Selasa, 22 Juli 2008

Tradisi Yang Masih Bertahan

Oleh: Sutami

Mencoret seragam menjadi tradisi yang terus bergulir di kalangan pelajar dalam merayakan kelulusan. Eksperesi selama masa tempuh belajar dicurahkan dengan meluap-luap meskipun pakaian menjadi korban. Perilaku yang tumbuh menjalar subur hingga sekarang meskipun tidak tahu siapa pemilik ide perdananya. Alangkah indah busana sekolah tak dimubazirkan, tetapi disumbangkan kepada kalangan yang lebih memerlukan. Itulah harapan dari para kalangan kaum bijaksana.

Namun dari tahun ke tahun perayaan kelulusan dengan coretan di seragam tetap menjadi trendi. Seperti tidak ada kekuatan untuk membendung apalagi meniadakan budaya tersebut. Faktor pengaruh pergaulan dapat menjadi tarik perkaranya jika di lihat dari sisi jiwa muda. Sebab selama di bangku sekolah tidak akan pernah guru menginstruksi coret-mencoret dalam merayakan kelulusan. Kejadian yang begitu akrab di dunia pendidikan Indonesia pasca pengumuman hasil ujian nasional. Dan dalam kurikulum sistem pendidikan nasional mustahil melegalkan setiap penyimpangan perilaku produknya.

Ketika era kelulusan berstandar nasional justru perilaku mencoret semakin terpompa bagi kalangan pelajar yang lulus. Adalah sebuah prestasi akbar untuk dapat melintasi level yang ditentukan sebagai standar kelulusan. Buktinya adalah banyak pelajar Indonesia harus mendapatkan ijazah dari hasil penyetaraan sebagai konsekuensi tidak meratanya pendidikan.

Mencermati dinamika sosial yang terjadi, pasti ada sentuhan-sentuhan nilai yang akan diperjuangkan agar sesuatunya berubah ke arah yang baik. Kalangan pelajar dengan aksi coret-coret sedang generasi tua tetap sibuk dalam kancah korupsi yang terus menggebu dari segi nominal. Setiap persoalan tidaklah dapat dijadikan sebagai kesimpulan, namun tidak salah dijadikan sebagai analisa awal dalam menguraikan pendapat.

Di saat Indonesia menjalani hidup reformasi sejak 1998, pintu nasib bangsa sedikit berubah dalam segi penempatan maupun pemilihan aparatur negara. Namun kerinduan akan menikmati hidup sejahtera tetap terus bergelora. Dan tidak puas para pemimpin berkampanye bersuara bahwa perjuangan meretas kesejahteraan mereka pikul secara serius. Situasi yang terus mengalir menjelang siklus pergantian kepemimpinan; Indonesia sekarang sedang mengalaminya.

Nuansa kehidupan politik bangsa harus diakui memang berubah. Ambruknya kekuasaan orde Baru membuat semangat politik generasi bangsa terus menggebu. Akibat terlalu menggebu menjadikan ide-ide politik bertebaran dijalanan melalui spanduk hingga iklan di media elektronik yang sangat memakan biaya tinggi. Masing-masing menegaskan kefiguran yang merakyat, memiliki jiwa sosial tinggi sampai menciptakan jargon-jargon terbaru.

Dari segi aktifitas kebebasan, kehidupan politik bangsa boleh menjadi harapan. Menjadi lahan kritis tetapi di rentang waktu merealisasikan spirit yang dibuat. Sulit mendapatkan perubahan berarti dalam kehidupan rakyat. Keberpihakan pemerintah masih bersifat memanfaatkan momen tidak lebih dari itu. Simpati rakyat mayoritas digali menjelang pemilu dan ritmenya tak pernah berubah. Meskipun rakyat terus mendapatkan kebohongan-kebohongan.

Ruang demokrasi menjadi tak berarti karena roda yang berputar tidak pernah menuju jalan yang di atur dalam peta peraturan. Lencengan-lencengan para petualang politik tetap mewarnai kebijakan bagi rakyat Indonesia. Demokrasi terjadi hanya di saat pemilihan, itupun dari segi praktik hujan-hujan manipulasi tetap berjalan. Jadi bagaimana nasib bangsa ke depan? Yang jadi pemimpin cukup meng-iklankan diri, cukup melakukan money politic. Sosok pemimpin yang dihasilkan tak lebih tokoh-tokoh yang hanya akan berbicara untung rugi secara financial. Sehingga suasana kepemimpinan yang lahir cengkreman politiknya sulit menerima perbedaan akibat tidak paham konteks demokrasi sesungguhnya.

Kritik yang dilontarkan selalu dianggap sebagai manuver lawan politik bahkan dianggap subversif alias merongrong keamanan negara. Dalih penguasa jika otoriter memang demikian. Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Dalam menanggapi aksi protes kenaikan BBM 24 Juni 2008 yang menghasilkan hak angket DPR pemerintahan SBY-JK merongrong perilaku kritis dengan melakukan penangkapan-penangkapan kepada mahasiswa bahkan Ketua Dewan Tani Indonesia Ferry Yuliantono langsung ditangkap karena dituding sebagai provokator aksi.

Melihat tindakan dari pemerintahan sepertinya gaya-gaya orde Baru kembali dimainkan. Setiap pemikiran kritis langsung di jebloskan ke dalam tahanan. Sri Bintang Pamungkas korbannya era Orde Baru dan Ferry Yuliantono korban era reformasi. Jadi pola orde baru masih tetap dilakukan demi mengamankan kekuasaan tanpa perlu melihat benar atau salah. Sehingga jalannya kepemerintahan bangsa Indonesia tidak ubahnya dengan pola pelajar merayakan kelulusan. Jika pelajar lulus dirayakan dengan coret-coret, maka pemerintah jika ingin mulus kekuasaannya adalah dengan tangkap-menangkap. Padahal seharusnya di era reformasi penangkapan karena kritik harus sudah tamat karena tradisi demikian adalah miliknya Orde Baru. **

* Penulis adalah Mahasiswa Untan

Demonstrasi dan Anarkisme vs Intelektualitas

Oleh: Masngud Zauzi

Aku temukan perbudakan buta, yang mengikatkan kehidupan orang-orang saat ini dengan masa lalu orang tua mereka, dan memaksa mereka agar menyerah pada tradisi dan adat-istiadat, seraya menempatkan spirit kuno dalam tubuh yang baru.

Aku temukan perbudakan lembut yang menamai benda-benda bukan dengan nama-nama mereka yang tak memiliki nalar, tanpa pengetahuan, lemah dan pengecut,..

Aku temukan perbudakan sinting, yang menyebabkan lidah orang-orang lemah lari karena takut dan berbicara diluar perasaan mereka,.....

Aku temukan perbudakan lentur, yang menyebar di suatu negara dan membujuknya untuk mengikuti hukum-hukum dan aturan-aturan negara lain,.....(Kahlil Gibran).

Demikian prakata yang dapat kita renungi saat ini ketika melihat realitas kehidupan bangsa yang kita cintai ini. Sebuah prakata yang akan membuat kita semakin sadar bahwa kita adalah budak-budak yang tercipta karena kegagalan dalam mewujudkan kebenaran. Seringkali kita menyaksikan aksi-aksi demonstrasi yang mengatasnamakan kebenaran dan pembelaan atas penindasan yang dilakukan atas kelompok-kelompok menengah kebawah. Benarkah demikian aksi yang terjadi saat ini?

Selama satu bulan terakhir ini kita kerap kali mendengar dan melihat aksi-aksi demonstrasi terjadi di negeri yang kita cintai ini, Indonesia. Demonstrasi yang terjadi dengan alasan yang beragam, mulai dari upaya penolakan kenaikan harga BBM, berkaitan penegasan SKB untuk jamaah Ahmadiyah dan aksi-aksi lainnya. Aksi-aksi tersebut terjadi karena dipicu oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang dipandang tidak pro rakyat. Bangsa yang besar ini begitu 'miskin'. Bangsa yang besar ini 'tergantung' pada kekuasaan negara-negara adikuasa. Kemiskinan yang riil pada masyarakat kita adalah kemiskinan secara materi. Jumlah penduduk miskin di Indonesia, menurut data dari BPS mencapai 39.05 juta jiwa pada maret 2005. Artinya, sebanyak 17.35% dari total penduduk Indonesia yang mencapai 222 juta jiwa masoh hidup di bawah garis kemiskinan. Namun, pada dasarnya kemiskinan yang sesungguhnya bukanlah kemiskinan dari segi materi, melainkan kemiskinan moralitas dan kemiskinan spiritualitas. Kenapa demikian?

