bisa dipisahkan dan itu merupakaan skill (kemampuan/keterampilan) tersendiri yang susah untuk diperoleh atau dimiliki seseorang (Hernowo: 2005).

Penanaman minat membaca sudah harus dibiasakan sejak anak sekolah dasar, penulis melihat umur sekolah dasar adalah momentum penting bagi orang tua untuk mengembangkan potensi (minat baca) anaknya. Daya hafal yang kuat merupakan pondasi utama anak diusia ini, apabila kebiasaan membaca telah ditanamkan maka memasuki usia remaja, dewasa, dan tua tidak bising atau anti membaca, karena telah memiliki bekal awal yang telah dipupuk sejak kecil. Patut disayangkan dan diakui bahwa banyak orang tua yang menyiayiakan kesempatan ini, sehingga ketika anak melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi (SMP/SMU/Kuliah) yang notabene pelajarannya itu sudah "diperangi" dengan buku-buku dan itu semua harus dilalui dengan keterampilan membaca akan mengalami kesulitan dalam transfer keilmuan dan pengetahuan. Malas membaca adalah "virus" yang terus menjadi bomerang bagi generasi muda. Virus itu telah ditularkan oleh generasi terdahulunya dan kini terus menular kesemua kalangan, tidak kenal usia dari yang muda sampai yang tua "terinveksi". Apa yang memyebabkan virus itu terus berkembang? Apakah sang ahli belum menemukan obat anti virus tersebut?

Setidaknya ada dua faktor yang penulis pikir sangat vital menyebabkan kenapa budaya malas membaca itu tak kunjung berubah. Pertama, rendahnya budaya cinta ilmu. Cinta akan ilmu pengetahuan memang belum membudaya di masyarakat kita, yang ada hanya budaya konsumtif dan kesenangaan sesaat. Shooping ke mal, makan direstoran mewah, membeli barang yang kurang bermanfaat hanya untuk kepuasaan batin, membawa anak rekreasi ketempat-tempat yang jauh jangkauannya dan memakan biaya yang banyak dan lain-lain. Itu semua lebih digemari dan menjadi kewajiban yang harus diagendakan ketimabang harus membeli sebuah buku yang harganya relatif murah dan meriah. Kedua, kurangnya kesadaran akan penting dan bermanfaatnya membaca. Kesadaraan akan pentingnya membaca tidak melekat dan mengakar kepada generasi muda kita. Lihat saja betapa sepinya pengunjung perpustakaan. Perpustakaan akan ramai dikunjungi apabila ada tugas dari dosen atau kewajiban penyelesaian studi akhir dalam bentuk penyususnan skripsi, padahal kita tahu bahwa perpustakaan itu adalah jantungnya perguruan tinggi atau universitas (baca: mahasiswa). Ada lagi, orang akan tertarik untuk keperpustakaan apabila ada proyek penelitiaan yang harus mencari referensi yang benar-benar akurat dan memenuhi standar sebagai penunjang yang harus dipenuhi dalam penelitian tersebut, setelah penelitian itu selesai dikerjakan maka good bay perpustaakaan, sampai ketemu pada proyek penelitiaan berikutnya. Lain lagi dengan anak-anak atau remaja yang masih menyandang status pelajar. Hari-harinya dihabiskan hanya untuk bermain, kluyuran, ngumpul bersama geng-gengnya tanpa ingat belajar (membaca) mengulangi pelajaran yang telah diterima di sekolah. Jam wajib belajar mulai dari pukul 18.00-20.00 yang terpampang di plang-plang depan sekolah tidak lagi dindahkan. Waktunya hanya dihabiskan untuk menikmati acara televisi yang seperti sinetron remaja. Sinetron seperti ini sangat-sangat digemari oleh kalangan remaja karena ia bisa menghipnotis para remaja untuk tetap duduk manis di depan layar televisi ikut larut dalam keheningan mengikuti arus cerita dalam sinetron tersebut. Apalagi yang membintangi sinetron itu para pemain muda yang ganteng, cantik serta gaul (istilah remaja sekarang). Apa hubungan antara minat membaca dengan kualitas pendidikan? Penulis berkesimpulan bahwa kenapa pendidikan Kalbar dari tahun ketahun terus merosot kebawah dibanding dengan daerah-daerah lain, salah satu faktornya adalah karena peserta didik kita belum terbiasa untuk membudayakan membaca dan menjadikan buku sebagai teman sejati yang tak pernah tinggal kemanapun pergi. Buku yang telah dibeli dengan harga yang super mahal hanya dijadikan pelengkap saat mengikuti pelajaran disekolah setelah itu dibuang atau diberikan kepada pemilik warung (pedagang) dijadikan bahan bungkusan. Kita sering menjumpai ketika berbelanja ada lembaran demi lembaran buku itu dijadikan (maaf) bungkusan terasi dan segala macam. Tampaknya membaca itu hanya dilakukan saat-saat tertentu saja seperti ujian, ulangan, tes, dan lain sebagainya.

Menurut hemat penulis, minimnya minat membaca juga merupakan tantangan yang harus dihadapi lembaga pendidikan kita selain dari biaya pendidikan yang begitu mahal, sarana dan prasarana yang kurang memadai, keterbatasan kemampuan guru, kurikulum yang belum jelas dan lain-lain. Untuk itulah membudidayakan membaca ini patut digalakan sedini mungkin oleh semua lapisan atau komponen baik itu pemerintah, akademisi, politisi, ulama, masyarakat, ekonom, prktisi, orangtua siswa, terlebih lagi bagi para mahasiswa dan pelajar.

Tiada hari tanpa membaca, teman sejati adalah buku. Setidaknya ungkapan itulah yang tepat untuk dikedepankan dan direalisasikan agar mencapai generasi yang berilmu pengetahuuan. Wallhu'alam bisshawab

*) Penulis Adalah Mantan Wakil Presiden Mahasiswa STAIN Pontianak/Nantan Pengurus HMI Cabang Pontianak

Opspek; Proses Pembelajaran

Oleh Ichwani AS *

SELAMAT datang Mahasiswa baru, selamat datang kaum intelektual muda, selamat datang generasi penerus bangsa, selamat datang pejuang dikampus tercinta. Begitulah kira-kira tulisan sebuah spanduk yang terpampang di depan pintu gerbang masuk sebuah perguruan tinggi sebagai pertanda penyambutan khusus bagi mahsiswa baru yang akan memuali aktivitasnya di bangku perkuliahan.

Intelektual muda, generasi penerus, pejuang, agen perubahan merupakan beberapa sebutan yang coba diberikan kepada mahasiswa, apalagi mahasiswa baru semangat belajarnya sangat enerjik dan memiliki sifat kritis serta analisa yang tajam. Begitulah sederetan sebutan yang diberikan kepada mahasiswa, walaupun kita sadar bahwa sebutan itu sangat berat untuk dipikul dan yang lebih penting yakni kita tau bahwa mahasiswa bukan "gila" untuk mencari sebutan atau pujian bahkan gelar tetapi yang terpenting adalah bagaimana seorang mahasiswa itu bisa menjalankan tugas dan tangung jawabnya dengan baik serta peka terhadap segala permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh rakyat. Ini yang penulis anggap penting untuk direalisasikan kepada kawan-kawan mahasiswa baru bukannya menularkan hal-hal yang bersifat provokatif dan sejenisnya oleh abang/kakak tingkat (senior). Sifat tersebut rentan diberikan para senior kepada adik tingkatnya (mahasiswa baru) ketika di ospek, padahal kita tau bahwa senioritas dalam perguruan tinggi (universitas) itu tidak ada.

Opspek (plonco) atau apalah namanya menjadi tren diadakan di kampus-kampus menjelang masuk perkulihan semester ganjil, apalagi kita ketahui bahwa tahun akademik 2005/2006 akan di mulai pada awal bulan September 2005. Artinya waktu perhelatan opspek sebentar dan tinggal menghitung hari untuk di mulai. Katanya, opspek diadakan bertujuan sebatas mengenalkan kampus beserta dinamikanya dengan segala materi yang telah diformat dan dijadualkan oleh panitia agar mahasiswa baru siap untuk bergelut didalamnya, yang jelas kegiatan opspek itu adalah latihan awal untuk berdialektika sebagai wadah pengembangan diri. Dialektika kampus yang dibangun itu semestinya mengarah pada proses pembelajaran bukan pembodohan, proses pembelajaran itu semestinya harus dicontohkan oleh abang/kakak tingkat karena abang/kakak tingkat adalah figur di kampus dan wajib untuk memberikan tauladan kepada adik tingkatnya. Perlu di ingat bahwa kakak/abang tingkat ketika dan atau sesudah ospek itu adalah sebagai pembimbing, pengarah, pengayom, pemberi contoh yang baik dan bukan sebaliknya.

Penulis melihat, beberapa tahun terakhir ini kegiatan opspek atau plonco telah kehilangan relevansi. Kenapa di sebut kehilangan relevansinya? Seperti kita ketahui bahwa kegiatan opspek dari tahun ke tahun selalu saja diidentikkan dengan kekerasan fisik bahkan lebih "sadis" dari pada itu yakni korban jiwa (meninggal dunia). Diperintahkan untuk berlari kesana kemari ketika berbuat salah, digertak, diterjang, dipukul baik mengunankan tangan maupun kayu, diperintahkan itu ini dan lain sebaginya sudah menjadi hal biasa dan anehnya menjadi tradisi dan membudaya karena ada unsur balas dendam dari sang "algojo" yang siap melampiaskan amarah yang sudah lama terpendam. Kenapa bisa demikian, alasanya sangat sepele karena waktu kami di opspek dulu diperlakukan seperti ini bahkan lebih kejam, makanya kami berbuat seperti ini karena kami menyimpan dendam kesumat yang berkepanjangan. Fenomena itu terus berkembang dan tidak ada habisnya dari tahun ketahun bahkan makin ganas dan ironisnya menjadi konsumsi lezat nan segar siap saji yang rugi untuk tidak dilahap, berita seputar kekerasan opspek ini juga bertebaran menghiasai halaman muka surat kabar dan menjadi menu utama sarapan pagi para pembaca. Inikah contoh perilaku generasi penerus yang diharapkan bangsa tetapi jauh dari nilai-nilai kemanusiaan? Pada hal kita tau bahwa bangsanya sedang "bangkit" melawan keterpurukan dari segala "penyakit" dan penyakit itu membutuhkan pengobatan secara intensif. Kepada siapa bangsa harus berharap jika perilaku generasi penerusnya terus mengalami dekadensi dan jauh dari norma-norma hukum serta nilai-nilai relegius (agama)? Inikah wajah buram pendidikan kita? Jujur saja, peristiwa yang dipaparkan penulis diatas merupakan cerminan betapa gelapnya masa depan bangsa dan lagi-lagi dengan peristiwa itu telah mencoreng lembaga pendidikan kita dan akan menambah daftar kasus hitam dunia pendidikan. Haruskah ospek dihapuskan?

Untuk itulah pada akhir tulisan ini, penulis berharap supaya opspek atau plonco yang diadakan tahun ini harus benar-benar menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, norma-norma sosial, hukum, agama dan yang jelas tetap berbudaya. Apa yang telah tejadi di tahun yang lalu biarlah menjadi 'itibar (introspeksi) agar kita tidak mengulangi hal yang serupa. Kini mari kita buka lembaran baru bahwa opspek tahun ini memang benar-benar orientasi pemanusiaan yang mengedepankan proses pembelajaran dengan intelektualitas sebagai ciri khas dan jati diri mahasiswa. Serta yang lebih penting adalah berfikir kritis, satu dalam pluralisme. Semoga maksud baik yang telah kita perbuat mendapat ridho dari Tuhan Yang Kuasa. Amien

Selamat datang kawan. Selamat belajar, berjuang serta berproses untuk menjadi insan akademis sejati. Kami tetap bersamamu. Wallahu'alam Bisshawab

*) Penulis adalah Mantan Wakil Presiden Mahasiswa STAIN Pontianak

Sudahkah Indonesia Merdeka?

Oleh: Aspari Ismail*

SEORANG nenek yang tua-renta menangis tersedu-sedu. Di usianya yang ke 60 tahun, dia belum mampu memberikan kebahagiaan kepada anak-cucunya yang sangat banyak. Dia tidak sanggup mendidik anak-anaknya dengan akhlakul karimah, sehingga banyak anak-cucunya yang menjadi perampok, penindas, dan apatis dengan sesama saudaranya yang lain. Hal yang membuat si nenek semakin sedih, ketika harta warisan dari sang suaminya telah banyak dijual oleh anak-anaknya. Untuk mempertahankan hidupnya, si nenek terpaksa harus berhutang dengan orang-orang kaya. Karena utang yang semakin menumpuk, sedangkan nenek tak sanggup untuk membayar, apalagi anak-anaknya tidak peduli dengan dirinya, membuat nenek terpaksa harus rela "ditiduri" oleh orang kaya tersebut. Parahnya lagi si nenek diancam akan dibunuh jika menceritakan perlakuan tersebut kepada orang lain. Celakanya, untuk berbicara tentang apapun si nenek harus ada instruksi dan mesti sesuai dengan keinginan orang kaya tersebut.

Ilustrasi tersebut, laksana ibu Pertiwi yang meratapi nasib anak negerinya. Nasib buruk yang dialami oleh si nenek, juga dirasakan Indonesia saat ini. Derita yang alami si nenek, hanya sedikit gambaran tentang kondisi Indonesia yang sesungguhnya. Masih banyak penderitaan lain yang lebih parah lagi, yang tentunya bagaikan sembilu yang mengiris hati. Lihatlah Indonesia hari ini. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah berkiblat kepada IMF, Bank Dunia dan lain sebagainya. Apapun keputusan yang akan diambil, acuannya kepada negara lain. Dimana letak berdaulatnya negara Indonesia?