Tahun 1945 bangsa ini merdeka dari penjajahan pihak asing. Hari ini dan masa-masa yang akan datang bangsa ini akan terus 'terjajah' oleh sistem bangsa yang pragmatis. Kita hidup pada zaman yang serba pragmatis yang menjadikan kita tidak berdaya dan kahirnya kemiskinanlah yang muncul. Akibat dari kemiskinan itu adalah kejahatan, konflik sosial, dan kemunduran kebudayaan. Banyak kalangan yang saat ini mengeluhkan terjadinya kejahatan yang terjadi dalam masyarakat, mulai dari kejahatan seksual, kejahatan moral, sampai kejahatan fisik.meskipun demikian, sebagian besar dari mereka juga masih melihat sebab-sebab kejahatan berasal dari diri manusia itu sendiri, dan bukannya dari kondisi sosial-ekonomi yang tersedia dimasyarakat (Soyomukti, 2008).

Sesungguhnya dalam diri manusia terdiri atas dua unsur, yaitu unsur nafsu setan dan malaikat. Unsur nafsu setan adalah amarah, yaitu nafsu melawan dan menentang Tuhan; sedangkan unsur malaikat disebut unsur mutmainah, yaitu nafsu untuk tunduk dan menjalankan perintah Tuhan. Kejahatan yang merajalela hanya dilihat dari akibat kekalahan manusia dalam mengendalikan nafsu. Bukan karena faktor kemiskinan atau ekonomi, tetapi karena manusia tidak belajar dari hakikatnya sendiri. Lalu, bisakah kita berandai-andai dan mengharapkan bahwa setiap anggota masyarakat akan mampu memahami hakikat dirinya sendiri atau keadaan masyarakatnya?

Aksi demonstrasi yang terjadi saat ini adalah upaya memberangus kejahatan dalam wujud halus, kekerasan yang terselubung dalam kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat. Demikianlah dalih-dalih yang digunakan oleh demonstran. Sesungguhnya aksi tersebut adalah pilihan yang 'keliru' dalam menyikapi persoalan bangsa yang begitu kompleks. Pernahkah kita diajarkan untuk menegakkan kebenaran dengan kekerasan? Sekalipun ada tentu ada masanya dan dalam kondisi tertentu. Saat ini bangsa ini memerlukan solusi yang cerdas, tidak memerlukan aksi masa yang berakhir pada kekerasan atau pun penganiyaan.

Perlu pembenahan pada diri setiap insan yang menganggap dirinya ber-Tuhan dan memiliki hati nurani. Berpikir jernih, tidak berorientasi pada hasil, namun berorientasi pada proses tentu akan membuat kita semakin dewasa dalam menyikapi persoalan. Mahasiswa, adalah harapan muda bangsa ini. Mahasiswa adalah penerus perjuangan bangsa ini, penerus estafet kepemimpinan bangsa, maka berpikir kritis dan analis adalah suatu kewajiban, namun bukan berarti berpikir radikal. Idealisme mahasiswa yang hakiki harus tetap ditegakkan, yakni bagaimana mendewasakan pikiran agar bisa mengatasi segala persoalan hidup dengan pola pikir yang sistematis, kritis, analisis, dan komprehensif. Namun disisi lain, mahasiswa juga harus menghadapi banyaknya godaan faktual yang sangat menarik dan menggiurkan yang bisa membuatnya menyimpang dari idealisme hakiki mahasiswa.

Demonstrasi yang berakhir dengan kekerasan fisik dan penganiayaan adalah menggugurkan intelektualitas yang dimiliki. Berlaku aniaya adalah menurutkan nafsu setan yang ada dalam diri sendiri. Seharusnya intelektualitas yang dimiliki akan mampu mengendalikan nafsu yang kita miliki, bukan intelektualitas menjadi landasan dasar menuruti nafsu setan. Harus ada perubahan dalam tiap-tiap diri ini agar tidak lagi tercipta kekerasan dalam bangsa ini oleh kalangan intelektual. Tidakkah kita malu sebagai insan yang terdidik berprilaku sama denga mereka yang 'kurang terdidik'? Terdidik dan kurang terdidik bukan ukuran dalam pendidikan formal, namun lebih pada terdidik secara moral dan estetika.

Manusia terlahir tidak sama dengan binatang, yang begitu terlahir dapat berjalan atau berlari. Manusia harus melewati proses untuk bisa melakukan sesuatu. Demikian pula dengan bangsa ini, perlu waktu yang lama untuk menjadi bangsa yang 'besar', besar dalam memberikan yang terbaik bagi rakyatnya. **

Penulis adalah mahasiswa STAIN Pontianak, Ketua Umum HMI Komisariat Syari'ah Cabang Pontianak.

Menghardik Kesadaran

Oleh: Sutami

Menjalani hidup akan sangat berarti ketika dijalani dengan penuh kesadaran. Semangat keingintahuan akan terobati. Maka tidak heran apabila ilmu dituntut setinggi-tingginya oleh manusia agar memiliki senjata penangkis perusak kesadaran. Perlombaan di dunia modern terkadang menimbulkan usaha menenggelamkan tata kehidupan yang berlatar kolaborasi manusia dengan alam.. Kesigapan mental harus siap menjawab bahkan menantangnya. Karena manusia hadir adalah simbol penyuara kebenaran. Indah tentu dunia jika seluruh penghuninya memiliki kesadaran tinggi ditambah ruang kesadaran tak ada usaha untuk melakukan penyumbatan.

Indonesia sebagai bangsa yang memiliki keluasan wilayah ditambah alam yang kaya, sumber tenaga kerja melimpah tapi dalam mengisi kemerdekaan sangat sakit kondisi untuk bangkit dari runyamnya masalah pendidikan, kesehatan, ekonomi sampai sosial politik sekaligus. Keadaan paling utama menghantam adalah soal ekonomi dan politik. Komposisi keduanya seperti saudara kembar tapi berbicara landasan sepak terjang amat jauh satu sama lain. Tapi masing-masing selalu saling mempengaruhi dan pengaruhnya menjadi penentu nasib sebuah bangsa. Hantaman krisis ekonomi 98 membingkai hingga sekarang terus membutuhkan penyelesaian. Penyelesaian taraf hidup masyarakat yang terus membungkuk akibat ulah pemerintah mengurus negara secara tidak ikhlas.

Suara-suara penderitaan seakan tidak menjadi gemingan bagi pemerintah. Kebohongan bagi masyarakat terus dipamerkan tanpa rasa malu sedikit pun mempertontonkannya. Namun kejadian tersebut terjadi pada bangsa Indonesia. Bangsa penganut budaya ketimuran yang penuh etika, penuh sopan santun dan beradab. Tapi pemimpinnya memelihara ketidakjujuran dengan mengandalkan keahlian menyilatkan lidah. Ketika ketidakjujuran terus tak disingkirkan dari sifat-sifat jiwa pemimpin bangsa, akan terselamatkankah penderitaan nasib bangsa yang terus merengek-rengek untuk menjauhi kemiskinan dan kebodohan?

Dengan alasan menyelamatkan keuangan negara, kebijakan memahalkan BBM menjadi langkah utama pemerintah. Meskipun SBY-JK adalah duet penguasa pertama Indonesia yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Pemerintah seakan-akan selalu berseloroh bahwa BBM bersubsidi selalu orang kaya yang menikmati. Sebagai self implementasi, kenaikan BBM langsung terasa faedahnya. Mulai dari tak mampu melautnya para nelayan, naiknya ongkos angkot, bahkan mie instan sekalipun ikut menyesuaikan tarif. Berarti pendapat yang dilontarkan pemerintah kepada publik tak lebih dari memanfaatkan ketidaktahuan mayoritas penduduk Indonesia karena mayoritas masih terbelakang soal pendidikan.

Kenaikan harga minyak dunia dipakai sebagai lokomotif pembenar kebijakan yang diambil. Tetapi tidak pernah proses detail disampaikan kepada masyarakat mengenai BBM. Masihkah kekayaan minyak di perut Indonesia diperuntukkan bagi kemakmuran rakyat? Hal tersebut butuh kejujuran dari SBY-JK beserta ahli ekonominya. Di saat minyak naik, idealnya Indonesia menikmati surplusnya tapi yang terjadi justru kekayaan melimpah tak mampu menyelamatkan sang penghuni.

Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat paska krisis justru hanya menjadi impian. Bangsa yang merdeka di tahun 45 seakan hanya menjadi bayangan semata. Sebab bayangan hanya dapat diprediksi tapi tak dapat rasakan. Beginilah kondisi bangsa, kebijakan yang dilahirkan pemerintah merupakan kebijakan hasil pesanan para imprealis kapitalis. Akibat menggantungkan nasib dengan IMF, otomatis Indonesia harus tunduk dengan LoI (Letter of Intent) secara instrumental dalam kebijakan ekonomi. Salah satu agenda paling krusial dan wajib dilaksanakan sebagai bukti kepatuhan dengan IMF adalah mengurangi jatah subsidi di sektor publik. BBM menjadi bukti jelas, belum genap lima tahun SBY-JK berkuasa tapi harganya telah melonjak tiga kali.

Luapan ketidakberdayaan masyarakat memang banyak terlontar sebagai bukti protes dengan pemerintah. Namun rasa marah dari segenap warga bangsa tak mampu melawan superioritas yang dimiliki oleh pemerintah. Pemerintah memiliki bedil, memiliki tank, memiliki polisi, memiliki tentara dan memiliki tim ahli ekonomi. Sehingga rasa penasaran masyarakat tentang kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM disaat kondisi ekonomi rakyat masih porak poranda dengan sigap logika masyarakat dilumpuhkan agar fikiran kritis lenyap.