Belum lagi jika kita melihat nasib rakyat Indonesia. Meminjam pendapat Soe Hok Gie, rakyat adalah orang yang selalu bergelimang dengan penderitaan. Rakyat Indonesia hingga saat ini mayoritas hidup dalam penderitaan. Jika kita saksikan kehidupan rakyat sekitar, dalam kesehariaannya masih banyak yang hidup seperti di zaman penjajahan. Letak perbedaaanya hanya bentuk dan pelaku sejarahnya saja, sedangkan substansinya sama: rakyat tersiksa dan tertindas.

Kalau dulu, rakyat tersiksa karena diperintahkan oleh penjajah untuk kerja paksa, sedangkan sekarang rakyat menderita karena tidak memiliki pekerjaan. Banyak rakyat yang masih menganggur bahkan makin bertambah. Hasil survei BPS mencatat sampai Februari 2005 jumlah pengangguran terbuka mencapai 10,9 juta orang atau bertambah sekitar 600.000 orang dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Pelita, 12 Juli 2005). Belum lagi ditambah dengan banyaknya rakyat yang terkena PHK.

Jika dulu yang boleh menikmati pendidikan hanya keturunan priyayi, sedangkan sekarang yang bisa merasakan pendidikan berkualitas tinggi hanya orang-orang borjuis. Intinya sama saja, orang miskin, dan masyarakat kelas bawah, tidak bisa mengecap pendidikan. Padahal pendidikan adalah merupakan salah satu Hak Azazi Manusia. Dewasa ini, kita seringkali membaca, mendengar, melihat kenyataan yang sangat mengenaskan. Tak sedikit anak kecil dan orang tua yang mengakhiri hidupnya hanya karena tak sanggup membayar uang sekolah.

Dulu, konon katanya rakyat juga mengalami krisis BBM, sekarang kondisinya juga tidak jauh berbeda. Antrian panjang hampir setiap hari kita lihat di SPBU. Celakanya lagi, disaat kondisi seperti itu masih ada yang haus harta, mengambil keuntungan dengan menimbun BBM dan sebagainya. Celakanya lagi, dari pemberitaan di media diketahui bahwa pelakunya dibeking oleh oknum aparat.

Kondisi tersebut diperparah lagi dengan tenggelamnya rasa kebersamaan, rasa nasionalisme, dan sense of crisis, di jiwa para penguasa dan wakil rakyat di negeri ini. Di saat banyak rakyat yang menderita karena ditimpa berbagai musibah; bencana Tsunami, busung lapar, gizi buruk, polio, krisis BBM dan sebagainya. Ternyata para wakil rakyat bertingkah yang macam-macam. Minta naikkan gaji, studi banding ke negara lain, shopping besar-besaran di luar negeri dan sebagainya. Perlakuan tersebut jelas sangat menyakitkan hati rakyat, karena para wakilnya telah mengkhianati rakyat miskin.

Dari kondisi yang dialami rakyat Indonesia, kita mesti bertanya: "Sudahkah Indonesia Merdeka?" Tidak berlebihan jika ada rakyat yang berujar: "Indonesia ini merdeka atau tidak sama saja, rakyat masih tetap menderita". Ungkapan tersebut merupakan luapan kekecewaan rakyat yang sangat polos. Mereka sangat kecewa karena walaupun Indonesia sudah "merdeka" hingga 60 tahun, kondisi yang mereka alami juga sama yang dialami oleh para pendahulunya. Jutaan orang di Indonesia hingga saat ini masih tinggal di tempat yang tidak layak huni. Hidup dibawah bayang-bayang ketakutan dan kekhawatiran tentang masa depan mereka. Takut jika tiba-tiba saja aparat mengusir mereka dari tempat tinggal, karena dilakukan penggusuran, apalagi dengan adanya Perpres 36/2005.

Rakyat merasa Indonesia belum merdeka seutuhnya. Indonesia merdeka hanya "di atas kertas". Rakyat "berbahagia" hanya disaat ketika merayakan Hari Ulang Tahun Indonesia (HUT), bukan hari Kemerdekaan Indonesia. Di HUT Indonesia biasanya mereka tertawa ketika ada perlombaan "pesta rakyat; panjat pinang, karaoke Dangdut, dsb". Kegembiraan itu hanya sekadar "pelampiasan" untuk mengusir kepenatan dalam mengaruhi derasnya persaingan kehidupan. Setelah kegiatan selesai, maka rasa susah dan sedih akan datang lagi menghampiri. Kemerdekaan, hanya dirasakan oleh elit politik, para penguasa, dan pengusaha. Mereka bebas mengeruk, mengumpulkan, dan memakan uang rakyat. Mereka bebas beralih posisi, bertukar jabatan, bebas ke luar negeri, melakukan korupsi, dan lain-lain. Mereka benar-benar menikmati manisnya kemerdekaan.

Rakyat tentunya mengharapkan di HUT Republik Indonesia yang ke 60 tahun ini, supaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mampu memberikan kemerdekaan yang sebenarnya untuk rakyat Indonesia. Pemerintah harus mampu menangkap dan menarik para "tikus-tikus" ke meja hijau dan dijatuhkan hukuman yang setimpal, sehingga tidak ada lagi yang bisa "menjajah" negeri ini secara terselubung. Ungkapan Presiden ketika berkunjung ke Tiongkok: "Musuh kita saat ini adalah waktu" harus bisa diaktualisasikan agar lebih serius dan bekerja keras dalam "berjuang" untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia dimata negara lain. Kesungguhan dan keseriusan tersebut harus dukung dan diikuti oleh pejabat lainnya. Sehingga Indonesia hari ini harus lebih baik dari hari kemarin.**

*) Penulis adalah Mahasiswa STAIN Pontianak dan Mantan Sekretaris Umum HMI Cabang Pontianak

UN akan Dilupakan?

Oleh Abriyandi, S.Pd*
KETIKA gong pengumuman hasil kelulusan Ujian Nasional siswa ditabuhkan, kita semua terperangah. Tetapi hal itu hanya sesaat, menatap prosentase kelulusan yang berada sedikit di atas Provinsi Nangro Aceh Darussalam yang terkena bencana alam massal, gelombang Tsunami. Namun sebentar lagi, realitas pendidikan yang mengenaskan ini tidak menarik lagi untuk diperbincangkan, berlalu begitu saja, mungkin hilang dan tenggelam oleh isu Pilkada atau isu-isu lainnya yang lebih populis untuk digunjingkan.

Sementara itu, masih terbayang di mata kita, bagaimana arak-arakan dan coret-coretan pakaian menjadi model yang trendy bagi siswa yang lulus guna melupakan kegembiraannya. Semoga lanjutan luapan kegembiraan tersebut tidak diiringi dengan pesta obat-obatan terlarang.

Kita sudah lupa, di propinsi ini hasil Ujian Nasional dengan sistem yang baru ini, selama dua tahun terakhir prosentase kelulusannya menunjukan grafik yang menurun. Ketika realitas ini terjadi, kita lupa bahwa Kalbar akan mengalami los generasi. Kita lupa bahwa Kalbar akan sangat miskin dengan generasi penerus yang memiliki moral yang baik serta kualitas intelektual yang handal.

Ketika guru dan pihak sekolah lupa, maka guru dan pihak sekolah hanya serius berkonsentrasi menghadapi proyek Ujian Nasional tahap II. Selanjutnya tidak akan ada perubahan ke arah perbaikan kualitas belajar mengajar, tidak akan ada perbaikan manajemen pengelolaan sekolah.

Ketika Komite Sekolah lupa, maka orang tua siswa tidak serius menajamkan peran kontrol dan partisipasi mereka terhadap kemajuan sekolah. Ketika Diknas lupa, maka mereka hanya sibuk untuk menseriusi Proyek Ujian Nasional Tahap II yang cukup banyak mendatangkan rezeki. Selanjutnya, program kerja copy paste akan terus berulang sepanjang sejarah sejak adanya Diknas, tanpa adanya evaluasi kinerja yang utuh terhadap program turun temurun tersebut. Proyek pembelian buku yang menelan biaya milyaran rupiah setiap tahun akan terus ditingkatkan, sementara sebagian besar sekolah masih tetap menjerit karena tidak punya fasilitas buku yang tepat jumlah dan tepat mutu. Proyek peningkatan mutu guru melalui program pendidikan penyetaraan yang dilaksanakan setengah hati masih terus berjalan tanpa pernah dievaluasi dampaknya terhadap peningkatan kualitas guru tersebut di dalam mengembangkan pengajaran. Proyek penyusunan data base pendidikan menjadi agenda tahunan, tetapi persoalan pendidikan tidak pernah terpetakan secara benar.

Ketika elit Pemerintah Daerah (provinsi dan kabupaten/kota) lupa, maka mengalokasikan anggaran 20% akan tetap menjadi beban berat yang akan menguras anggaran, dan tak pantas untuk dipenuhi, meskipun menjadi amanah Undang-Undang. Keterbatasan atau minimnya anggaran akan tetap menjadi alasan yang cukup logis untuk dipaparkan, agar tetap dipandang masih memiliki komitmen yang tinggi terhadap pendidikan, tapi apalah daya tangan tak sampai.

Ketika legislatif lupa, maka mereka menjadi "tidak mampu" menjalankan fungsi penganggaran secara maksimal, dan tidak pernah memainkan peran kontrolnya terhadap carut-marutnya dunia pendidikan.

Ketika Dewan Pendidikan lupa, maka pantas mereka tidak pernah menjalankan keempat fungsinya, memberikan pertimbangan, dukungan, pengawasan, dan mediasi.

Kondisi ini akan lebih buruk lagi jika lupa diikuti dengan saling lempar tanggung jawab dan saling menyalahkan. Orang tua menyalahkan sekolah sebagai pihak yang bertanggungjawab penuh terhadap keberhasilan anak-anak mereka. Pihak sekolah mengeluhkan siswa yang malas dan tidak serius belajar, dan mengeluhkan dana operasional yang selalu minim. Legislatif menuding eksekutif yang tidak becus mengurus pendidikan. Pemerintah kabupaten/kota menunggu komitmen yang lebih besar dari pemerintah propinsi dan pemerintah pusat. Pemerintah propinsi menganggap peran maksimal ada pada pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah pusat melalui dalih otonomi daerah menganggap daerah lah yang harus lebih maksimal mengurus dirinya sendiri.

Tidak cukupkah agenda pendidikan nasional tahunan ini menjadi pelajaran buat kita semua untuk melakukan otokritik terhadap peran dan fungsi masing-masing? Sudahkah kita serius mengurus pendidikan? Apakah guru/pihak sekolah, Komite Sekolah, Diknas dan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, Legislatif, dan Dewan Pendidikan sudah mendudukan dan menjalankan peran dan fungsinya secara benar dan maksimal? Kapan kita akan memulai perubahan ini?

Mengubah wajah pendidikan berarti mengubah wajah suram masa depan daerah tercinta ini. Kata kuncinya adalah membangun komitmen kolektif dari semua komponen yang terlibat langsung dan bertanggung jawab penuh terhadap dunia pendidikan. Jika guru/pihak sekolah, orang tua siswa/Komite Sekolah, Diknas/Pemerintah Daerah, DPRD, dan Dewan Pendidikan dapat mengambil pelajaran positif dari realitas hasil Ujian Nasional yang dicapai siswa ini, selanjutnya merumuskan langkah dan kebijakan yang lebih serius terhadap pendidikan, maka inilah pintu masuk guna mendongkrak penyiapan sumber daya manusia di Kalbar. Semoga realitas hasil Ujian Nasional ini tak terlupakan.**

*) Penulis adalah Ketua Umum Perhimpunan Guru untuk Reformasi Pendidikan Kalimantan Barat (PERGERAKAN KALBAR)

Orang Miskin Dilarang Masuk Sekolah?

Oleh Ichwani AS

PENDIDIKAN kini telah kehilangan relevansi yang katanya ingin mencerdaskan kehidupan Bangsa, meminjam bahasanya Paulo Fraire itu memanusiakan manusia. Dalam kurun waktu tiga puluh tahun terakhir ini kitatidak punya lagi sekolah dalam arti sejati. Kita hanya membangun lembaga-lembaga, di mana anak-anak itu hanya ditekankan kepada kuatnya daya menghafal agar mereka menjadi sekrup mekanisme yang taat. (Andreas Harefa:2005) Sekarang yang dapat kita lihat hanya ada penatar, instruktur dan pawang. Ternyata pendidikan kita tengelam dalam power system. Sekolah harus ada counter -education. Kalau tidak bangsa kita akan terus merosot menjadi bangsa kuli babu atau panda-panda dalam sirkus. Jadi persoalannya sekarang adalah bagaimana kita menyusun suatu masyarakat di mana orang-orang kita sungguh-sungguh menjadi manusia merdeka, manusia yang tuan-tuan dan puan-puan. (Y.B. Mangunwijaya:1995)

Apabila pendidikan kita sudah merdeka dalam arti sebenarnya maka apa yang menjadi dambaan negeri ini yaitu terciptanya Anak Bangsa Cerdas Kreatif Inovatif serta Taqwa (ABCKIT) akan tercapai dan implikasi yang dapat kita lihat yaitu peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang setara bahkanmampu bersaing dengan SDM Negara luar ketika go public dan nantinya secara implicit akan berpengaruh kepada pencitraan Bangsa kearah yang baik dan mapan dibandingkan dengan hari ini. Yang menjadi pertanyaan anak Bangsa mana yang ingin dicerdaskan? Masih banyak anak-anak Indonesia yang di pelosok-pelosok daerah yang tidak tersentuh dengan pendidikan (baca:putra daerah)? Berapa banyak anak Indonesia yang tidak pernah merasakan "manisnya" bangku sekolah untuk mengenal atau mengetahui huruf dan angka agar bisa membaca, menulis, berhitung dan bermain bersama teman-teman sebaya? Terus berapa banyak anak Indonesia yang putus sekolah akibat tingginya biaya pendidikan? Berapa persentase tingkat buta hurup di negeri ini?Yang ada hanya wajah lugu penuh belas kasihan meratapi masa depannya yang suram?

Beberapa pertanyaan yang coba dilontarkan penulis di atas memang kecil dan sepele kedengarannya, tapi memiliki maka mendalam dan akan memakan proses yang panjang untuk menyelesaikannya. Sebagai langkah awal yang perlu kita sadari dan cermati bersama adalah bagaimana permasalahan-permasalahan itu kedepannya tidak muncul kembali, tentunya dengan cara mengetahui akar permasalahannya dan mencarikan solusi konkrit yang dapat membawa angina segar perubahan tentunya oleh semua pihak yang merasa bertanggung jawab dan yang "ngaku" peduli atas realitas dunia pendidikan kita. Dari solusi tersebut perlu disepakati bersama adalah menghindarkan dari sifat yang saling mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, mencaci, menuduh dan bahkan mengkambing hitamkan baik itu orang maupun institusi dan tentunya solusi yang disepakati tersebut tidak hanya habis di bangku-bangku diskusi, forum-forum rapat pihak terkait, dialog dan lain-lain tetapi yang diperlukan adalah realisasinya, perlu di ingat bahwa "rakyat bukan butuh janji tetapi rakyat butuh bukti" .

Ada hal yang menjangal terus dalam pikiran penulis sampai hari ini melihat realitas dunia pendidikan kita sekarang ini mulai dari kualitasnya yang rendah, kurikulum yang mengambang, kemampuan/spesialisasi guru dalam mengajar, biaya pendidikan yang mahal, sistem pembelajaran yang perlu dibenahkan kembali, sarana prasarana yang terbatas dan lain-lain. Penulis ingin memfokuskan tulisan ini mengenai hal yang menjangal dalam pikiran tadi yaitu tentang BIAYA pendidikan yang semakin hari semakin melonjak tinggi naik ibarat pohon bambu yang hidupnya selalu menjulang tinggi. Seperti kita ketahui bahwa akhir-akhir ini setelah kenaikan kelas dan kelulusan Sekolahmulai dari tingkat TK, SD/sederajat, SMP/sederajat, SMA/sederajat maupun Perguruan Tinggi (Universitas) menerima Siswa dan Mahasiswa baru. Dalam penerimaan Siswa/Mahasiswa baru tersebut dibentuklah panitia penerimaan Siswa/Mahasiswa baru (SPMB) dari kepanitiaan itu dirumuskanlah estimasi biaya ini dan biaya itu sehingga kesimpulan akhirnya biaya daftar masuk begitu tinggi (mahal) boleh di survey di sekolah mana dan perguruan tinggi mana yang biaya masuknya gratis, semuanya bayar. Ini tidak sesuai dengan apa yang telah dijelaskan pihak legeslatif Kota ini lewat media yang katanya biaya masuk sekolah tahun ini tidak dikenakan biaya alias GRATIS, katanya gratis tapi realisasinya. Lantas bagaimana dengan anak yang pandai (pintar) baik dari intelektual, emosional dan spritualnya tetapi orangtuanya miskin/ekonominya menengah kebawah yang hanya pas-pas untuk makan sehari sedangkan untuk melanjutkan pendidikan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi tidak mampu? Dampak dari kenaikan biaya pendidkan tersebut mengakibatkan orang yang tidak punya uang banyak tidak bisa sekolah dan hanya bisa gigit jari, tanpaknya ada pe-nolak-an atau pe-larang-an secara halus terhadap orang miskin untuk tidak sekolah dalam bahasa yang radikal Eko Prasetyo menuluisnya dengan kalimat "ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH". Sekolah hanya bisa dimasuki oleh "kaum priyayi" yang punya uang banyak.

Ironis memang tapi ini lah kenyataan dunia pendidikan kita, bukankah dalam amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 31 ayat 4 yang menjelaskan bahwa anggaran penyelenggaraan Pendidikan Nasional minimal 20% di ambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dari pasal 31 ayat 4 ini jelas bahwa kita mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan Pendidikan Nasional (baca: birokrat). Jika penyelenggaraan Pendidikan Nasional sudah bisa teratasi dari segi materi maka kita tidak akan mendengar lagi ada orangtua siswa yang bunuh diri karena tidak bisa membayar SPP anaknya, Siswa mencuri karena tidak dapat membeli sebuah pensil, Siswa menjadi anak jalanan meminta kesana kemari karena tidak punya uang untuk membeli buku paket dan lain-lain. Secara ideal, penyelenggaraan Pendidikan Nasional seharusnya mengacu kepada apa yang dilukiskan dalam kunstitusi diatas. Namun dalam realitasnya justru mengatakan lain. Pendidiikan Nasional menyimpan banyak persoaalan dan sampai sekarang belum juga terselesaikan. (Mu'arif : 2005)

Satu harapan akhir penulis, mudah-mudahan apa yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 ".......kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia, yang melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa ........" bisa terealisasi dengan baik dan bukan utopis belaka yang itu semua tidak akan terwujud sampai kapan pun, apa bila tidak terwujud maka kita telah menodai serta mengingkari perjuangan suci para suhada pemimpin Bangsa ini terdahulu. Wallahu'alam Bisshawab

*) Penulis adalah Mantan Pengurus HMI Cabang Pontianak dan Aktif di Urban Poor Linkage (UPLink) Pontianak

Memperhatikan Hak-hak Anak

Oleh : Aspari Ismail

ANAK menjadi dambaan bagi setiap keluarga. Hadirnya anak, membuat suasana rumah tangga menjadi ceria. Imam Al-Ghazali mengatakan, "Anak adalah amanat bagi orangtuanya. Hatinya yang bersih adalah mutiara jiwa, bersih dan kosong dari berbagai bentuk, dan ia menerima sesuatu yang mewarnainya, serta cenderung pada sesuatu yang telah membentuknya". Apabila anak di didik dengan benar, maka akan memberikan kebahagiaan bagi orangtuanya. Sebaliknya, manakala orangtua salah dalam mendidik kepribadian dan prilaku anaknya, maka akan menjadi beban dan menyusahkan orangtuanya. Karenanya, setiap orangtua harus memperhatikan hak anak-anaknya.

Salah satu hak anak yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak (KHA) adalah hak atas pendidikan. Termasuk di dalamnya pendidikan anak usia dini (PAUD), yaitu pendidikan bagi anak yang berada dalam rentang usia 0-6 bulan (Adiningsih, 2005). Rasulullah saw pernah ditanya tentang hak seorang anak atas ayahnya, beliau menjawab, "Memberinya nama yang baik dan mendidiknya dengan baik". Sayangnya, saat ini hak atas pendidikan dan kesehatan telah direnggut dan diabaikan oleh orangtua mereka sendiri dan disponsori oleh Pemerintah. Ada beberapa hal yang menyebabkan kondisi ini terjadi.

Pertama, karena orangtua belum memahami perannya sebagai pendidik bagi anaknya. Tak sedikit orangtua yang beranggapan bahwa pendidikan adalah hanya tugas bapak dan ibu guru di sekolah. Umumnya mereka berasal dari golongan masyarakat yang miskin, dan dengan latar pendidikan yang rendah. Mereka sibuk bekerja keras, siang-malam untuk memenuhi kebutuhan materi keluarganya. Padahal, orangtua sebetulnya harus menjadi guru utama dan rumah harus menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya.

Kedua, orangtua paham perannya sebagai pendidik, tetapi mengabaikan tugasnya, hanya karena ingin memuaskan obsesinya semata. Pengalihan fungsi sebagai pengasuh dan merawat anaknya dimandatkan kepada "baby sitter", walaupun usia anaknya baru 3-4 bulan. Sebetulnya disamping materi, seorang anak juga membutuhkan perhatian, kasih sayang dan pendidikan dari orangtuanya. Rasullullah saw pernah bersabda, "Tidak ada warisan seorang ayah kepada anaknya yang lebih baik daripada akhlak yang baik".

Seringkali karena orangtua sibuk sehingga jarang melakukan komunikasi menyebabkan "broken home". Jika ini terjadi, anak tentu sasaran utama imbasnya, mereka akan melampiaskan pada perbuatan yang merusak masa depan, seperti; konsumsi narkoba, melakukan free sex, dan lain-lainnya. Kita tentu sangat terkejut, ketika mendengar kabar bahwa anak usia SD telah terjerat narkoba. Berita terkini yang paling menyedihkan adalah ketika anak yang berusia dibawah 10 tahun telah melakukan perbuatan cabul. Al-Ghazali (dalam ash-Sawwaf, 2003) mengungkapkan, "Sesungguhnya anak kecil dengan kesuciannya diciptakan untuk menerima kebaikan dan keburukan secara bersamaan, dan orangtuanyalah yang mengarahkannya pada salah satunya".

Ketiga, kurangnya perhatian pemerintah terhadap rakyat miskin. Sebab kemiskinan tidak saja akan membuat orangtua tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah formal/non formal. Apalagi sekarang ini, untuk mengambil formulir masuk sekolah saja, sudah harus merogoh saku ratusan ribu bahkan jutaan. Tragisnya, sekedar untuk memberikan makan yang "agak" bergizi saja mereka tidak sanggup. Buktinya, di setiap daerah terdapat kasus busung lapar dan gizi buruk.

Kondisi tersebut memaksa ibu-ibu untuk mencari uang. Sehingga, ia tidak ada waktu lagi untuk mengasuh dan mendidik anaknya. Bahkan tidak jarang, anak-anaknya yang masih berusia dini, juga "diajak" bekerja (mengemis, mengamen, berdagang asongan, dsb). Pemandangan yang menyedihkan itu hampir setiap hari ditemui di setiap persimpangan jalan. Banyak anak-anak, yang seharusnya berada di sekolah atau masih harus bermain dengan teman seusianya, harus menguras tenaga dan membanting tulang mencari duit. Mereka sering disebut sebagai anak jalanan.

Arbit Sanit menilai, bahwa penyebab adanya anak jalanan dikarenakan akibat keretakan rumah tangga. Mereka merasa tidak nyaman dirumah, karena orangtua mereka tidak sanggup untuk menciptakan "surga" di rumahnya. Kemudian alasan kedua, karena himpitan dan desakan ekonomi orangtua. Mereka adalah korban dari sistem ekonomi yang kompetitif. Apabila kondisi ini dibiarkan terus berlanjut, maka searti dengan menyia-nyiakan potensi anak yang luar biasa.

Bukan tidak mungkin, suatu saat bangsa ini akan mengalami "lost generation", yakni generasi penerus yang lemah dan tidak sanggup bersaing dengan bangsa lain. Mengakhiri tulisan ini, saya kutipkan ungkapan Umar bin Khattab, "Sesungguhnya anak-anakmu itu dijadikan untuk generasi sekarang ini, dan dijadikan untuk menghadapi zaman yang lain dari zamanmu". Untuk itu, tugas orangtua dan Pemerintah mesti memberikan perhatian secara optimal atas hak anak, khususnya kesehatan dan pendidikan.

*) Penulis adalah Mahasiswa Tarbiyah STAIN Pontianak dan Mantan Sekretaris Umum HMI Cabang Pontianak.

Globalisasi=New Imprealisme

Oleh Rasiam SE,I
TULISAN ini berawal dari sebuah kegelisahan terhadap wacana-wacana yang berkembang terutama tentang globalisasi. Kegelisahan itu datang ketika ada beberapa orang mengatakan bahwa globalisasi adalah sebuah keharusan dan kalau boleh mengatakan "wajib" bagi negara-negara berkembang atau negara miskin. Dengan adanya globalisasi hidup kompetitif akan semakin meningkat dan kualitas individu dan kelompok menjadi salah satu prasyarat yang tidak boleh tidak harus dimiliki. Demikain kira-kira ungkapan "para ahli" yang pro terhadap adanya globalisasi. Kelompok pro ini banyak ditemukan di Indonesia terutama pada segelintir elit penguasa sehingga dapat mempengaruhi kebijakan.

Dari kebijakan segelintir elit tersebut dapat merubah tatanan/system Indonesia baik dari segi politik maupun ekonomi. Dari sisi politik globalisasi nantinya akan mengarah pada liberalisme dan demokrasi. Sementara sisi ekonomi, globalisasi akan mengarah pada adanya pasar bebas, privatisasi BUMN dan pencabutan subsidi.

Sementara jika dikaji dari sisi lain globalisasi adalah sebuah konsep yang berwajah banyak (munafiq). Selain memiliki wajah geopolitik dan tekonologi, ia juga memiliki wajah ekonomi dan budaya (Revrisond Baswir ; Anggota Dewan Penasehat Koalisi Anti Utang). Sepintas lalu terutama jika dilihat dari sudut pandang geopolitik dan teknologi, globalisasi tampak sangat masuk akal. Akan menjadi persoalan besar ketika globaslisasi masuk dalam dunia ekonomi dan budaya. Secara ekonomi, walaupun globalisasi menjanjikan percepatan pertumbuhan ekonomi dunia, akan tetapi akan timbul pertanyaan, siapa yang akan mendapat keuntungan, apa yang akan di dapat dan berapa banyak perbandingan pendapat yang akan diperoleh oleh negara miskin? Ketiga pertanyaan ini mengilhami betapa kita harus jeli terhadap globalisasi.