Protes ketidaksetujuan kebijakan pemerintah bahkan dituding sebagai aksi yang ditunggangi, terutama gerakan moral para mahasiswa. Tanda-tanda otoritarianisme yang anti kritik dalam berkuasa pantas dilontarkan dalam memaknai konteks realitas yang terjadi. Bahkan konsep ekonomi pemerintah seakan-akan konsep tak memiliki nilai sama sekali. Konsep Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau bagi-bagi uang tak ada kamusnya dalam teori ekonomi dunia. Dan BLT adalah money politic gaya baru di era reformasi yang dijalankan oleh pemerintah agar masyarakat 'membeo' terhadap kebijakan yang dilakukan, meskipun sebenarnya adalah pencekikan leher rakyatnya sendiri. Letak kemanusiaan penguasa telah hilang dari peradaban Indonesia, sehingga tidak heran gelombang reaksi mahasiswa di bombardir melalui sang penurut setia, yakni polisi.

Kemunculan Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM) menjadi langkah pemerintah menjawab protes kebijakan menyimpang. Jika pemerintah sungguh-sungguh, tak perlu BKM, tapi RUU BHP lah yang pantas dihapuskan karena akan membuat kampus menjadi lembaga yang tak bersahabat dengan orang miskin. Namun semakin jelas bahwa BLT dan BKM adalah muara pemerintah untuk melenyapkan daya kritis dari rakyat yang sadar akan kekhilafan pemerintah dalam menjalankan amanah kekuasaan yang diberikan. Berarti sekarang pengekangan kesadaran tidak hanya dalam bentuk intimidasi kekerasan, melainkan telah dalam bentuk sogokan seperti kasus Kemas Yahya dan Ayin. **

* Penulis adalah mahasiswa Untan.

Pilwako dan Pemenuhan Hak-hak Dasar

Oleh : Rudy Handoko

PONTIANAK akan melaksanakan perhelatan besar yakni pemilihan walikota dan wakil walikota. Sebagai ibukota provinsi yang menjadi barometer Kalbar, maka perhelatan dan hiruk pikuk pilwako ini tentu lebih bergaung. Jika dilihat dari porsi liputan media pun tentunya jauh lebih tercover, sehingga saban hari tiada berita tanpa berita pilwako. Dan...yang tentunya ramai sekali menjadi bahan perbincangan mulai dari warung kopi sampai gedung ber-AC adalah tentang para kandidat yang bermunculan. Boleh jadi, kandidat yang bakal meramaikan perhelatan pilwako Pontianak ini akan jauh lebih ramai ketimbang daerah kabupaten-kota lainnya. Hal ini dapat dimaklumi, karena di pusat kota ini para politisinya tentu jauh lebih banyak dunk!

Selayaknya pesta pemilihan jauh-jauh hari sebelum hari H, bahkan sebelum masa pendaftaran calon dan masa kampanye dimulai, segala atribut para kandidat yang mencoba keberuntungan di ajang pilwako ini sudah bertebaran di tiap pelosok kota. Silaturahmi politikpun kerap dilakukan untuk memperkenalkan diri sekaligus 'ecek-eceknya' minta restu dan mohon perahu. Dinamika ini terjadi mulai dari kalangan pendukung kandidat/tim-ses, parpol yang jadi perahu, ormas, OKP dan kalangan masyarakat 'tokoh' serta masyarakat 'awam'. Dan berhubung gerbong independen juga telah dibuka, maka dinamika ini kian menarik bahkan menghangat dengan gejala 'bergentayangannya' para 'pemburu' KTP dan KK buat syarat dukungan. Wooow...hueboh dech!

Dalam coretan-coretan ini, sebagai masyarakat kelas 'awam' dan 'paria', saya coba berbagi wacana kepada masyarakat kota Pontianak, tentang apa yang seharusnya kita lihat sebagai pertimbangan agar dalam pilwako nanti dapat menghasilkan pemimpin yang terbaik, yang tentunya punya kemampuan untuk me-manage pemerintahan, punya integritas dan mampu memfasilitasi seluruh elemen masyarakatnya menuju pemberdayaan dan kesejahteraan bersama.

Dalam arena pemilihan, setiap warga negara punya hak yang sama untuk dipilih dan memilih, dan sah-sah saja jika tiap kandidat saling mengklaim bahwa mereka mendapat dukungan dari 'ini' dan 'itu', toh nantinya masyarakat yang punya hak pilih yang menentukannya. Tapi dalam hal ini, saya hanya ingin menggambarkan pada masyarakat yang bakal memilih, bahwa pilihan tentunya punya konsekuensi, dan bahwa pilihan tentang siapa yang pantas menjadi pemimpin kita akan menentukan nasib penyelenggaraan pemerintahan dan proses pembangunan yang bakal kita dapatkan dalam tahun-tahun ke depan. Baik yang kita pilih, maka boleh jadi baiklah penyelenggaraan pemerintahan dan proses pembangunan yang bakal kita dapatkan. Buruk yang kita pilih, boleh jadi buruk sudah nasib penyelenggaraan pemerintahan dan proses pembangunan yang bakal kita dapatkan, terutama terkait dengan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat, khususnya hak-hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, peningkatan pendapatan, infrastruktur dasar dan sebagainya.



Nah terkait itu, selain patokan figur kandidat, hal lain yang mesti kita lihat dalam memilih pemimpin yang terbaik adalah dengan melakukan 'tracking' terhadap apa yang telah mereka (baca: calon-calon walikota-wakil walikota) lakukan pada waktu-waktu yang lalu. Jika dia pengambil kebijakan, maka dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan yang pernah dibuatnya, apakah pro rakyat dan pro pemenuhan hak-hak dasar rakyat atau tidak. Jika dia mantan pejabat, maka dapat dilihat dari kinerjanya sebagai pejabat. Jika dia mengaku wakil rakyat, maka dapat dilihat dari keberpihakannya terhadap perjuangan mengartikulasikan aspirasi rakyat. Jika dia politisi, maka dapat dilihat apakah dia politisi bersih atau politisi busuk atau pada apa yang diperbuatnya dalam melakukan pendidikan politik. Jika dia pengusaha, maka sebagai rakyat kecil kita mesti lihat dia pengusaha yang kapitalistik atau pengusaha yang juga punya sense dan perhatian terhadap pengembangan ekonomi kerakyatan yakni usaha kecil-menengah masyarakat.

Kemudian, hal lain yang harus kita perhatikan tentunya adalah tawaran program apa yang akan dilakukan jika menjadi pemimpin, sehingga kita sebagai pemilih agak lebih naik level sebagai pemilih yang 'programic oriented' dan calon pemimpin juga menjadi sedikit cerdas berorientasi program yang tidak muluk-muluk tapi realistis dan menyentuh pemenuhan hak-hak dasar rakyat dalam menawarkan ide bukan sekedar janji. Kita mesti sadari bahwa tawaran program yang riil dan pro hak-hak dasar rakyat itu lebih mudah terlihat hasilnya, mudah didesak realisasi kebijakannya, mudah diawasi dan mudah dituntut pertanggungjawabannya ketimbang janji-janji abstrak.

Kenapa ini menjadi penting untuk dipertimbangkan, karena seharusnya sekarang para calon pemimpin kita sadar bahwa pembangunan yang tidak berbasis pada masyarakat, apalagi tidak memberi ruang pemberdayaan dan tidak mempunyai keberpihakan terhadap rakyat, hanyalah bersifat semu dan keropos. Dan lebih parah, dalam jangka panjang pasti melahirkan efek turunan berupa resiko sosial bahkan resiko politik yang besar.

Nah, dari itulah kita mesti pandai memilih pemimpin, terutama pemimpin yang punya kapasitas dan kapabilitas, kemauan serta program untuk memperkuat pemerintahan sekaligus memperkuat rakyat, dengan memperkuat pembangunan yang berorientasi pemberdayaan itu di tingkat basis dalam masyarakat dengan pelibatan langsung yang mendidik-membina mereka untuk mandiri secara bersama-sama mencapai kesejahteraan. Dalam hal ini mampu mengelola pemerintahan menjadi pemberi stimulus, baik melalui segala kebijakan yang dibuatnya dan sekaligus menjadi fasilitator pemberdayaan itu. Karena sinergisitas pemerintah dan masyarakat yang diperlukan. Pemerintah mesti menjadi penggerak dan berupaya menarik minat masyarakat untuk turut serta dalam segala proses pembangunan dan sebagai daerah otonom, Pontianak harus terus memacu pembangunan dan pemberdayaan masyarakatnya menuju kesejahteraan.