Setelah melihat catatan sejarah globalisasi datang setelah runtuhnya kolonialisme, bersamaan dengan hancurnya negara-negara jajahan. Melihat kondisi yang tidak menentu negara-negara kolonial yang nota bene negara kapital berpikir keras agar tetap dapat menguasai negara jajahan dengan tidak menggunakan kekeran fisik lagi. Karena dengan adanya negara-negara jajahan tadi merupakan wujud eksistensi bagi negara maju. Sekaligus negara jajahan akan selalu menjadi sapi perahan dari segi sumber daya alamnya.

Sebagai bentuk upaya pemulihan kepercayaan tadi maka di era 60-70-an ditemukan resep mujarap dalam membangun kembali negara jajahan dari masa kehancurannya. Obat mujarap itu adalah developmentalisme (konsep pembangunan).

Melaui resep developmentalisme (konsep pembangunan) ini proses penyebaran misi dan misi negara kapital semakin mudah apalagi dapat melalui wadah birokrat, para intelektual, perguruan tinggi dan lain sebagainya. Mereka menawarkan program yang menggiurkan dengan modal yang tidak sedikit asal tujuan ideology tercapai.

Istijar mengatakan, dengan bahasa pembangunan dan demokrasi negara imprealis melakukan intervensi suatu negara melalui lembaga donor seperti IMF, World Bank dan ADB. IMF misalnya, dengan mengeluarkan persyaratan bagi negara yang ingin meminjam uang menggunakan sistem LoI (Letter of Intents). IMF menyerukan kepada negara debitor untuk melakukan privatisasi perusahaan milik negara, pencabutan subsidi pada sektor publik dan memberikan kebebasan kepada pasar. Tiga hal pokok ini yang menjadi sasaran sekaligus target bagi negara-negara imprealis.

Gejala di atas sudah terbukti di Indonesia. Pada masa kepemimpinan Megawati dengan susunan kabinet gotong royongnya perivatisasi BUMN meraja lela seperti PLN dan Telkom. Kemudian pada masa sekarang (kepemimpinan SBY-JK) pencabutan subsidi terwujud juga pada BBM. Terjadinya privatisasi BUMN setidaknya berpengaruh pula pada hilangnya dominasi hak penguasaan negara atas usahanya. Begitu juga akan mengakibatkan hilangnya asset-aset negara. Biaya akan mahal karena penguasaan sudah berpindah ke swasta. Akhirnya hak monopoli yang mendominasi pada sistem usaha tersebut.

Secara umum sudah dapat disimpulkan sekaligus menjadi kesadaran kita bersama bahwa globalisasi pada dasarnya adalah sebuah proses sistematis untuk merombak struktur perekonomian negara-negara miskin, terutama dalam bentuk pengkerdilan peranan negara dan peningkatan peranan pasar, sehingga memudahkan dilakukannya pengintegrasian dan pengendalian perekonomian negara-negara miskin tersebut di bawah penguasaan para pemegang modal (negara kapital).

Melalui sisi yang berbeda dapat dipastikan bahwa bahaya globalisasi bagi negara-negara miskin pada dasarnya terletak pada melemahnya kemampuan sebuah pemerintahan untuk melindungi kepentingan negara dan rakyatnya. Bahkan sebalinya semakin meningkatnya ketergantungan perekonomian pada negara-negara maju. Sebagi contoh, pada tahun 1974 Mahatir Muhamma mampu melindungi rakyatnya dengan politik Bumi Putra-nya. Semangat politik Bumi Putra tersebut ialah bagaimana seorang Mahatir mampu melindungi para pelaku ekonomi yang berasal dari Malaysia itu sendiri. Sekarang konteknya sangat berbeda dengan Indonesia, kepastian hukum seperti yang terjadi di Malaysia tidak pernah dirasakan oleh masyarakat terutama pelaku ekonomi di Indonesia. Yang ada hanyalah pemerasan dan penggusuran besar-besaran.

Dengan demikian bila dikaji dengan cermat globalisasi bukanlah proses alimiah yang mesti kita turuti dan taati. Dia lahir melalui system yang terencana dengan sebuah tujuan imprealis. Ia syarat akan kepentingan dan muslihat, khususnya yang mendatangkan keuntungan bagi para pemodal yang berasal dari negara kaya. Untuk itu globalisasi adalah sebuah bentuk imprealis baru yang mesti kita sadari bersama. Bukan imprealis yang berbentuk fisik, akan tetapi sudah mulai berubah bentuk yaitu dengan penanaman sebuah ideology yang penuh dengan perangkap.
(Penulis adalah pengurus BADKO HMI Kalbar dan pengurus Masyarakat Ekonomi Syari'ah Kalbar)

Komitmen Pemda Terhadap Bazda, Perlu Perda?

Oleh : Viryan
BADAN Amil Zakat (Bazda) Kalbar telah melaksanakan musda yang dihadiri oleh Gubernur Kalbar H Usman Jafar. Musda tersebut dilakukan untuk mengevaluasi kerja pengurus lalu dan menyusun program untuk pengurus berikutnya, sekaligus memilih pengurus baru sebagaimana telah diberitakan harian ini. Salah satu hal yang menarik adalah munculnya soal ketiadaan dukungan Pemda Kalbar terhadap Bazda Kalbar untuk mendukung operasional Bazda. Terlebih Bazda Kalbar selama dibawah kepemimpinan Alm H Djuni Hamidy, SH telah menoreh prestasi nasional dengan merebut ZAKAT AWARD, suatu penghargaan yang patut menjadi kebanggaan daerah.

Profil UU Pengelolaan Zakat

Permasalahan pengelolaan zakat di Indonesia telah diatur dalam UU No. 38 Tahun 1999 yang termasuk undang-undang sederhana karena hanya terdiri dari 25 pasal saja, sangat berbeda dengan UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu atau UU Pemerintahan Daerah No. 32 Tahun 2004. Selain sederhana, perbedaan lainnya adalah keberadaan UU Pengelolaan Zakat tersebut nyaris tidak menarik perhatian publik, sangat berbeda dengan dua undang-undang lainnya. Namun dengan UU Pengelolaan Zakat, telah hadir dengan mendapat legitimasi pemerintah belasan lembaga pengelola zakat nasional yang berkhidmat untuk melayani dan memandirikan masyarakat, sebagai contoh dapat disebut seperti Dompet Dhuafa (DD), Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU), Dompet Peduli Ummat (DPU) Aa Gym, hingga Baznas dan lembaga zakat bank syariah seperti Baitul Maal Muamalat atau BSM Ummah dan lainnya. Kiprah lembaga tersebut sangat terasa keberadaannya ditengah-tengah masyarakat miskin atau yang termiskinkan. Mereka tidak banyak bicara tentang nasib orang miskin, karena bagi mereka orang miskin bukan semata-mata untuk dibicarakan dan lebih-lebih dibicarakan untuk disejahterakan, melainkan didampingi dan didukung untuk dimandirikan, sehingga tidak terjadi pelestarian kemiskinan.

Demikianlah, nasib kaum miskin dan papa kurang terperhatikan dan keberadaan undang-undang tentang pengelolaan zakat yang didedikasikan untuk mengurus kaum miskin dan papa juga sama nasibnya, kurang terperhatikan (tidak diperhatikan). Kenyataannya Bazda Kalbar tanpa dukungan operasional dari pemerintah daerah dapat berkarya untuk melayani dan memandirikan ummat, terlebih bila mendapat dukungan?

Tantangan Buat Bazda

Dengan adanya bantuan operasional dari pemda kepada Bazda Kalbar (Bazda Kabupaten/Kota) nantinya akan menjadi pendukung operasional Bazda sehingga dapat lebih eksis dalam menjalankan programnya. Sebagai konsekwensinya atau menyiapkan diri untuk menerima dukungan operasional APBD, diharapkan Bazda dapat juga terus berbenah diri untuk semakin mengoptimalkan penerapan manajemen zakat modern dengan prinsip-prinsip tepat sasaran, transparan dan profesional. Terlebih usia organisasi Bazda yang cukup lama serta memiliki potensi muzakki yang paling besar di daerah ini dibanding dengan lembaga zakat lainnya. Erie Sudewo (Manajemen Zakat; 2004) mengemukakan 15 ciri pengelolaan zakat yang perlu dihindari, yaitu : 1. Anggap Sepele; 2. Pekerjaan Kelas Dua; 3. Tanpa Manajemen; 4. Tanpa Perencanaan; 5. Struktur Organisasi Tumpang Tindih; 6. Tanpa Fit and Proper Test; 7. Kaburnya Batasan; 8. Ikhlas Tanpa Imbalan; 9. Dikelola Paruh Waktu; 10. Lemahnya SDM; 11. Bukan Pilihan; 12. Lemahnya kreativitas; 13. Tak Ada Monitoring dan Evaluasi; 14. Tak Disiplin; 15. Kepanitiaan. 15 ciri tersebut muncul beranjak dari realitas pengelolaan zakat berkembang di masyarakat dan dalam pandangannya, bila zakat dikelola dengan menerapkan prinsip manajemen modern, maka berdampak pada semakin banyaknya kaum miskin yang dapat tersantuni oleh lembaga zakat dan ini telah dibuktikan dengan kiprah lembaga zakat nasional, bahkan laporan keuangannya juga diaudit oleh kantor akuntan publik. Pada tempatnyalah bila Bazda berkomitmen untuk terus berbenah diri, pemerintah daerah mendukungnya. Dalam UU No. 38 Tahun 1999, pasal 23 disebutkan bahwa ".....pemerintah wajib membantu biaya operasional badan amil zakat".

Perlunya Perda Pengelolaan Zakat

Perda pengelolaan zakat di tingkat provinsi dapat menjadi payung hukum untuk memperjelas, menjabarkan dan menjadi acuan kerja bagi Bazda dan juga Lazda yang berada di tingkat propinsi, sehingga tidak hanya terdapat kepastian payung hukum, melainkan juga kepastian kualitas kerja dan cara kerja yang mesti dilakukan Bazda dan Lazda serta tentunya peran nyata pemerintah, sehingga terdapat kesatuan arah gerak (bukan kesatuan gerak) antara pemerintah, Bazda (lembaga zakat yang dibentuk oleh pemerintah) dan lazda (lembaga zakat yang dibentuk masyarakat).

".....sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya. Dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia..." (Q.S. Ar Ra'd/Guntur ayat 11).

Entah kapan, semoga cerita surplus zakat di Yaman yang ketika itu Gubernur Yaman adalah Muadz Bin Jabal mengalami surplus zakat sampai dengan tidak ada lagi orang Yaman yang mau menerima zakat karena semuanya telah menjadi muzakki dan karenanya, Khalifah Umar bin Khattab dengan berat hati menerimanya dan mensuplai ke daerah-daerah lain yang kekurangan. Hal tersebut dapat saja terjadi kembali, namun bagaimana dan dimana peran pemerintah (daerah) kita? Selamat bekerja kepada pengurus baru Bazda Kalbar.

(Penulis alumni Institut Manajemen Zakat, Jakarta)

Ekonomi Islam; Mutiara Sekaligus Solusi Krisis Ekonomi

Oleh: Sumar'in
KRISIS multi dimensi yang melanda bangsa ini, merupakan sebuah produk globalisasi. Melamahnya nilai rupiah dilanjutkan dengan inflasi secara besar-besaran, merupakan titik awal dari krisis yang membawa dampak pada stabilitas dan kehidupan perekonomian negri ini. Tak tanggung lagi, krisis ekonomi tersebut juga menularkan penyakitnya pada wilayah lain. Aspek sosial, budaya, politik ikut-ikutan mengalami goncangan yang menyebabkan kompleksitas permasalahan yang harus diselesaikan oleh para stick holder selaku pemegang kebijakan global.

Namun dari keadaan krisis tersebut, ada sebuah fenomena menarik yang kita temukan akhir-akhir ini. Timbulnya kesadaran transedental untuk mengembalikan segala problematika kehidupan kepada nilai-nilai Islam, serta mempelajari khazanah keilmuan agama dengan mensingkronkannya kepada sistem kehidupan kekinian. Kesadaran dalam masyarakat akhirnya mengkristal membentuk sebuah gerakan kebangkitan Islam (shohwah Islamiyah), salah satu manifestasi dari gerakan tersebut adalah munculnya berbagai komunitas yang mengkaji dan mengkelaborasikan konsep dan paradigma Islam sesuai dengan tuntutan zaman. Pengkristalan pemikiran dan gerakan tersebut juga mencoba membuat sebuah alternatif sekaligus jawaban dalam kehidupan krisis.

Keterpurukan ekonomi, yang merupakan akar permasalahan bangsa ini, juga menimbulkan sebuah pemikiran baru. Ketika masyarakat mulai kehilangan kepercayaan terhadap ekonomi konvensional, para pemikir Islam, menawarkan sebuah konsep ekonomi yang sudah lama di lupakan, yakni sistem ekonomi Islam (Nizhom al-iqtishad al-Islamiyah) yang telah mengantarkan umat Islam kepada Real welfare (falah), kesejahteraan yang sebenarnya dimasa lalu. Memang benar bahwa semua konsep ekonomi mempunyai tujuan mulia untuk mengantarkan penganutnya pada falah (kesejahteraan). Namun menjadi kenistaan ketika ekonomi konvensional menganggap falah hanya pada aspek per capita Income, konsumsi fisik yang sarat dengan pemikiran hedonisme dan oportunisme, justru memberikan dampak kepada keuntungan dan kesenangan sekelompok orang, sementara dilain pihak kelaparan, kemiskinan dan penganguran mendominasi kehidupan masyarakat secara global.