Dengan wilayah yang kecil dan sumber daya yang minim, apalagi yang dapat dilakukan Pontianak selain memproyeksikan dan memberi apresiasi pada pada ide-ide berani sebagaimana daerah otonom lain yang sukses. Dan ide-ide berani yang progresif serta pro rakyat itulah yang bakal semakin diperlukan untuk memajukan Pontianak. Wabil khusus harus dipunyai calon pemimpin dan tentunya warga Pontianak. Karena keberhasilan-keberhasilan membangun dan memajukan daerah merupakan buah kerja keras bersama antara seluruh elemen masyarakat dan pemerintah. Semoga! **

Penulis adalah Divisi Riset JARI Borneo Barat; Pegiat Lembaga Studi Sosial dan Demokrasi (eLSSiDe) dan Sekjend KIPP Pamali Kota Pontianak.

Menuju Pilwako, Wujudkan Pontianak Kota Bersinar

Oleh: Syamsul Kurniawan MR*)

Pemilihan walikota Pontianak tahun 2008 tidak lama lagi akan digelar. Hiruk-pikuk masyarakat Kota Pontianak dan ragam pembicaraan soal siapa kandidat yang hendak didukung nanti agaknya menunjukkan bahwa proses demokrasi sudah mulai berjalan dengan baik di kota ini. Tentunya tidak berdosa berbicara dan berdiskusi panjang lebar soal demikian, dan begitujuga tidak berdosanya kalau warga Kota Pontianak punya harapan banyak soal kepemimpinan walikota Pontianak yang nantinya terpilih. Lantas, seperti apa figur pemimpin yang ideal memimpin Kota Pontianak ke depan?

Sebagaimana yang semua kita tahu, Kota Pontianak yang berumur sangat tua ini disamping dijuluki Kota Khatulistiwa, Kota Pontianak juga disebut sebagai Kota Bersinar, yaitu kota yang bersih, sehat, indah, aman dan ramah. Dan ironinya, menjadi Kota Bersinar yang menjadi cita-cita dari kota ini, sampai sekarang belum terwujud. Karena itu, menurut penulis, seorang calon walikota ke depan tidak usah punya janji muluk-muluk. Sederhana saja, kalau calon walikota Pontianak bisa mewujudkan Kota Pontianak sebagai Kota Bersinar, beliaulah figur ideal yang membawa perubahan besar bagi Kota Pontianak yang kita sayangi ini.

Selanjutnya apa saja tafsiran yang harus dilakukan untuk mewujudkan Pontianak sebagai Kota Pontianak itu? Pertama, mewujudkan Kota Pontianak yang bersih. Memang benar, di tahun 1993 penghargaan Adipura disabet kota ini. Tapi adakah penghargaan itu bisa dijadikan patokan bahwa Pontianak betul-betul bersih? Rasa-rasanya tidak. Sungai Kapuas sudah mulai tercemar, belum lagi sampah di mana-mana, di beberapa sudut kota yang menuntut penanganan secara serius. Pontianak yang bersih adalah yang diidamkan warga Kota Pontianak. Tapi tidak berhenti sampai di sini, Pontianak juga harus bersih dari kotoran-kotoran buta huruf karena tidak dinafikan kalau angka putus sekolah di ibukota Kalimantan Barat ini juga relatif tinggi. Tingginya biaya pendidikan, terutama perguruan tinggi dengan mutu biasa-biasa saja juga harus dicarikan solusinya. Pendidikan gratis agaknya menjadi idaman seluruh pelajar/ mahasiswa di Kota Pontianak.

Kedua, kota Pontianak yang sehat. Di sini, yang menjadi calon atau yang terpilih nanti sebagai walikota Pontianak pastinya harus memikirkan kesehatan warga Kota Pontianak. Peningkatan mutu dan pelayanan di rumah sakit, disamping memberikan perhatian lebih pada pendidikan kedokteran, kesehatan dan keperawatan di Pontianak adalah tuntutan. Bukan saja itu, kita tidak akan menutup mata bahwa warga Kota Pontianak sangat mengharapkan akses pengobatan gratis dengan mutu dan pelayanan yang baik bisa didapat dengan mudah.

Ketiga, mewujudkan kota Pontianak yang indah. Pada aras ini banyak hal yang bisa dijanjikan oleh para kandidat dan selanjutnya diprogramkan oleh para kandidat. Bisa saja pembangunan Pontianak sebagai kota perdagangan dan jasa, yang disitu berdiri megah mall-mall dan semacamnya, membangun Tugu Khatulistiwa menjadi monumen yang luar biasa megah, Kraton Kadriah, Masjid Jami' dan seterusnya. Tapi pastinya janji dan program haruslah terealisasi dan bisa dilihat secara nyata hasilnya oleh warga Kota Pontianak. Tidak sebatas janji dan mimpi--mimpi. Membangun Kota Pontianak yang mana di situ berdiri bangunan-bangunan megah dan moderen sekalipun, belum bisa dikatakan berhasil kalau tidak bisa menjanjikan peluang kerja dan mengurangi jumlah pengangguran di kota ini.

Keempat, kota Pontianak yang aman. Walaupun jumlah kejahatan narkoba dan obat terlarang sudah mulai menurun, itu bukan jaminan kejahatan narkoba dan obat terlarang tidak akan mengalami peningkatan signifikan pada tahun-tahun berikutnya. Karena itu, 'aman' juga berarti bisa menjaga kualitas keamanan sebelumnya. Melihat lalu lintas jalan raya kita, Pontianak juga masih semrawutan. Contohnya saja: menabrak lampu merah yang agaknya bukan sesuatu yang haram dilakukan sebagai pengguna jalan raya, tapi sudah bagian yang lazim di kota ini. Pontianak juga harus aman dari praktik-praktik yang berbau KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) juga dalam pemilihan calon walikota Pontianak ke depan. Pemilihan walikota Pontianak 2008 harus aman dari bentuk-bentuk demikian karena pemilihan tersebut adalah tangga menuju pemerintah kota Pontianak yang bersih dan baik. Selanjutnya, Pontianak juga harus aman dari bentuk-bentuk konflik antar warga dan etnis mengingat betapa pluralnya warga Pontianak saat ini.

Kelima, mewujudkan Pontianak yang ramah. Inilah syarat terakhir mewujudkan Pontianak menjadi kota yang diidam-idamkan. Pontianak bukan saja mempunyai potensi sebagai kota perdagangan dan jasa, tapi Pontianak juga mempunyai potensi sebagai kota kunjungan wisata dalam dan luar negeri. Keberadaan tugu khatulistiwa dan peninggalan kerajaan Pontianak merupakan alasan itu. Karena itu, untuk mewujudkan Pontianak yang bukan saja sebagai kota perdagangan dan jasa, calon walikota Pontianak juga memiliki peran dalam menumbuhkan sikap ramah itu yang bisa teraktualisasikan secara nyata oleh warga kita.

Pada akhirnya, sudah saatnya Kota Pontianak jauh lebih baik dari sekarang ini. Mewujudkan Kota Pontianak sebagai Kota Bersinar adalah suatu cita-cita yang sederhana dan tentunya sulit dilakukan oleh calon pemimpin atau pemimpin yang biasa-biasa saja. Butuh kemampuan memimpin dan komunikasi yang baik dengan warganya, seperti pandangan Hannah Arendt (1970), bahwa kekuasaan merupakan media untuk menciptakan relasi yang baik di antara anggotanya, agar tercipta sebuah realitas kehidupan yang berkualitas. Sehingga, aksi yang dibutuhkan dalam kekuasaan adalah aksi yang harmonis. Suatu aksi yang komunikatif.

Mudah-mudahan calon walikota Pontianak atau yang terpilih ke depan adalah pasangan yang betul-betul memiliki komitmen untuk mewujudkan cita-cita Kota Pontianak sebagai Kota Bersinar dengan kepemimpinan yang baik, agamis dan bertanggung-jawab. Amin. **

*) Penulis adalah warga Kota Pontianak.

Mempertegas Perjuangan HMI

Oleh : Sugeng Rohadi

Tulisan ini apresiasi tanpa henti dari seorang kader terhadap masa depan organisasinya. Tentu saja hal ini berhubungan erat dengan dinamika sosial kemasyarakatan, baik secara menyeluruh kepada bangsa Indonesia maupun kota Pontianak yang sebentar lagi menyelenggarakan pilwako. Demokrasi ini diharapkan mampu memberi pelajaran berharga bagi perjalanan organisasi HMI, khususnya HMI Cabang Pontianak.

Riak-riak perubahan yang disuarakan oleh para tokoh pemuda, mahasiswa, masyarakat, orang tua, buruh, petani, pemulung, dan anggota dewan beberapa waktu belakangan ini adalah satu dari sekian banyak degradasi kepercayaan terhadap sebuah perubahan dinamika sosial yang dalam bahasa Robert Mirsel (2004) disebut sebagai destrukturisasi dinamika sosial kemasyarakatan.

Tentunya, dinamika perubahan sistematis yang relevan dengan enzimisasi moral manusia seiring dengan degradasi moral bangsa akan sangat berdampak pada proses penentuan arah dan tujuan yang jelas perjalanan sosial kemasyarakatan. Dengan demikian, sistematisasi ideologi perubahan menjadi sangat mudah untuk dimanipulasi atau dijadikan kedok dalam meniti realitas organisasi yang independen-fungsional.