Dilain sisi ekonomi Islam, yang sangat menekankan kepada keluhuran akhlak dan moralitas. Tidak hanya memandang falah pada aspek per capita Income tapi ia hanyalah sebatas necessary Condition dalam isi kesejahteraan dan bukan sufficient condition. Dalam konsep Islam, esensi manusia ada pada ruhaniyah. Karena itu seluruh kegiatan dunia termasuk dalam aspek ekonomi tidak hanya menjadikan tuntutan fisik sebagai kepuasan finalty, tapi juga harus memenuhi kebutuhan ruhani. Sehingga tak heran, Ekonomi Islam sangat diminati bukan hanya oleh kalangan Islam itu sendiri, juga diterima dengan baik dikalangan masyarakat yang heterogen, karena ekonomi Islam dinilai sesuai dengan fitrah manusia. Namun perlu digaris bawahi kehadiran ekonomi Islam bukanlah sebuah tuntutan dari kelemahan dan ketidak adilan ekonomi konvensional, ekonomi Islam hadir sebagai produk dari kesempurnaan islam. Adalah salah anggapan bahwa ekonomi Islam merupakan prodak baru, dari sebuah tuntutan dan menjadi rival ekonomi konvensional. Ekonomi Islam merupakan mutiara, sekaligus solusi kondisi Krisis saat ini.

Dalam wacana ekonomi Islam, tidak perlu adanya perdebatan skenario kaidah-kaidah ekonomi. Akan tetapi yang paling urgen adalah, kapabilitass intelektual dan cendekiawan muslim dalam mengkodifikasikan nilai-nilai Islam dalam tatanan ekonomi. Karakteristik dasar Islam yang sangat kaya dengan nilai dan kaidah hukum menjadi referensi dan koridor dalam memberikan pemikiran ekonomi ( Economic Thought). Disamping itu konsep ekonomi Islam memberikan kebebasan kepada penganutnya untuk melakukan ijtihat, selama tidak melanggar guide line, yang telah digariskan oleh Islam.

Karena itu, sangatlah penting bagi siapa saja, khususnya bagi para intelektual dan praktisi ekonomi untuk mengenal lebih mendalam tentang ekonomi Islam. Bukan waktunya lagi untuk ber-Prejudice (buruk sangka) terhadap Islam secara keseluruhan. Penerapan ekonomi Islam juga merupakan sebuah indikasi akan kesediaan kita masuk kedalam Islam secara Kaffah. Karena Islam bukan hanya sebuah agama, namun Islam merupakan sistem yang Universal mengatur kehidupan manusia didunia. Pada saat bersamaan penerapan ekonomi Islam juga akan memberikan imlikasi terhadap keadilan dan kesejahteraan secara Global.

(Penulis adalah Mentor Ekonomi Islam Fossei (Forus Silaturahmi Studi Ekonomi Islam) wilayah Kal-Bar, pendiri Study Of Islamic Economy Community (SIE.COM) STAIN Pontianak)

Minggu, 29 Juni 2008

MENGENANG CAK NUR

Rudy Handoko

Cak Nur memang telah berpulang ke Rahmatullah, namun gerak pemikiran yang telah dirintis secara makrokospic (meminjam bahasa Budhy Munawar Rahman) oleh seorang manusia yang bernama Nurcholish Madjid telah begitu meninggalkan kesan mendalam bagi generasi penerusnya, apalagi generasi penerus ini mempunyai tugas lanjutan guna melanjutkan perjuangan itu, tentunya dengan segala mindset yang harus lebih segar dan transformatif.

Cak Nur demikian akrabnya, seorang manusia yang menjadi rupa pemikiran kontemporer Islam, generasi pembaharuan yang corak dan karakteristik pemikirannya menjadi tonggak sejarah gerakan pemikiran Islam di Indonesia khususnya. Yah…Nurcholish Madjid, yang akrab di sapa Cak Nur, tokoh yang lahir di Jombang Jawa Timur ini, begitu akrab namanya ditelinga.
Bak pepatah lama mengatakan, gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, maka manusia mati meninggalkan suatu catatan sejarah tentang apa yang diperbuatnya terutama kontribusi yang diberikan terhadap pencerahan negerinya. Tiada apapun yang lebih bernilai yang ditinggalkan oleh Cak Nur selain buah pemikirannya, yang mungkin bagi sekelompok orang kerap menyengat dan memancig kontroversi. Perjalanan intelektual Cak Nur dimulai dari sebagai siswa Kulliyatul Muallimin Islamiyah (KMI) Pon-Pes Gontor, lantas meneruskan jenjang pendidikannya ke perguruan tinggi IAIN Ciputat (UIN sekarang), kemudian bersentuhan dengan dunia aktivis semasa beraktivitas di HMI Cabang Ciputat sampai menduduki posisi Ketua Umum, hingga story-nya ditakdirkan memimpin HMI secara nasional sampai dua periode lagi mulai 1966-1971. Tak kurang dari 13 buah pemikiran karyanya yang terpublikasikan dalam bahasa Indonesia, 3 buah karyanya dalam bahasa Inggris. Pendiri Yayasan Wakaf Paramadina/Universitas Paramadina yang menjadi dapur pemikiran baik yang berbau agama, sosial, politik dan budaya. Kemudian pernah pula sebagai anggota Tim 11 pada saat genting pasca reformasi 1998.
Seperti yang diungkapkan oleh Fachry Ali, juniornya semasa di HMI Ciputat, bahwa Cak Nur adalah sebuah fenomena untuk konteks masyarakat Indonesia. Sifat fenomenal tokoh ini dapat kita lihat pada fakta bahwa dengan kekuatan pribadi dan pemikirannya, Cak Nur mampu melahirkan pengaruh terhadap perubahan-perubahan tertentu dalam masyarakat Indonesia. Pengaruh dan perubahan-perubahan itu bisa bersifat institusional dan literer. Lebih lanjut Fachry menambahkan, secara institusional pengaruh kekuatan pribadinya dapat terlihat pada spesifik organisasi HMI dan Yayasan Paramadinanya. Secara literer, kehadiran Cak Nur telah memperkaya khazanah literature intelektual di Negara kita (Baca: Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer).
Periodesasi selama memimpin HMI, membuatnya mulai getol menyuarakan tentang perlunya pembaharuan pemikiran Islam, meski awalnya Cak Nur belumlah sekontroversial sesaat dia mengumandangkan tentang perlunya modernisasi pasca pulang dari USA. Kalau kita telaah lebih lanjut perjalanan pemikiran Cak Nur, didalam Pergolakan Pemikiran Islam Catatan Harian Ahmad Wahib, maka sekilas gambaran saat itu, di internal HMI terdapat dua kubu pemikiran yang saling berseberangan dan berkembang. Yang oleh Alm. Kanda Ahmad Wahib diasosiasikan dengan Poros Bandung dan Jogja. Poros Bandung yang diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Kanda Imaduddin Abdurrahim yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) PB HMI, kemudian Alm. Mang Endang Saefuddin Anshori (rekan sejawat Cak Nur yang ditugasi menyusun Nilai Dasar Perjuangan [NDP] HMI bersama Alm. Saqib Mahmud) dengan corak pemikiran modern fundamentalisnya yang sangat di amini oleh Prof. Rasjidi. Sedangkan kubu Jogja saat itu, representasinya di wakili oleh Alm. Kanda Ahmad Wahib sendiri, kemudian Kanda Djohan Effendi, Kanda Dawam Rahardjo, Kanda Tawang Alun dkk dengan Limited Groupnya dibawah asuhan Prof. Mukti Ali. Kebetulan Cak Nur saat itu corak pemikirannya sangat cenderung kepada poros Bandung-Jakarta, sehingga saking demennya Bang Imad (sapaan Kanda Dr. Imaduddin Abdurrahim) pada Cak Nur karena pemikirannya itu, salah seorang putranya diberi nama Nurcholish pula.
Perubahan mendasar terjadi sesaat sepulang dari USA, setelah belajar dibawah asuhan Fazlur Rahman, ide-ide pemikiran yang dilemparkan Cak Nur bak menyengat, dan ini lagi-lagi diakui oleh anak mbandel seperti Ahmad Wahib, bahwa setelah melihat perubahan progressif pemikiran Cak Nur, dengan meminjam kharisma Cak Nur selaku Ketua Umum PB HMI saat itu, dia berkeliling Jogja dan Badko Jabagteng (Jawa Bagian Tengah) untuk menggaungkan pemikiran meretas perubahan sosial di tataran ummat dan bangsa yang selama ini diperjuangkannya (baca: Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib).
Dus, puncaknya adalah pidato Cak Nur dalam pertemuan halal bihalal organisasi muda Islam, 3 Januari 1970 yang berdasarkan analisisnya mengenai keadaan organisasi-organisasi politik Islam, ia merasa yakin bahwa Islam tak mungkin lagi akan mendapatkan kekuatan politik, jika masih mengharapkannya melalui jalur politik yang bersifat praktis itu. Karena itu, demi kepentingan perkembangan ummat ia pun menyerukan---yang menjadi slogan pembaruan politik Islam di Indonesia--sampai terlempar cetusan tentang Islam Yes, Partai Islam No, sebagai semboyan Islam a-politik atau lebih dikenal dengan ide sekularisasinya Cak Nur. Meski artikel ini menimbulkan kegegeran dan mendapat reaksi keras, toh akhirnya banyak pula yang mengamini dan menyetujui bahwa ber-Islam tidak perlu dilembagakan secara politik apalagi dipolitisasi demi kepentingan politik, sehingga Islam sebagai Negarapun menurut Cak Nur hanyalah sesuatu yang naif, yang paling penting adalah substansi pengejawantahan nilai-nilai Islaminya, seperti teruntai dalam dialektika kata-kata ‘Negara Islam atau Negara yang Islami’. Sejak saat itu, merebaklah pembaharuan pemikiran tentang Islam yang progressif terhadap perubahan sosial, perjalanan panjang pemikiran Islampun beralih dari Islam politik kepada pendekatan Islam cultural. Pemikiran tokoh-tokoh pembaharuan yang digerbongi Cak Nur sebenarnyapun cukup beragam, namun mainstream utama tetap pada bagaimana membangun ke-Islaman yang modern. Yang oleh Cak Nur disebut “Keislaman, Keindonesiaan dan Kemodernan” (Mungkin saat ini telah berubah mainstream masuk pada Post-Modernisme, Islam Transformatif dll). Cak Nur dalam berbagai hal memang sangat dipengaruhi Rahman (Fazlur Rahman) dalam pendekatan-pendekatan yang digunakannya untuk pemikirannya, dalam konteks kekinian, tentang Islam dan situasi kontemporer, dengan daur sederhana mencari dasar etis pada sumber ajaran Islam dengan mengkaji term-term agama dengan analisis histories-kontekstual yang kemudian menafsirkan, menjabarkan dan menerangi problem kontemporer dengan semangat etika agama yang sudah ada, dan Cak Nur merumuskan modernisasi adalah rasionalisasi, karena itu modernisasi berarti penerapan ilmu pengetahuan yang merupakan suatu keharusan, malahan kewajiban. Selain itu, pembaharuan pemikiran Cak Nur tidak hanya melingkupi permasalahan agama an sich, tetapi begitu berbunga pada masalah-masalah sosial-budaya dan kebangsaan, kerap pula membincangkan masalah membangun pluralisme, demokrasi dan memperjuangkan keadilan sosial. Sehingga oleh beberapa pihak seringkali Cak Nur dianggap biang kerok dari berkembangnya pluralisme dan liberalisme dalam ranah pemikiran di tanah air. Cak Nur adalah sosok yang elegan dalam menyampaikan ide-idenya, kritis dan transformative. Terhadap pemerintah dan system politikpun tak segan-segan ia melontarkan kritiknya, dengan ide keharusan adanya oposisi untuk menciptakan check and balance dalam upaya membangun demokrasi yang mensyaratkan adanya keterbukaan, anti diskriminasi, kebebasan informasi, berserikat, berpendapat termasuk berbeda pendapat serta oposisi tentunya.
Meskipun pro-kontra terjadi, tetaplah dia seorang tokoh yang dihormati, sehingga Bang Imad yang kebetulan tahun 2003 lalu pernah berkunjung di Pontianak dalam rangka Intermediate Training (Latihan Kader II) HMI Cabang Pontianak, sekaligus memberikan kuliah NDP, mengutarakan kekagumannya kepada sosok Cak Nur, meskipun corak pemikiran mereka cenderung berbeda.
Meski belum pernah berjumpa dengan Cak Nur secara langsung, tapi jujur saja harus diakui, bahwa warna pemikiran seorang anak manusia ini telah memberikan warna dan karakter. Pemikiran-pemikirannya juga rekan-rekan sejawatnya seperti Alm. Kanda Ahmad Wahib, Bang Imad, Kanda Djohan, Kanda Dawam dll, kerap didiskusikan berkenaan dengan konteks kekinian. Semangat kekaderannya selaku tokoh yang disegani dan menjadi referensi serta dijadikan teladan. Sekalipun belum pernah bertatap muka secara nyata, tapi corak pemikirannya telah membekas dan menggairahkan apalagi sedari dini memang menjadi rujukan dalam NDP HMI sebagai Ideologi gerakan, maka tak pelak Cak Nur telah menjadi bagian dari kancah pemikiran HMI khususnya, ummat dan bangsa secara luas.
Susah memang mencari tokoh sekaliber Cak Nur, seperti diakui oleh Fachry Ali, bahwa selama mereka di Ciputat coba terus membangun kesadaran pemikiran dan intelektualitas agar bisa menjembatani generasi intelektual agar tidak terputus, tapi tetap saja harus mengakui mereka belum bisa menyamai Cak Nur, makanya gerakan mereka adalah mengembangkan gagasan Cak Nur secara kolektif dan Harun Nasution tentunya.
Kepiawaiannya dalam mengelaborasi term-term pemikiran modern dan kekayaan intelektual beliau dalam memahami teks-teks dari tradisi Islam klasik adalah keunggulannya. Tentunya karena beliau juga memahami kajian-kajian hermeneutic, semantic atau tata bahasa Arab yang membuatnya sangat kaya akan khazanah Intelektual baik kontemporer maupun klasik. Sebagaimana kita ketahui ciri khas kaum modernis adalah orientasi pada perkembangan ilmu di Barat dan cenderung berpikiran terhadap pemikiran tradisional. Aliran modernis mempelajari Barat modern maupun Islam klasik. Mereka bersikap empati dan sekaligus kritis terhadap keduanya. Kapasitas seperti itu dimiliki oleh seorang seperti Nurcholish Madjid secara prima, Tak banyak yang mempunyai kemampuan seperti itu, paling banter dimiliki oleh Gus Dur, Syafi’i Maarif (rekan seperguruan murid Fazlur Rahman semasa di Chicago), Jalaludin Rahmat, Syu’bah Asa dan Djohan Effendi.
Bisa jadi karena kontribusi pemikiran beliau, sehingga Bintang Mahaputra Utama dari Pemerintah RI menjadi bukti pengakuan, meski bukan itu harapan beliau. Sehingga seperti profil yang disiarkan oleh Metro TV bahwa kesejahteraan Negara-Bangsa yang berperadaban merupakan pandangan idealisnya. Bahwa perdamaian, semangat pluralis dan demokratis adalah cita-citanya, sehingga julukan yang wah…sebagai Guru Bangsa dan sebagainya disematkan kepadanya.
Yah, itulah Cak Nur, ibarat tiada gading tak retak, dengan segala kelebihan dan kelemahan selaku manusia, dengan segala perbuatan baik dan buruk. Beliau telah menghadap Ilahi dengan damai. Kita telah kehilangan salah satu tokoh pemikir Islam kontemporer, mudah-mudahan akan lahir Nurcholish-Nurcholish baru.
Selamat Jalan Kanda…Semoga Allah Azza Wajalla meridhai beliau, mendapatkan ampunan atas segala dosa dan kesalahannya, dan mendapatkan kelapangan di alam sana. Amin.