Dunia politik yang semakin memanas dan meningkat suhu persaingan antar elite politik memicu adrenalin untuk selalu memanfaatkan momen terpenting ini. Berbagai cara coba dilakukan bukan saja dalam hal menarik minat simpatisan, tetapi juga pada proses mohon pengawalan baik secara individu ataupun kelompok. Pentas demokrasi tertinggi bangsa, juga telah melibatkan sebagian besar anak muda bangsa ini pada alur 'politik praktis' yang mengarah pada persaingan yang menghalalkan segala macam cara untuk menggapai kekuasaan. Dengan demikian orientasi logika sejak dini sudah dipacu dengan hal-hal praktis yang mengfakibatkan pada degradasi logika; dalam artian pemenuhan kemenangan dan usaha jangka pendek. Tetapi demikianlah dinamika kebangsaan yang harus kita hadapi secara bersama-sama.

Dalam dunia pendidikan juga telah terjadi hal yang sama. Kuota pemenuhan kebutuhan yang seharusnya meningkat setiap tahunnya penetapan anggaran, seakan hanya basa-basi sesaat yang secara identitas politik akan memunculkan 'manusia setengah dewa' dengan janji-janji yang entah kapan terlaksana. Belum lagi jika kita melihat bagian timur Indonesia yang masih sangat jauh dari pembangunan. Sedangkan kenyataannya, masyarakat timur Indonesia juga tidak kalah lebih baik hasil buminya - bukan saja dari sisi jumlah tetapi juga pada aspek potensi dan amunisi - yang terkadang kurang mendapat perhatian yang serius oleh pemerintah.

Ini adalah potret bangsa Indonesia yang secara minimalis membutuhkan penghargaan atas penyetaraan kesejahteraan sebagai anak bangsa. Dan tentu saja, tidak habis sampai disitu; berbagai masalah juga menimpa daerah (propinsi) dimanapun kita berada. Dan Kalimantan Barat adalah satu dari beberapa propinsi yang juga turut merasakan ketidakmerataan tersebut. Infrastruktur adalah salah satu dari sekian problem kemasyarakatan yang tampak jelas. Dengan kendala tersebut mengakibatkan program penyejahteraan masyarakat pada daerah-daerah terpencil maupun pinggiran kota kadang terkendala secara teknis. Hal semacam ini sudah tidak tabu lagi untuk dikonsumsi oleh masyarakat, hanya saja bagaimana kita kemudian menimbulkan obsesi positif atas kendala tersebut.

Demikian kompleknya masalah yang ada pada bangsa ini. Secara sederhana, problem seperti ini juga terkontekstualisi dalam dinamika dalam ruang lingkup kecil, yakni organisasi. Tak terkecuali Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai satu dari ribuan organisasi perkaderan yang ada dan diakui di Indonesia. Organisasi yang didirikan oleh Lapran fane pada 1947 ini termasuk organisasi kemahasiswaan tertua di Indonesia, yang secara historis telah banyak berkontribusi dalam percaturan sosial, agama, politik, dan budaya bangsa. Keberadaannya sampai dengan detik ini menunjukkan bahwa kualitas kader-kadernya dapat disejajarkan oleh kalangan elit politik bangsa. Dinamika yang dimainkan juga terbukti mumpuni guna mempertegas identitas organisasi, umat dan bangsa.

Bukan tanpa rintangan. Problem internal kerap kali memicu emosi pembubaran organisasi, mentalitas serta penentuan arah organisasi dalam dinamika sosial kemasyarakatan bangsa Indonesia. Permasalahan-permasalahan eksternal juga kerapkali memaksa HMI untuk turut berpikir cerdas, cepat dan tepat mengambil sikap. Orientasi seperti inilah yang kemudian diusahakan oleh segenap kalangan HMI untuk terus meningkatkan prestasi dan nilai jual sebagai fungsionaris umat dan bangsa.

HMI - mulai dari struktur Pengurus Besar (PB) sampai pada Pengurus Komisariat mengalami hal yang sama berkaitan dengan mentalitas anggota dan kader - yang sangat mempengaruhi segala bentuk aktivitas berorganisasi. Ghiroh dan komitmen adalah hal dasar yang akan mempertegas identitas siapa sebenarnya kita. Karena tanpa hal itu, maka kita akan menjadi pecundang-pecundang organisasi yang selalu berpikir negatif dan picik tentang realita yang menyelimuti perjuangan HMI.

Problem ini mengharuskan kita untuk kembali mempertegas arah organisasi agar kita tidak terkesan 'mengekor' atau 'plin-plan' dalam mengambil segala kebijakan-kebijakan serta berusaha sekuat tenaga untuk memunculkan inovasi-inovasi yang lebih kreatif dan efisien bagi pembentukan mentalitas anggota dan kader agar lebih militan dan solid. Membangun dan memantapkan kembali ghiroh perjuangan yang mulai runtuh dan membangun komitmen bersama bahwa HMI adalah bukan saja milik pribadi, tetapi milik kita bersama sebagai anggota, kader, dan masyarakat. Dengan demikian akan terbersit pemikiran bahwa; baiknya HMI hari ini adalah kebaikan kita bersama dan buruknya HMI hari ini adalah keburukan kita bersama secara pribadi maupun kelompok.

Re-orientasi ini yang diharapkan kemudian dapat tercover dan memberikan pemahaman yang bukan saja secara fisik tetapi tentu saja secara psikis. Harapan besar dengan terbentuknya mentalitas yang kokoh, ghiroh yang eksis, dan komitmen yang tinggi terhadap perbaikan dan perubahan akan menuntun segenap masyarakat Indonesia, khususnya seluruh kader HMI untuk menjawab berbagai masalah yang menimpa bangsa ini. Semoga. **

* Penulis adalah Ketua Bidang Pemberdayaan Umat HMI Cabang Pontianak; Pembelajar di KBI Pontianak

'Raport' Merah IPM Kalbar

Oleh : Rasiam

TREND konsep pembangunan ekonomi ala modern yang dikampanyekan oleh para ahli ekonomi kelas wahid masih berkutat pada 5 isu yang dimunculkan, diantaranya adalah peningkatan pendapatan, pemerataan distribusi pendapatan, human development indek, physical quality of life index, dan sustainability. Kelima isu ini sengaja digaungkan oleh para ekonom berkaitan dengan kondisi kebijakan ekonomi dunia yang semakin terpuruk. Lepas dari kepentingan khalayak ramai (masyarakat). Lagi pula teori ini muncul disebabkan karena volume problematika sosial semakin tidak terbendung. Anggap saja volume problematika sosial tersebut melampaui teori konvensional yang selama ini dijadikan kebijakan oleh negara sehingga memerlukan pembaharuan teori demi menjemput problematika yang setiap saat silih berganti.

Kelima isu yang diangkat diatas, terdapat dua isu yang kurang mendapatkan respon positif oleh pemegang kebijakan, diantaranya adalah pembangunan yang sustainable dan pemerataan pendapatan. Diantara keduanya yang paling sulit diterapkan oleh pemegang kebijakan adalah pemerataan pendapatan karena pemerataan pendapatan bersinggungan langsung dengan kepentingan dan kehidupan glamour pemegang kebijakan. Ada ungkapan 'kekuasaan adalah kesempatan', sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan distribusi hak masyarakat harus dipikir ratusan kali.

Tidak diterapkannya kelima teori di atas dalam konsep pembangunan mengakibatkan kemiskinan masih akrab dengan kehidupan masyarakat. Konteks di Kalimantan Barat misalnya, Indeks Pembangunan Manusia-nya (IPM) (mengacu pada data statistik Kalbar dalam angka tahun 2007), berada pada tingkat 28 nasional dengan jumlah penduduk 4.118.225 jiwa. Rangking lima dari bawah seluruh Indonesia. Merupakan berita yang tidak mengenakkan dimana Kalbar merupakan salah satu daerah yang kaya akan potensi alamnya. Ini masalah marwah daerah di mata nasional dan internasional.

Setelah ditelaah, ada beberapa faktor penyebabnya, diantaranya adalah pemerataan pendapatan masih jauh dari keadilan sesungguhnya. Faktor lain adalah penciptaan sumber daya manusia. Dari jumlah 4.118.225 jiwa penduduk Kalbar, jumlah masyarakat yang mengenyam pendidikan SD ke bawah berjumlah 60% dengan kategori, tidak tamat SD sekitar 174.307 jiwa, yang tidak tamat SD 391.271 jiwa dan tamat SD hanya berkisar 609.753 jiwa. Sementara dari sisi tenaga kerja, jumlah tenaga kerja di Kalimatan Barat sekitar 1.969.298 jiwa. Lebih dari 50 % total jumlah penduduk Kalimantan Barat.

Tentunya banyak pertanyaan, mengapa bisa terjadi seperti itu? Ada beberapa hal yang tidak sinergi antara program perencanaan dengan pelaksanaan di lapangan sehingga IPM Kalbar sangat memprihatinkan. Kemiskinan terus akrab dengan kehidupan masyarakat sehingga masyarkat lebih suka mempekerjakan anaknya dibandingkan pergi ke sekolah. Kemiskinan yang dijadikan biang kerok ternyata punya penyebabnya juga, salah satunya distribusi pendapatan yang tidak optimal.

Secara global faktor-faktor penyebab lain dari kemiskinan adalah gabungan antara faktor internal dan faktor eksternal. Faktor keterbatasan wawasan, kurangnya ketrampilan, kesehatan yang buruk, serta etos kerja yang rendah, merupakan faktor internal. Sementara kebijakan pembangunan yang keliru dan korupsi yang menyebabkan berkurangnya alokasi anggaran untuk suatu kegiatan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat miskin, merupakan faktor eksternal.

Faktor-faktor internal dapat dipicu pula oleh munculnya oleh faktor-faktor eksternal juga. Seperti kesehatan masyarakat yang buruk adalah pertanda rendahnya gizi masyarakat. Rendahnya gizi masyarakat adalah akibat dari rendahnya pendapatan dan terbatasnya sumber daya alam. Selanjutnya, rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) adalah akibat dari kurangnya pendidikan. Hal yang terakhir ini juga pada gilirannya merupakan akibat dari kurangnya pendapatan. Kurangnya pendapatan merupakan akibat langsung dari keterbatasan lapangan kerja. Dan seterusnya begitu, berputar-putar dalam proses saling terkait. Terkenal dengan nama lingkaran setan.

Mengurai berbagai faktor penyebab kemiskinan tidaklah mudah. Keterbatasan lapangan kerja, misalnya, seharusnya bisa diatasi dengan penciptaan lapangan kerja. Namun penciptaan lapangan kerja bukanlah hal yang begitu saja dapat dilakukan, misalnya dengan cara pemerintah melakukan pinjaman, baik pinjaman dalam negeri maupun luar negeri. Namun, cara ini tidaklah serta merta akan mampu menciptakan lapangan kerja jika aparat birokasi di tataran pelaksana tidak satu visi dengan kebijakan pemerintah pusat.

Upaya meningkatkan penguasaan iptek pada masyarakat bawah juga bukan hal yang mudah. Masalah utamanya adalah biaya pendidikan yang sangat mahal saat ini, banyak dari mereka yang berpotensi karena kemampuan otak yang dimiliki tidak mampu melanjutkan studinya di level yang lebih tinggi akibat faktor biaya tersebut. Tetapi bukan hanya itu, budaya menghargai simbol-simbol formal di masyarakat Indonesia merupakan hal yang sangat menghambat kemajuan penguasaan iptek.

Optimalkan Program Pengentasan Kemiskinan

Dalam upaya pengentasan masyarakat miskin, sejak orde baru hingga kini, berbagai program telah diluncurkan. Misalnya dikeluarkannya berbagai Inpres, seperti Inpres Kesehatan, Inpres Perhubungan, Inpres Pasar, Bangdes, dan Inpres Desa Tertinggal (IDT). Dapat dicatat juga program-program pemberdayaan lainnya seperti Program Pembinaan dan Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Program Tabungan dan Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat (Takesra-Kukesra), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), dan yang paling terbaru adalah subsidi langsung tunai (SLT) subsidi masyarakat miskin pasca kenaikan harga BBM. Sementara, hampir semua departemen mempunyai program penanggulangan kemiskinan, dan dana yang telah dikeluarkan pemerintah untuk pelaksanaan program-program tersebut telah mencapai puluhan trilyun rupiah.

Pertanyaannya kini adalah seberapa besar efek pengentasan dan pemberdayaan yang telah ditimbulkan berbagai program tersebut pada lapisan masyarakat miskin yang menjadi sasarannya? Jawabannya - jika tidak boleh dikatakan gagal - maka yang paling tepat adalah semua program belum mencapai sasaran. Paling tidak ada kesadaran kemanusiaan bagi pelaksana pembangunan Kalbar bahwa terjadinya penyunatan anggran di setiap pos-pos proyek merupakan kejahatan yang tidak bisa ditolerir sampai kapan pun dan merupakan penyebab terpuruknya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kalbar. **

* Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta, Pengurus Besar (PB) HMI.

Mengenang Geertz

Oleh: Syamsul Kurniawan MR, S.Th.I

Pada 31 Oktober 2006, Clifford Geertz meninggal dunia dalam usia 80 tahun. Menurut pengakuannya sendiri, dari usianya yang panjang itu, 10 tahun lebih dihabiskannya dalam penelitian lapangan (di Jawa, Bali dan Maroko) dan 30 tahun digunakannya untuk menulis tentang hasil-hasil penelitiannya, dengan tujuan menyampaikan pesan studi kebudayaan kepada orang lain. Geertz belajar antropologi di Universitas Harvard, pada Departement of Social Relations, yang didirikan oleh Clyde Kluckhon, bersama beberapa tokoh lainnya, menulis disertasinya dibawah bimbingan Cora DuBuois, berdasarkan penelitian yang beliau lakukan di Jawa pada tahun 1952 dan menyelesaikan S-3 nya pada 1956 dengan disertasi yang diterbitkan dalam sebuah buku berjudul The Religion of Java.

Geertz semakin terkenal dan popular di Indonesia karena penelitian yang dilakukannya di Jawa dan Bali, menghasilkan beberapa buku penting tentang Indonesia. Pokok kajian meliputi agama Jawa, politik aliran (abangan, santri, priyayi), watak perkotaan di Jawa sebagai hollow town dan bukannya solid town, perbandingan Indonesia dan Islam Maroko (antara the scope religion dan the force religion), perbandingan antara etos dan praktik perdagangan di Jawa dan Bali (antara individualisme pasar dan rasionalisme ekonomi di pihak lain), politik klasik di Bali yang dirumuskannya sebagai theatre state serta apa yang ditinggalkan oleh Hinduisme dalam praktik keagamaan di Jawa dan Bali. Bahasan karya-karya Geertz itulah yang menurut penulis membuat beliau penting di Indonesia. Dan yang khas dari pandangan-pandangan Geertz tentang hal ini, agaknya adalah soal pandangan hidup dan etos.

Agama memuat ide dan kepercayaan-kepercayaan tentang dunia dan satu kecenderungan untuk merasakan dan berbuat sesuai dengan ide dan kepercayaan. Menurut Geertz, pandangan dan etos adalah saling terkait dan saling mendukung. Etos disebutnya sebagai aturan-aturan, nilai, kesadaran, estetika, sifat dan emosi-emosi. Pengalaman dan ekspresi keagamaan masyarakat dengan demikian amat erat kaitannya dengan kontekstualitas dan di mana pemahaman agama itu dibangun.

Dalam bukunya, Islam Observed, Gertz menjelaskan secara panjang lebar tentang etos, perbedaan nilai dan perasaan-perasaan yang muncul dalam kedua kebudayaan yang berbeda, yaitu masyarakat Maroko; yang sangat aktif dan agresif dengan masyarakat Indonesia yang pasif dan dinamis. Tapi sayangnya, dari pengamatan-pengamatan Geertz, kita tidak menemukan uraian Geertz terhadap pandangan hidup Islam. Seperti keyakinan terhadap Allah, kelima rukun Islam dan doktrin tentang kiamat. Ini pernah dikritik oleh Hendry Murson Jr. Misalnya dalam tulisannya yang lain, Geertz mendiskusikan perayaan Rangda dan Barong di Bali. Pada saat itu, Geertz dengan panjang lebar mendiskusikan tentang etos masyarakat Bali, sebuah kombinasi antara perasaan yang dipenuhi oleh horor dan kegembiraan, penuh rasa takut sekaligus komedi yang menggelikan selama berlangsungnya perasaan ini.

Walaupun demikian Geertz sudah berperan besar dalam mengisi teori-teori antropologi. Geertz mempunyai pandangan bahwa kumpulan pemikiran subjektif dari orang-orang dapat dibangun untuk memperoleh keseluruhan pemahaman pada sebuah objek yang sedang diteliti, termasuk agama. Geertz berkeyakinan pengalaman atau ekspresi keagamaan sejatinya muncul dari kemampuan seseorang dalam mengkonstruk ekspresi mereka, yang disebut Geertz sebagai sistem simbol.

Seperti yang diuraikan Marilyn R. Waldman dalam Primitive Mind/ Modern Mind: New Approaches to an Old Problem Applied to Islam (1985) bahwa pemikiran Geertz agaknya memberikan revisi dengan membuat kerangka konseptual yang dapat diterapkan pada dinamika situasi kultur atau budaya manapun dan yang tidak mengimplikasikan susunan hirarki evolusioner dari mode of thought yang berbeda-beda. Kerangka konseptual ini melibatkan pengertian agama yang terfokus pada sistim simbol yang dipakai untuk memantapkan suasana hati dan motivasi yang kuat, jangka panjang dan meresap pada diri manusia beragama dengan memformulasikan konsep-konsep tatanan eksistensi secara menyeluruh dan membungkus konsepsi-konsepsi ini dengan aura faktualitas sehingga suasana jiwa dan motivasi secara unik tampak realistik.