Ekonomi Islam dan Keseimbangan

Oleh: Rasiam, SE.I
ADA pertanyaan sederhana terhadap pandangan dunia ekonomi, yaitu apakah paradigma ekonomi Islam berbeda secara signifikan dari ekonomi konvensional? Sementara disisi lain ada kesamaan pandangan (point of view) antara agama terkemuka yaitu Islam, Kristen dan Yahudi. Agama Kristen mengajarkan bahwa kebajikan merupakan hal yang harus dilaksanakan oleh ummatnya, begitu juga dengan agama Yahudi menginginkan ummatnya juga berbuat demikian. Islam juga sangat menganjurkan untuk berbuat baik, jujur dan adil. Bahkan ada konsekuensi logis yang harus diterima oleh ummatnya seperti mendapatkan pahala jika berbuat baik dan mendapatkan dosa (siksa) kelak di akhirat jika berbuat buruk.

Dalam kontek ekonomi Islam menekankan pentingnya perubahan melalui perbaikan individu dan sosial. Jika melihat sejarah kebelakang bahwa nabi Muhammad dan para sahabatnya bukan hanya membawa nilai akan tetapi membawa misi tertentu yang terbungkus dalam kepentingan keadilan. Hal ini diinginkan terwujudnya falah (kesejahteraan).

Salah satu sumbangan terbesar Islam kepada ummat manusia dalam kontek kebijakan ekonomi adalah prinsip keadilan. Misi keadilan di bidang ekonomi menjadi salah tugas berat nabi dimana kondisi kelas-kelas dalam masyarakat sengaja diciptakan agar terjadi kesenjangan. Yang kaya selalu mendominasi terhadap si miskin. Hal ini berjalan cukup lama dikarenakan tidak ada peraturan yang dapat mencerahkan mereka (kaum jahiliyah). Dalam kondisi seperti ini nabi datang dengan menentang dominasi. Salah satu hukum yang diberlakukan adalah dilarangnya riba. Karena pada saat itu riba menjadi alat komoditi kaum kaya untuk selalu mengeksploitasi masyarakat miskin. Dengan adanya aturan pelarangan terhadap riba, sedikit demi sedikit keadilan bisa ditegakkan.

Sampai saat sekarang konsep keadilan masih menjadi wacana menarik untuk selalu diungkapkan dan ditegakkan, karena kondisi sosial dari dulu hingga sekarang masih selalu diterpa oleh kondisi yang tidak adil. Untuk itu Abu Yusuf mengatakan, dalam suratnya yang dikirim ke Khalifah Harun al-Rasyid mengatakan; memperbaiki keadilan akan meningkatkan pendapatan pajak, mengeskalasi pembangunan negara, serta akan membawa berkah yang menambah kebaikan di akhirat. Al-Mawardi juga berargumentasi bahwa keadilan yang menyeluruh dapat menanamkan saling mencintai dan kasih sayang, ketaatan hukum, pembangunan bangsa, keamanan, dan kedaulatan ,dan bahwa tidak ada satupun yang akan merusak dunia selama hati nurani masyarakat lebih kuat dari pada ketidakadilan. Ibn Taymiyyah menganggap bahwa keadilan adalah nilai utama dari tauhid (mengimani bahwa Allah Yang Maha Esa).

Mainstream pemikiran Islam sangat jelas dalam mencirikan tingkah laku rasional yang bertujuan agar mampu mempergunakan sumber daya karunia Tuhan dengan cara yang dapat menjamin kesejahteraan duniawi individu sebagaimana kesejahteraan duniawi orang lain, sampai akhirnya menghasilkan keseimbangan antara tujuan material dan spiritual dan antara kepentingan pribadi dan sosial.

Untuk itu kesalehan sangat dibutuhkan untuk meraih keseimbangan yang dimaksud. Al-Mawardi mengatakan, bahwa ilmuan muslim perlu mengekang keinginan pribadi melalui nilai-nilai moral. Selanjutnya Ibn Kaldun menekankan bahwa orientasi moral membantu menghilangkan rasa saling permusuhan dan iri hati, memperkuat solidaritas kelompok, dan mendorong perbuatan kebajikan.

maka pelaku ekonomi muslim bisa membedakan antara kebutuhan (need) dan keinginan (want). Kebutuhan adalah dimana kita harus membelanjakan keperluan sesuai dengan kebutuhan tanpa harus berlebihan diluar batas kemampuan. Sementara keinginan (want) adalah suatu bagian dari sikap tamak yang sulit untuk di rem. Membelanjakan sesuatu sesuai dengan keinginan, walaupun berada di luar batas kemampuan. Kemampuan konsumen bukan berarti harus melegitimasi sifat yang berlebihan. Islam dengan tegas tidak membenarkan sifat yang berlebih-lebihan. Jika ini terjadi maka dampak negatifnya akan berimbas pada dirinya dan orang lain, salah satunya adalah pemborosan. Di samping itu ada hak-hak konsumen lainnya yang terdhalimi. Gaya konsumsi yang glamour terus meningkat bahkan terjadi pada masyarakat kelas menengah kebahwah karena mereka sudah tertipu (imitasi). Jiwa seperti ini juga merambah pada masyarakat kelas menengah ke atas, dan tidak jarang ditemukan korupsi terjadi di mana-mana hanya untuk hidup mewah (konsumerisme) belaka. Untuk itu sangat sulit mengerem gaya hidup seperti ini tanpa adanya moral yang membentenginya.

Hal ini terjadi mungkin karena mereka tidak menyadari bahwa kebutuhan Dunia Islam bukanlah modernisasi yang berasosiasikan hedonisme dan penghalalan segala cara, tapi yang dibutuhkan adalah program yang mewujudkan demokrasi, pendidikan dan tekologi yang dilandasi moral. Apabila kecenderungan ini terus berlanjut, maka konsekuensinya adalah semakin menonjolnya ketidakseimbangan masalah-masalah sosial-ekonomi.

Di dalam paradiqma ekonomi Islam juga sesungguhnya tidak ada sama sekali ruang untuk bebas nilai. Merupakan suatu kelancangan jika manusia berbuat bebas nilai dalam menyikapi kondisi yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Semua harus kembali kepada hukum alam, bahwa tidak seharusnya ada sesuatu akibat dari ilmu pengetahuan itu menghasilkan sesuatu yang menyalahi sunnatullah (naturalistic law). Sebagai contoh, ilmuan sanggup mengkloning antara manusia dan hewan. Memang diakui bahwa ilmuan yang sanggup berbuat demikian adalah merupakan suatu keberhasilan yang luar biasa, akan tetapi sesungguhnya dia telah menyalahi hukum alam. Manusia dan hewan sangat tidak mungkin untuk disatukan karena berbeda kodrat penciptaannya. Di satu sisi kita mengakui kemajuan ilmu pengetahuan, akan tetapi disisi lain kita tidak boleh lepas dari etika dan moral sehingga tidak berdampak pada pelanggaran hukum alam (naturalistic law). Inilah salah satu contoh bahwa ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam (termasuk bidang ekonomi) tidak bebas nilai.

Demikianlah paradigma ekonomi Islam dimana dalam semua pembahasannya tidak terlepas dari kontek kepentingan sosial dalam artian selalu mengutamakan keseimbangan, baik keseimbangan individu-sosial maupun keseimbangan dunia-akhirat. Wujudnya adalah dengan mengutamakan prinsip keadilan. Semua konsepnya difokuskan pada persoalan bagaimana ekonomi mampu mewakili keadilan yang akan dialami oleh setiap manusia tanpa harus membedakan-bedakan.

(Penulis adalah alumni STAIN Pontianak dan pendiri Forum Ekonomi Syari'ah (FES) Kalbar)

Reformasi Belum Dewasa

Oleh : Aspari Ismail
IBARAT seorang anak, reformasi lahir dari rahim ibu Pertiwi, karena "perselingkuhan kekuasaan" yang diperankan oleh seorang bapak yang bernama Soeharto. Perselingkuhan tersebut dilakukannya selama 32 tahun. Perbuatan yang tak senonoh itu dibongkar oleh ribuan mahasiswa, dan pada akhirnya berhasil melengserkan penguasa rezim orde baru itu dari singgasananya.

Lahirnya reformasi pada 21 Mei 1998, disambut hangat oleh keluarga besar Indonesia. Rakyat Indonesia menyimpan harapan (ekspektasi) bahwa Indonesia Baru akan segera terwujud pasca kejatuhan Soeharto. Para politikus sebagai "dokter kandungan" bernafas lega karena berhasil mengeluarkan bayi reformasi dari perut ibu pertiwi. Ribuan mahasiswa pun bersyukur karena Soeharto mau "angkat tangan", sebab situasi politik waktu itu sudah tidak bisa lagi dikendalikannya, karena seluruh penjuru Indonesia saat itu terjadi kerusuhan, penjarahan, pembakaran, dan varian kekerasan lainnya. Tak sedikit korban yang meninggal, termasuklah Syafaruddin (mahasiswa Polnep Pontianak), dan kawan-kawan di kampus Tri Sakti, dan lain sebagainya.

Reformasi dianggap bocah cilik yang memiliki ilmu kanuragan yang sangat tinggi. Ada enam agenda yang dibebankan kepada reformasi; turunkan soeharto, percepat pemulihan ekonomi, adili soeharto dan kroninya, supremasi hukum, selenggarakan pemilu yang demokratis, dan cabut dwi fungsi ABRI/TNI. Ternyata, kesaktian yang dimiliki oleh reformasi sungguh sangat dahsat. Tiga Presiden sekaligus; Soeharto, BJ. Habibi, dan Abdurrahman Wahid (Gusdur), sanggup dihabisinya.

Kini, reformasi sudah berusia tujuh tahun, usia yang belum dewasa. Karenanya dia masih belum sanggup untuk mewujudkan keinginan dan harapan keluarga besarnya (baca: Indonesia) untuk keluar dari krisis. Penderitaan bangsa ini kian dalam dengan tertularnya virus krisis moral. Cita-cita tentang pemerintahan yang jujur dan bersih, hukum yang tegak dan adil, kemakmuran yang didistribusikan secara merata, kehidupan demokrasi yang dewasa, keamanan yang terjaga, pendidikan yang murah dan sejenisnya, belum bisa "dihidangkan kemeja" kehidupan rakyat Indonesia.

Perubahan yang signifikan bagi perkembangan Republik ini belum bisa dinikmati.

Walaupun Presiden silih berganti, elite politik bisa bergeser posisi, tetapi harkat dan martabat rakyat tidak banyak tersentuh oleh perbaikan. Reformasi hanya mendatangkan manfaat dikalangan elit. Sehingga bagi rakyat biasa reformasi dianggapnya menjadi anak yang durhaka, yang membuat kehidupan mereka susah. Bahkan mereka mengatakan bahwa reformasi itu membuat masyarakat repot untuk mendapatkan nasi. Apalagi dengan naiknya bahan bakar minyak dan ikuti dengan melambungnya harga barang yang lainnya, membuat rakyat Indonesia merasa tercekik. Untuk memenuhi kehidupan sehari-hari saja masih susah, apalagi untuk menyekolahkan anak mereka kejenjang yang lebih tinggi. Sehingga makin lengkaplah penderitaan yang mereka alami.

Tanpa melupakan sejumlah prestasi yang telah diraih selama proses perkembangan reformasi, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa reformasi telah kebablasan. Berbagai dimensi kehidupan negeri ini selalu dibayangi oleh kecemasan dan rasa takut yang luar biasa. Sekedar contoh; terjadinya kerusuhan, pembunuhan, teror, dan bentuk kekerasan dan sadisme yang lain hidup bergentayangan di bumi Indonesia. Cita-cita mewujudkan masyarakat madani, berubah wajah menjadi masyarakat yang sangar dan anarkis.