Seperangkat simbol keagamaan ini tidak hanya menyediakan 'model untuk' (model for) dunia, yaitu petunjuk untuk hidup di dalamnya, tetapi juga 'model dari' (model of) dunia, suatu penjelasan tentang tatanan yang tampak berurat-berakar dalam struktur alam semesta. Jadi bagi Geertz, agama mengekspresikan dan membentuk dunia di mana manusia hidup di tempat yang berbeda-beda, dengan cara yang fundamental dan ultim. Memakai pengertian agama semacam ini, seorang pengamat dapat mendekati situasi apapun dalam bahasanya sendiri. Perubahan dalam mode of thought keagamaan, yang dikedepankan Geertz menurut Marilyn dapat dijelaskan oleh semua perubahan kultur dan material yang lebih luas sehingga dapat mempengaruhi kontruksi sosial sistim simbol.

Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, melalui pemikiran Geertz ini, dengan demikian juga bagian dari sistim simbol. Maksudnya, dalam usaha menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di masa hidupnya, Nabi tentu banyak menghadapi keterbatasan. Nabi Muhammad SAW memang berhasil menerjemahkan cita-cita sosial dan spiritual Islam di masa hidupnya, tapi Islam sebagaimana diwujudkan di sana adalah Islam historis, partikular dan kontekstual. Kebutuhan akan Islam saat ini tentu saja berbeda dengan kebutuhan akan Islam pada saat agama ini muncul.

Umat Islam harus berani berijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. Islam di tempat kelahirannya Arab, adalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal di muka bumi. Dengan demikian pula, ada kemungkinan menerjemahkan Islam dengan cara yang lain, dalam konteks yang lain pula. Islam di tempat kelahirannya Arab adalah one among others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka bumi. Bukankah demikian? *

*) Penulis Tinggal di Pontianak, tengah menempuh studi S-2 di Program Magister (S2) Pendidikan Islam di Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Jumat, 04 Juli 2008

APA YANG KITA LAKUKAN

Rudy Handoko

Suatu hari, HMI Cabang Pontianak mendapat kiriman dari PB HMI dalam hal ini Bidang PA. Isi kiriman itu berupa satu bundel proposal yang berisi tentang konsepsi strategi rekrutmen anggota dan pembinaan anggota.
Setelah membaca itu, saudara Ridwansyah lantas berkata padaku, wak ini bagus ni tawaran konsep dari PB ni, boleh nanti kite diskusikan, sembari ia memberikan konsepsi itu kepada saya.
Saya hanya manggut-manggut, sambil membolak-balik dan coba memahami isi atau content dari konsepsi itu.

Saya hanya termenung sambil terus mencoba memahami content itu yang simpelnya memuat tentang pola-pola atau metode-metode yang bisa dikatakan aplikatif untuk diterapkan dalam rangka rekrutmen dan pembinaan anggota. Dapat saya pahami bahwa konsepsi itu memuat tentang gimana sih strategi memperkenalkan HMI sejak pra perguruan tinggi, semasa proses seleksi penerimaan mahasiswa baru, penyambutan mahasiswa baru, masa-masa orientasi atau sebutlah opspek, rekrutmen, training sampai follow up pasca training.
Diskusi yang ditunggu-tunggu untuk membahas konsepsi itu ternyata tak kunjung hadir juga. Karena itu, saya sebagai anggota uzur di Himpunan ini mencoba urun rembug, mencoba yah... katakanlah berbagi telaahan.

***
Contentnya bagus. Setelah saya pikir-pikir n saya kenang kembali, ternyata apa yang ada dalam konsepsi ternyata juga bukan barang baru. Sering kita bicarakan, sering kita diskusikan, malah sudah ada beberapa metode praktis yang kita lakukan.
Saya inventarisir dulu.
Ingat saya, pada masa Kanda Kasiono, pernah mereka melakukan roadshow ke sekolah-sekolah dalam bentuk pelatihan siswa Islam atau apalah namanya. Nun..jauh disana di Ujung Kapuas, Kabupaten Kapuas Hulu. Ini secara tidak langsung telah memperkenalkan HMI kepada calon kader pada masa pra perguruan tinggi. Hasilnya, yah... itu, ada Amru, ada Dahlia, ada Dayang Asiah, yang ketika mahasiswa langsung cari HMI. Contoh yang nyata lagi adalah Wandi, yang berkenalan dengan HMI sejak ngumpul di BEM Untan, posko tsunami dan sebagainya.
Kemudian HMI Kom.KIP, dulu sekali, pernah juga mengadakan latihan dasar siswa Islam atau apapun namanya, sebagai wadah yang jika di seriusi bisa menjadi wadah sosialisasi HMI. Trus, pada waktu kegiatan hari lingkungan hidup tahun lalu, bidang PPD Cabang juga berhasil mendekati kawan-kawan SMU.
Trus...untuk masa penyambutan mahasiswa baru, persoalan perkenalan simbol atau apapun dia seperti yang ditawarkan dalam konsep bidang PA PB HMI. Sudah beberapa tahun terakhir, kawan-kawan di STAIN di susul pula di Untan telah berupaya melakukan itu baik melalui baliho, pamflet, leaflet atau pembagian profil. Jika untuk pemakaian simbol oleh para kader ketika mereka berada di kampus, juga telah dilakukan seperti pembuatan slayer, baju HMI, bikin pin, bikin kalender dan sebagainya oleh kawan-kawan Kom. FISIP, Kom.Syariah, Kom. Tarbiyah, Kom. Ekonomi dan Kom.KIP.
Kemudian untuk masa-masa orientasi mahasiswa baru, untuk di STAIN, saya pikir sudah lima tahun terakhir di dominasi oleh kawan-kawan. Di FISIP kawan-kawan komisariat juga sudah bisa bermain. Apalagi kasus pengambilan almamater di Kopma Untan, yang terkadang digunakan kawan-kawan untuk brainstoarming mahasiswa baru. Seleksi prestasi dan calon kader berkualitas, seingat saya BEM STAIN yang di dominasi HMI juga sudah melakukan melalui pemilahan data-data formulir mahasiswa baru.
Mungkin ada beberapa hal yang belum kita lakukan, misalkan inisiasi membetuk organ sayap seperti Himpunan Siswa Islam atau apalah namanya. Namun, saya dulu juga pernah mendiskusikan persoalan penetrasi ke sekolah-sekolah ini, ketika berbincang tentang fenomena kawan-kawan KAMMI dengan Rohisnya, atau dengan Kesatuan Aksi Pelajar Muslim Indonesia (KAPMI)-nya dibeberapa daerah.
Artinya apa yang ditawarkan dalam strategi bidang PA tersebut, senyatanya telah ada dibenak dan dalam beberapa kasus telah dilakukan. Problemnya memang, lagi-lagi harus diakui, kita masih lemah pada persoalan sistematisasi kegiatan yang rapi, kejelasan tahapan-tahapan dan kontinuitas pembinaan-follow upnya, serta strategi pengembangan dan pemberdayaan pasca kegiatan seperti pengembangan jejaring yang massif baik pada masa pra perguruan tinggi maupun ketika sudah menjadi kader.
Dan tak lupa juga yang sangat urgen adalah… ada tidak semangat dan energi untuk melakukan itu. Jangan kan untuk melakukan proses di eksternal, terkadang kelemahan kita untuk konsolidasi internal saja masih keteteran dan menghabiskan waktu. Belum lagi terjebaknya pada aktivisme organisasi yang membuat kreatifitas menjadi tumpul, sehingga banyak momen-momen terlewatkan. Dan kalaupun ada ide, terkadang hanya sebatas pewacanaan yang tidak berbanding lurus dengan implementasi, habis-habis di forum diskusi, dikaji mendalam, dalam banget sampai tak ketemu ujung pangkal dan buntu.
Ada masalah-masalah yang memang benar harus dianalisis mendalam, namun banyak juga hal-hal praktis dan sederhana namun berdampak ruar biasa yang mesti praktikal dilakukan. Jika ada ungkapan berfikir besar, berbuat besar dan ke depan menjadi besar itu betul. Tapi, ketika kita hanya terpaku pada agenda besar apalagi rutinitas, maunya hanya kegiatan besar-besar saja, kalau tak besar tak mau, maka ngukur baju donk. Sehingga pola pikirnya juga harus ada penyeimbangan: berfikir besar, melakukan hal-hal yang sederhana dan kecil tapi kita mampu dan kerjanya riil, kemudian hasil dan dampaknya besar.