Hariman Siregar mengatakan bahwa bangsa ini sudah memasuki era drunken society. Sebuah masyarakat dapat dikatakan sebagai masyarakat yang mabuk jika; Pertama, masyarakat berkeinginan keras untuk mengeksperisikan kebebasannya tanpa mempedulikan bahwa orang lain juga punya kebebasan yang kurang lebih sama. Kedua, masyarakat bertindak dan berprilaku tidak berdasarkan norma-norma yang ada. Ketiga, suara-suara moral sudah tidak lagi memiliki aura kewibawaan.

Gerakan reformasi memang layak dinilai, dikaji, dan dilakukan refleksi dan introspeksi. Untuk itu, reposisi reformasi kepada makna asalnya menjadi sesuatu yang sangat niscaya untuk dilakukan oleh rakyat Indonesia (Kholis Malik: 2001). Pada awalnya reformasi didesain untuk membenahi serta melakukan perubahan mendasar dan sistemik terhadap sistem yang telah mapan dan status quo. Inti dari dari reformasi yang sesungguhnya adalah penataan kembali segala dimensi kehidupan rakyat secara mendasar, bukan sekedar soal mengganti atau menjatuhkan orang yang berkuasa (Hendrizal, Harian Pelita: 11 Mei 2005).

Seruan reformasi total hanya akan menjadi retorika tanpa makna bila kita belum memiliki semangat kebersamaan dalam membangun negara ini. Bisakah kita memulai untuk tidak korupsi dari hal yang paling kecil sekalipun ? Mampukah kita menghargai perbedaan ditengah kebhinnekaan yang kita miliki? Sanggupkah kita membangun demokrasi disaat kita masih mencintai kekerasan? Jawabannya ada pada kita semua. Jika kita mempunyai keyakinan yang dalam dan semangat yang kuat, maka kita akan bisa melakukannya, begitupula sebaliknya.

Optimisme reformasi mesti tetap dijaga, dirawat dan digalang secara kolektif. Tugas Pemerintah, para pemimpin, partai-partai, dan kaum terpelajar adalah menjaga agar reformasi dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Memang ini pekerjaan yang sangat berat dan susah. Tetapi reformasi harus tetap dijalankan. Bangsa Indonesia mesti bersabar dan berupaya untuk mewujudkan reformasi agar dapat tumbuh dewasa, dan bisa menjadi anak yang berbakti bagi nusa dan bangsa. Semoga.

(Aspari Ismail, Mantan Wakil Presiden BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) STAIN Pontianak dan Mantan Sekretaris Umum HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Pontianak)

Indikator Keberhasilan Pembangunan Ekonomi Daerah

Oleh: Rasiam SE.I

TERINPIRASIKAN dari pernyataan Didik J Rachbini yang mengatakan bahwa dalam perjalanan sejarahnya ilmu ekonomi semakin lepas dari persfektif moral dan pranata sosial budaya. Perkembangannya menjadi segmentatif dan mikro sehingga hanya bisa menjelaskan secara parsial pula fenomena-fenomena kemasyarakatan yang ada. Spesialisasi memang tidak bisa dihindarkan, tetapi membiarkan ilmu ekonomi menjadi parsial sama dengan mengkerdilkan ilmu ekonomi itu sendiri. Karena itu, upaya untuk meneguhkan kembali ilmu ekonomi sebagai bagian holistic dari ilmu sosial atau ilmu humaniora merupakan proses menuju ke arah kesejatian dirinya.

Keterlenaan terhadap pemisahan antara ilmu ekonomi dengan ilmu humaniora lainnya berdampak pula pada cara mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di suatu Daerah. Pengukuran itu tentunya diawali oleh paradigma yang keliru yang tidak melihat tuntutan kebutuhan (basic need) masyarakat. Selama ini keberhasilan pembangunan selalu ditekankan hanya pada pertumbuhan ekonomi yaitu diukur dengan besar kecilnya pendapatan regional atau pendapat per kapita.

Pendekatan ini sudah mulai ditinggalkan oleh kebanyakan pakar ekonomi dan beberapa negara maju. Beberapa ukuran kemajuan suatu daerah tidak hanya bisa diukur dengan melihat banyaknya pendapatan per kapita (PDRB). Akan tetapi masih banyak lagi ukuran-ukuran yang dijadikan acuan, salah satunya adalah pemerataan, kualitas kehidupan masyarakat (Physical Quality of Life Index), kerusakan lingkungan, keadilan sosial, kesinambungan dan terbangunnya masyarakat yang beradab.

Kekayaan keseluruhan yang dimiliki oleh suatu wilayah belum tentu terdapat pemerataan kekayaan ke seluruh penduduk. Sebagian kecil masyarakat memiliki kekayaan yang luar biasa sementara di pihak lain yang lebih mayoritas masih banyak ditemukan masyarakat yang tidak mempunyai tempat tinggal. Mereka hanya tinggal dikolong jembatan. Atau pun kalau mereka mempunyai rumah tidak memenuhi kreteria untuk dihuni. Artinya di sini terdapat kesenjangan yang sangat tinggi. Untuk itu pemerataan menjadi salah satu ukuran keberhasilan pembangunan.

Kualitas kehidupan masyarakat (Physical Quality of Life Index) juga menjadi salah satu ukuran keberhasilan pembangunan suatu wilayah. Ukuran-ukuran ini bisa dilihat dari beberapa indikator (pertama), rata-rata harapan hidup, (kedua), rata-rata jumlah kematian dan (ketiga), rata-rata prosentasi buta dan melek huruf (pendidikan). Terkadang tingginya pendapatan wilayah tidak diiringi dengan peningkatan Physical Quality of Life Index-nya (sekarang HDI). Masyarakat pedalaman masih bayak ditemukan tidak mampu mengenyam pendidikan karena disebabkan tidak adanya pendistribusian kekayaan yang merata.

Di sisi lain, kondisi lingkungan menjadi salah satu ukuran keberhasilan dalam pembangunan. Mengapa ini menjadi salah satu topik dan syarat menarik dalam mengukur pembangunan? Bahwa kesalahan dalam konsep pembangunan selama ini tidak pernah memperhatikan kehidupan jangka panjang (kelestarian lingkungan). Selalu terjebak pada kehidupan jangka pendek yang penuh pragmatis. Artinya pembangunan yang berkelanjutan (sustainable) selalu diabaikan. Padahal beberapa abad berikutnya merupakan kehidupan yang akan dirasakan oleh anak cucu kita yang mesti diperhatikan. Jika pembangunan saat ini tidak memperhatikan jangka panjang, maka secara tidak langsung telah meracuni generasi masa depan. Perusakan lingkungan sudah kentara dialami oleh negara Indonesia terutama Kalbar. Dampak dari pengrusakan lingkungan (hutan; salah satunya) ialah terjadinya banjir sehingga dapat mengganggu proses pembagunan pada sektor ekonomi yang lain seperti pertanian (sub sektor tanaman pangan, perkebunan, peternakan) dan lain sebagainya.

Keadilan sosial dan kesinambungan menjadi penentu bagi keberhasilan pembangunan suatu wilayah. Jika keadilan pembangunan tidak terwujud maka yang terjadi adalah rusaknya mental masyarakat. untuk tidak heran jika dimana-mana terjadi tindakan kriminal. Kondisi ini terjadi karena masyarakat sudah mengalami depresi berat. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya lapangan kerja. Untuk itu di samping tidak terjadi kerusakan lingkungan, bagaimana juga tidak terjadi kerusakan mental yang berakibat pada kehidupan social.

Pembangunan ekonomi semestinya juga mampu menciptakan masyarakat yang beradab. Jika di suatu wilayah masih banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran sosial seperti kekerasan dan amoral lainnya berarti menandakan bahwa pembangunan perekonimian tidak berhasil. Karena ekonomi tidak bisa lepas dari kontek sosial.

Beberapa indikator ini merupakan bagian-bagian yang tidak bisa dipisahkan dari proses pembangunan ekonomi, karena paradigma pembangunan ekonomi sudah mengarah kepada bagaimana ilmu ekonomi mampu juga menciptakan manusia yang beradab.

(Penulis adalah Mantan Ketua Eksternal Badan Koordinasi (BADKO) HMI Kalbar)

Pilkada; Pilihlah AKU

Oleh : Aspari Ismail

JUDUL tulisan ini lahir dari inspirasi sebuah lagu yang dilantunkan oleh penyanyi terkenal, Krisdayanti. "Pilihlah Aku jadi Pacarmu". Demikian lirik lagu yang sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Hampir semua kalangan, orangtua, anak baru gede (ABG), dan bahkan anak kecil pun sudah banyak yang fasih menirukannya.

Bila lirik lagu ini dinyanyikan oleh para kandidat calon Bupati yang akan bersaing pada arena pemilihan kepala daerah (Pilkada) nanti, maka lagu tersebut berubah liriknya menjadi "Pilihlah Aku jadi Bupatimu". Tentu saja ungkapan kata tersebut keluar dengan penuh kesungguhan hati, dengan harapan agar rakyat pada saat memberikan suaranya nanti memilihnya sebagai Bupati. Sebab Pilkada yang pertama kalinya digelar ini mengisyaratkan bahwa rakyatlah yang menentukan calon pemimpin yang dianggap mampu, untuk menduduki kursi nomor satu di kabupaten yang melakukan Pilkada.

Terlepas dari segala dinamika yang muncul dalam pelaksanaan Pilkada, yang jelas para kandidat yang sudah menyatakan bersedia untuk dicalonkan oleh partai, ataupun mencalonkan diri sendiri untuk maju menjadi kandidat -meskipun rela pulang kampung- tentu sudah bersiap-siap mengatur strategi, menyiapkan tim sukses agar menjadi pemenang dalam pertarungan Pilkada. Tim sukses yang dibentuk pun tentu bekerja dengan mengharapkan imbalan, minta dengan calon Bupati, nanti jika terpilih, memasukkan mereka dalam "kabinet" Bupati. Menunjuk mereka jika ada proyek, dan lain-lainnya. Intinya mereka (baca: tim sukses) bilang "Pilihlah Aku jadi Orang dekatmu".

Setiap kandidat tentu sudah pasti siap menang, tetapi jika kalah mereka akan menangis. Karena banyak uang yang telah dikeluarkan untuk mencari simpati kepada rakyat, membayar tim sukses, dan sebagainya demi mewujudkan keinginan menjadi Bupati. Mereka (baca: kandidat kepala daerah) akan menuai kekecewaan jika tujuan menjadi Bupati hanya untuk memuaskan ambisi pribadi. Jika keinginan menjadi Bupati diniatkan untuk melakukan perubahan, melayani masyarakat, walaupun tidak terpilih, saya yakin kadar kekecewaannya sedikit. Sebab untuk mengabdikan diri untuk melayani masyarakat tidak mesti jadi Bupati. Banyak cara lain yang dapat dilakukan agar menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Tidak menjadi Bupati bukan berarti kiamat, kan?

Sebagai rakyat yang memiliki kedaulatan untuk menentukan pilihan, sudah saatnya melakukan persiapan. Sebab waktu lima menit di tempat pemungutan suara akan menentukan wajah daerah selama lima tahun yang akan datang. Tajuk Editorial Pontianak Post, 30 April 2005, mengajak kepada para pemilih untuk mendewasakan diri bahwa money politics adalah umpan yang akan menyengsarakan. Saatnya rakyat aktif untuk peduli mengawasi proses demokrasi, sehingga sebagai rakyat kita tidak terus menerus diperdaya oleh kepentingan sesaat. Rakyat hendaknya memilih calon yang benar-benar mempunyai kemampuan untuk memimpin rakyatnya.

Tanpa bermaksud menggurui, dalam menentukan pilihan calon kepala daerah, rakyat setidaknya mesti mengenal calon kepala daerah tersebut dengan kriteria AKU. Kata "AKU" bukan dimaksudkan pada person (orang), tetapi merupakan akronim dari Amanah, Komitmen, dan Unggul.

Pemimpin yang dipilih harus Amanah (dapat dipercaya). Pemimpin yang amanah menganggap bahwa terpilihnya dia sebagai pemimpin merupakan kepercayaan masyarakat yang tidak boleh dinodai. Apapun yang dikerjakan harus dipertanggung-jawabkan kepada rakyatnya maupun kepada Tuhannya. Sehingga dalam memimpin dia akan berlaku adil kepada setiap warganya. Tanpa membedakan agama, suku, dan sebagainya. Mendahulukan kepentingan publik ketimbang kepentingan keluarga, tim sukses, dan partai yang mengusungnya. Membela masyarakat yang terpinggirkan dan tidak mengistimewakan orang-orang yang punya modal besar. Jangan kita memilih pemimpin yang angkuh, sebab jika mereka terpilih pasti akan melupakan rakyatnya.

Kemudian pemimpin yang kita pilih harus mempunyai Komitmen untuk melakukan perubahan dan memajukan daerahnya. Apalagi dari enam kabupaten yang melakukan Pilkada ada tiga kabupaten baru. Pemimpin yang konsisten terhadap janjinya kepada masyarakat untuk melakukan perubahan, menegakkan kebenaran, memerangi dan membunuh virus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), yang melekat ditubuh pemerintahannya. Pemimpin seperti ini akan bersungguh-sungguh untuk mensejahterakan rakyat. Janjinya bukan hanya sekedar pemanis bibir.

Selanjutnya pemimpin yang dipilih mesti Unggul. Unggul dalam keilmuannya (cerdas), unggul dalam kemampuannya, unggul dalam tingkah-lakunya. Pemimpin hendaknya bisa kita jadikan panutan yang memiliki keunggulan-keunggulan tersebut. Jangan memilih pemimpin yang tidak berilmu, tidak memiliki kesanggupan untuk memimpin, dan tidak mempunyai perilaku yang terpuji.

Pilkada sudah didepan mata. Saatnya rakyat mulai membidik, meneropong, dan mengenal calon kepala daerah yang akan menjadi pemimpin. Rakyat jangan sampai terhipnotis, terlena, dan terbuai dengan janji-janji manis yang dihidangkan oleh kandidat. Sebab, tidak jarang pada saat sebelum mendapatkan apa yang diinginkannya, orang bisa menyulap dirinya menjadi orang yang paling baik, paling dermawan, paling perhatian, dan paling ... lainnya. Hati-hati jangan sampai kita tertipu. Semoga Pilkada di Kalbar ini dapat berjalan lancar tanpa disertai dengan kekerasan dan berhasil memilih pemimpin yang dapat melakukan perubahan yang lebih baik.

(Penulis Mantan Wakil Presiden BEM STAIN Pontianak dan Mantan Sekretaris Umum HMI Cabang Pontianak)

Marjinalisasi Peran Agama di Era Kapitalisme (Refleksi Maulid Nabi Muhammad SAW)

Oleh Ridwansyah

GUNCANGAN budaya kapitalis telah membentuk manusia-manusia yang individualis. Iklan-iklan yang disebar lewat media massa, menularkan virus-virus konsumerisme yang begitu hebat. Manusia seakan dipaksa untuk meyakini bahwa dalam kehidupan ini tujuan utama adalah memiliki sebanyak mungkin produk-produk kapitalis. Padahal kenyataannya tidak semua manusia mampu memenuhi godaan-godaan iklan tersebut. Salah satu faktor penyebabnya karena keterbatasan kemampuan ekonomi akibat perlakuan pembangunan yang dominan berpihak kepada kepentingan pengusaha dan penguasa. Dampak yang mengemuka adalah frustasi sosial masyarakat, dikarenakan kian lebarnya perbedaan antara golongan kaya dan miskin. Padahal golongan berpunya di dalam lapisan masyarakat adalah minoritas. Sedangkan kaum papa mayoritas jumlahnya.

Namun demikian dilihat dari sisi penguasaan terhadap asset-aset ekonomi mereka sangat dominan pengaruhnya, masyarakat miskin dipaksa menjadi pekerja-pekerja kasar untuk kepentingan pengusaha besar. Hal ini tergambar jelas dalam gaji yang diberikan kepada mereka yang sangat tidak berimbang dengan tenaga yang mereka keluarkan, turunannya manusia-manusia proletar ini tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar (basic need)-nya, anak-anak mereka kekurangan gizi sehingga dari segi kecerdasan tidaklah dapat diharapkan. Makanan-makanan yang mereka konsumsi jauh dari sempurna dilihat dari persyaratan kesehatan, pendidikan anak-anak mereka hanya menempati sekolah-sekolah kelas III dengan sarana dan prasarana pembelajaran yang sangat minim, dan banyak lagi hak-hak mereka terampas secara samar.

Dalam situasi demikian, menurut Karl Marx, akan terjadi kebencian terpendam dari kaum proletar tersebut. Hal ini sewaktu-waktu akan menyebabkan konflik terbuka antara kelompok proletar dengan komunitas borjuis yang menggunakan negara sebagai alat untuk melindungi kepentingan mereka. Apakah konflik tersebut akan terjadi di negara kita? Waktulah yang akan menjawabnya.

Yang menjadi pertanyaan adalah dimana posisi Agama dalam melihat realitas sosial seperti ini? Apakah agama berpihak kepada mereka (kaum musthadaafin) atau malahan menjadi antek kaum berpunya? Untuk menjawab hal tersebut memang diperlukan kajian yang komprehensif. Tapi penulis lebih tertarik melihat penampakan-penampakan yang dapat kita saksikan secara telanjang di tengah-tengah masyarakat.

Ada semacam gairah yang cukup tinggi kalau kita lihat aktivitas agama beberapa waktu belakangan ini. Bisa dilihat dari banyak bermunculannya kelompok-kelompok pengajian dengan berbagai macam warna kajian, kegiatan-kegiatan dakwah marak terutama di kampus-kampus sekuler, tradisi-tradisi klasik menjadi semacam trend dalam beragama ini terlihat dalam hal gaya berpakaian, gaya bergaul, dan banyak lagi gaya-gaya lainnya. Sebagai suatu fenomena dalam beragama hal ini patut disyukuri dikarenakan ternyata agama masih menunjukkan geliatnya, minimal hal tersebut menjadi bahan pertimbangan bagi tesis Patricia Arbuden dan Jhon Naisbitt dalam bukunya mega trend 2000 yang meramal bahwa abad 21 adalah abad kematian agama formal.

Dibalik itu semua kita merasa trenyuh karena ternyata kalau jujur kita selami lebih dalam ternyata trend-trend beragama tersebut lebih cenderung berbicara tentang hal-hal yang berbau alam kematian semata tanpa berani secara terang-terangan menyatakan perang melawan kapitalisme. Kajian-kajian yang dibahas lebih bersifat mendamaikan hati, daripada melakukan analisis sosial kritis dengan menggunakan perspektif agama dalam memotret ketimpangan sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sehingga yang terjadi kaum miskin (Musthada'afin) makin tertinggalkan, mereka dianggap sebagai kelompok "berdosa" dalam pandangan pencinta tradisi-tradisi tersebut. Ukuran-ukuran ketaatan terhadap ajaran formal menjadi semacam standar penilaian untuk memvonis mereka merupakan bagian dalam kelompok pendosa, apakah sholat dilaksanakan lima kali sehari, apakah kamu membayar zakat, apakah kamu sudah berjilbab (untuk perempuan), apakah kamu sudah naik haji, apakah anakmu dikursus agamakan (TPA) rangkaian-rangkaian pertanyaan tersebut seakan-akan menjadi referensi wajib bagi kaum agamawan untuk mengukur keberislaman mereka. Padahal kaum miskin tentunya ingin menjalankan ajaran agamanya secara "kaffah" tapi untuk menjalankannya menurut mereka sangat mahal harga yang harus mereka bayar. Untuk bersembahyang tiap waktu prasyaratnya adalah tersedianya pakaian sembahyang yang bersih, harus punya waktu untuk melaksanakan shalat wajib kesemua persyaratan tersebut jarang mampu mereka penuhi, tempat mereka kerja tidak memungkinkan mereka untuk sholat tepat waktu karena pekerjaan menuntut mereka untuk beraktivitas tepat waktu, belum lagi aktivitas mereka yang tidak jarang bergulat dengan hal-hal yang membuat kotor badan dan pakaian, sehingga tidak memungkinkan untuk menjalankan aktifitas ibadah.

Diperlukan pandangan kritis mencermati situasi keberagamaan yang ada ditengah masyarakat kita. Umat hari ini kehilangan figure yang concern dengan masyarakat miskin, tidak kita temukan sosok seperti bunda Theresa yang mau menceburkan diri dengan kehidupan kaum proletar, malahan menampak secara telanjang dihadapan kita kemunculan ulama-ulama borjuis yang perilaku hidupnya jauh dari kesederhanaan seperti yang diajarkan oleh baginda Rasulullah SAW, moment Maulid Nabi Muhamad SAW ini memunculkan harapan bagi kaum-kaum beragama untuk mencontoh kepribadian Nabi SAW, dalam menyebarkan Islam agama rahmatan Lil alamin, terutama dengan sikap kesederhanaan luarbiasa yang beliau tunjukan kepada umatnya.

Muhamad adalah cerminan Nabi kaum proletar karena beliau selalu berada di garda yang paling depan dalam membela kepentingan kaum miskin. Dia berkata "tidak sempurna agama umatku apabila di sebelah rumahnya masih ada tetangganya yang kelaparan". Muhammad selalu berada ditengah-tengah rakyatnya, dia tidak menjauh dari umatnya, rumahnya tidak dipagari dengan tembok tinggi, bahkan beliau selalu mengadakan open house untuk rakyatnya yang ingin berdiskusi dengan beliau setiap hari tanpa perlu disibukkan dengan birokrasi yang berbelit-belit dan memusingkan, sesuatu yang lumrah terjadi saat ini. Ada kerinduan yang mendalam menantikan figure-figure Muhammad di era kapitalis saat ini.

(Penulis Mantan Pengurus HMI Cabang Pontianak)

Mengantisipasi Tawuran Pelajar

Oleh Aspari Ismail
Kita selalu kembali dikejutkan dengan berita kekerasan. Siswa sekolah tawuran dan puluhan siswa diamankan. Berita "sedih" tersebut menambah daftar panjang terjadinya kasus kekerasan dalam dunia pendidikan, terutama tawuran antar pelajar yang terjadi di bumi Khatulistiwa ini khususnya.

Muhaimin (2001) menilai bahwa terjadinya tawuran antar pelajar, tindakan kekerasan, konsumsi minuman keras dan narkotika, kebut-kebutan di jalan raya dan sebagainya, yang terjadi hampir setiap hari dan selalu di jadikan sebagai berita utama di media massa disebabkan karena kegagalan sistem pendidikan, termasuk pendidikan agama yang hanya menekankan aspek kognitifnya saja.

What wrong with our education? Bukankah pada hakekatnya pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia? Betulkah pendidikan merupakan proses dan pencerahan hidup generasi muda? Kenapa tawuran/ kekerasan bisa terjadi?

Djohar (2003:4) menganggap bahwa pendidikan kita telah kehilangan objektifitasnya. Saat ini sekolah tidak dijadikan sebagai tempat anak melatih diri, menampilkan dirinya untuk berbuat sesuatu, dan mendapat koreksi bahwa ia salah atau benar, berbuat baik atau jelek, akan tetapi sekolah dijadikan sebagai 'panggung pentas' untuk memperoleh juara. Lebih lanjut beliau memaparkan bahwa kenakalan anak yang tidak ditampilkan pada usianya sehingga ia menunda kenakalan itu diwaktu usia lebih tua, yang akhirnya lahirlah pola tawuran antar pelajar, yang lebih sulit mengatasinya.

Sementara itu, Mulyasa (dalam Madjid dan Andayani, 2004:V) mengungkapkan bahwa prilaku kekerasan... menunjukkan bahwa rapuhnya moral dan spritual bangsa. Hal tersebut mengesankan manusia Indonesia hidup dengan hukum rimba ditengah hutan belantara kota.

Pada dasarnya, kita tidak dapat keluar dari konflik. Karena konflik selalu hadir dalam setiap relasi antar manusia. Dimanapun, kapanpun dan oleh siapapun. Bahkan dalam kehidupan pribadi sekali pun, konflik selalu ada. misalnya konflik antara isi pikiran dan hati. Sebab itu, kehadiran konflik sesungguhnya menjadi sangat wajar, alami, dan justru harus diterima sebagai realitas.

Menjadi sebuah pertanyaan besar bagi kita adalah bagaimana konflik tersebut di jalani secara positif? Konflik tidak harus dimaknai sebagai pertikaian, permusuhan, tetapi juga mengandung makna kompetisi, tegangan, atau sekedar ketidak sepahaman. (baca: Lubis, "Konflik tanpa Kekerasan", Pelita: 13 Maret 2002).

Namun kenyataanya, kita tidak pernah terlatih bagaimana menyikapi konflik tersebut terlebih pemecahan konflik. Kita sering menyikapi dan menyelesaikan konflik dengan satu cara, yakni cara kekerasan (Djohar, 2003: 10).

Untuk mengantisipasi tawuran pelajar, sudah semestinya saat sekarang ini proses pembelajaran di sekolah diarahkan pada empat (4) pilar kegiatan, sebagaimana yang telah dirumuskan oleh UNESCO (United Nations Educational Scientific Cultural Organization) yaitu: (1) belajar untuk tahu (learning to know), (2) belajar untuk berbuat (learning to do), (3) belajar untuk bersama (learning together), dan (4) belajar untuk membentuk jati diri (learning to be).

Djohar (2003:11) menyarankan agar pendidikan kita memfungsikan "peace education" sebagai model pendidikan. Model ini mengupayakan pemberdayaan masyarakat agar mampu mengatasi konflik dengan kreatif dan tidak dengan cara kekerasan. Model pendidikan ini dapat dilaksanakan disekolah melalui bentuk belajar kelompok. Dengan demikian siswa terlatih memecahkan persoalan-persoalan bersama dengan berbagai model transaksi sosial-psikologisnya. Melalui belajar kelompok, anak-anak terlatih menekan egoismenya dan terlatih menghargai hak-hak orang lain.

Disamping itu, proses pembelajaran hendaknya tidak diarahkan hanya mementingkan kecerdasan intelektual semata, tetapi juga harus diimbangi dengan kecerdasan emosional. Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Goleman (1997) bahwa prestasi seseorang itu 80 persen ditentukan oleh kematangan emosinya (Emotional Question), sedangkan kecerdasan intelektual (Intelectual Question) hanya berperan 20 persen saja.

Paulo Freire menganjurkan, sekolah mesti menghindari proses pendidikan yang membelenggu yakni pemberian perintah (reseptur) dan hanya mentransfer pengetahuan. Melainkan melakukan proses pendidikan yang membebaskan, yang mengutamakan dialogis dan transformasional, yakni proses yang mempunyai makna dalam pendidikan. Apabila anak terbiasa dengan dialog, maka penulis yakin mereka akan mengutamakan dialog sebagai cara yang paling ampuh untuk mengatasi segala persolan yang terjadi.

Semoga saja kejadian yang tidak kita ingin tersebut, sehingga membuat semakin buramnya potret pendidikan kita, tidak terulang kembali. Ingat, kekerasan tidak dapat dilawan dengan kekerasan.

(Penulis adalah Mahasiswa Tarbiyah, Mantan Wakil Presiden BEM STAIN Pontianak dan Mantan Sekretaris Umum HMI Cabang Pontianak)