Menelaah Problema Anak, Antara Perlindungan Anak dan Realitas Sosial

Yurilma Dewi,

MASALAH seputar kehidupan anak telah banyak menjadi perhatian kita bersama. Sebagai akibat dari kegagalan pranata sistem sosial yang ada di negeri ini, sehingga banyak sekali terjadi kasus-kasus pelanggaran terhadap hak-hak anak. Untuk itu dalam rangka membangun kondisi ideal yang diperlukan untuk melindungi hak-hak anak yang belum mampu diwujudkan oleh negara, maka diskusi-diskusi dan aksi sosial untuk mendorong perubahan menuju perlindungan hak-hak anak harus terus dibicarakan dalam ruang publik. Sehingga muncul kesamaan persepsi, kesepahaman memandang pentingnya sosialisasi dan advokasi tentang perlindungan terhadap anak-anak.

Selama ini, dari diskusi-diskusi yang dibicarakan baik oleh institusi Negara, LSM dan institusi-institusi lain yang peduli dengan nasib anak, sebenarnya negeri ini telah mempunyai regulasi yang mengatur tentang perlindungan terhadap hak-hak anak seperti UU No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM khususnya Bab 3 Bagian ke-10 tentang Hak Anak, dan UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Namun itu belumlah cukup menjadi regulasi yang komprehensif apalagi tidak ditunjang dengan implementasi yang serius untuk melindungi anak.

Perlu tindakan bersama yang massif antar elemen masyarakat yang peduli untuk melindungi hak-hak anak. Dalam realitas sosial, terjadinya kasus-kasus yang melanggar hak-hak anak, mendiskreditkan dan menindasnya baik akibat rendahnya pendidikan, faktor keluarga, tidak adanya perlindungan, persoalan lingkungan sekitar dan keterhimpitan secara sosial-ekonomi lainnya seperti pekerja anak, penjualan anak, kekerasan anak baik dalam rumah tangga maupun di luar, pelanggaran dan kekerasan seksual serta eksploitasi seksual terhadap anak dan sebagainya, yang semuanya merupakan fenomena gunung es.

Hadirnya UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah sebagai bentuk regulasi yang lahir akibat semakin derasnya masalah-masalah sosial tersebut terjadi, yang akhirnya membuat elemen-elemen masyarakat yang peduli terhadap problem ini menjadi resah sehingga mendorong Legislatif di tingkat nasional untuk serius memperhatikan masalah-masalah menyangkut perlindungan anak-anak Indonesia ini.

Adanya UU Perlindungan Anak akan memberikan instrumen yang kuat untuk mengimplementasikan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi di Indonesia. UU ini pada dasarnya dilandasi oleh empat prinsip utama dari KHA tersebut yakni non-diskriminasi, menjadikan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup dan berkembang serta berpartisipasi. UU ini juga melingkupi aspek-aspek tentang hak anak seperti hak atas identitas, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan dan hak atas perlindungan. Untuk perlindungan, secara esensial perlindungan ini meliputi perlindungan terhadap kekerasan, eksploitasi, diskriminasi dan penelantaran. Sanksi tegas yang ada dalam UU inipun akan membuat UU ini menjadi payung hukum yang bermanfaat bagi perlindungan anak. Jika kita fokuskan pada problema seperti pekerja anak, anak terlantar, anak jalanan dan sebagainya, ditinjau dari perspektif perlindungan anak di tengah realitas sosial, maka banyak persoalan yang terjadi, misalnya tentang anak yang di-eksploitasi oleh orang tuanya untuk bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, anak yang bekerja di jermal, anak yang bekerja di sektor pekerjaan yang berbahaya, upah yang minimal, anak yang mengamen-mengemis, anak yang menjadi gelandangan dan sebagainya. Untuk konteks pekerja anak, maka sebenarnya, anak yang boleh bekerja jika dilihat dari UU ketenagakerjaan adalah anak-anak yang usia diatas 13 tahun, itupun mesti memenuhi syarat-syarat seperti gaji yang sepadan, hanya boleh 3 jam dalam sehari, bukan bekerja pada sektor-sektor pekerjaan yang berbahaya dan masih banyak lagi.

Untuk konteks anak jalanan dan anak yang menggelandang menjadi pengamen dan pengemis, maka konstitusi kita mengatur bagaimana peran terutama pemerintah untuk mengayomi dan memelihara mereka. Bukan dipelihara sekedar untuk dijadikan obyek program agar mendapat proyek dari program tersebut. Terutama untuk program-program seperti itu, mesti diperjelas standar programnya dan transparansi anggarannya.

Untuk Kalbar, masalah anak juga sedemikian rumit, banyak anak yang putus sekolah, anak yang menjadi gelandangan dan pengemis, anak-anak yang menjadi korban trafficking, dan kalau kita lihat di media massa, hampir tiap hari selalu saja ada anak yang menjadi korban kekerasan, eksploitasi seksual dan sebagainya. Untuk menangani ini, perlu partisipasi aktif semua pihak, pemerintah dan masyarakat.

Mantan Pengurus Korps HMI Wati (KOHATI) Cabang Pontianak

Revitalisasi Reformasi Birokrasi

Oleh Dedi Suparjo *

KESULITAN yang paling besar untuk mempercepat solusi permasalahan Bangsa Indonesia disebabkan oleh minimnya komitmen politik dan kompetensi untuk berupaya merevitalisasi birokrasi.
Bahkan birokrasi masih belum dianggap sebagai faktor kunci penggerak pembangunan bangsa dewasa ini. Jika persoalan ini terus terjadi, kita sebagai dari elemen bangsa jangan terlalu berharap akan segera mengentaskan krisis berkepanjangan yang terjadi.
Tentu kita patut berbangga dengan proyek percontohan revitalisasi reformasi remunerasi yang dilakukan olen menteri keuangan dengan berbagai catatan kritisnya. Jika proyek ini terus dilaksanakan menurut hemat penulis akan menjadi sebuah langkah awal untuk memulai reformasi birokrasi dalam skala dan agenda yang lebih luas kedepan.

Menjadi sebuah pertanyaan bagi kita semua selaku bagian dari elemn bangsa mengapa sangat sulit untuk melakukan revitalisasi reformasi dalam birokrasi di negeri kita ini? Politik birokrasi seperti apa yang menghambat dan mendorongnya?
Penulis berangkat dari persfektif sejarah (jas merah) bangsa, birokrasi di Indonesia adalah warisan kolonial yang sarat akan kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulisasi birokrasi yang demikian diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa dari pada pemenuhan hak sipil warga negara. Dalam praktiknya, kita masih banyak melihat struktur dan proses yang dibangun merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugas untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat.
Misi utama birokrasi dengan menganut paham kolonial itu adalah untuk tetap mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perilaku individu yang sering didengar dalam kehidupan berbangsa kita adalah 'kalau sesuatu bisa dibuat sulit, mengapa harus dimudahkan serta diringankan'. Demikian pula obsesi para birokrat dan politisi kita yang menjadikan birokrasi sebagai lahan pemenuhan hasrat dan kekuasaan (power culture).
Dengan kata lain, birokrasi adalah mesin pemerintahan yang sangat mudah digunakan untuk mengontrol perilaku masyarakat. Sekaligus memanfatkannya untuk mempertahankan kekuasaan. Dalam kultur birokrasi yang demikian, maka korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah hal yang sudah biasa. Sejarah mencatat setelah reformasi 1998, kooptasi itu tidak berhenti, tetapi mengalami metamorfosis yang dicirikan dengan multikooptasi oleh beragam partai politik. Keadaan ini membentuk tidak saja sikap perilaku, nilai, kultur para pejabat birokrasi dan sistem kerja, tetapi juga cara pandang dan budaya interaksi rakyat terhadap birokrasi. Bahkan jika kita benar-benar memperhatikan dalam praktik pemilihan langsung kepala daerah, baik tingkat propinsi maupun kabupaten kota banyak menyebabkan instabilitas dalam birokrasi di negara kita. Promosi jabatan dipenuhi dengan kepentingan dan afiliasi politik birokrat terhadap kepala daerah.
Oleh karena itu, reformasi birokrasi tidak mudah untuk dilakukan. Politik reformasi birokrasi adalah hal yang sangat kompleks karena melibatkan kepentingan politik dalam bingkai birokrasi.
Padahal dalam berbagai praktik dan teori, reformasi birokrasi adalah proses politik yang membutuhkan dukungan politik dari para pejabat politik yang dipilih atau terpilih (elected official).
Menurut hemat penulis, amat mustahil melakukan reformasi birokrasi tanpa adanya dukungan dari komponen para elit politik kita. Selama politisi memiliki kepentingan untuk mengooptasi dan memanfaatkan birokrasi, selama itu pula kesulitan untuk revitalisasi reformasi birokrasi. Karena politik reformasi birokrasi adalah kepemimpinan politik yang kuat terhadap visi, komitmen, dan kompetensi untuk menjadikan birokrasi yang baik, bersih dan berwibawa.
Kepemimpinan politik yang kuat merupakan faktor terpenting keberhasilan dalam revitalisasi birokrasi di negara kita. Kesadaran akan kepentingan reformasi birokrasi di negara kita dalam proses pemerintahan dan pembangunan harus berasal dari presiden dan pejabat politik, bukan hanya dari kalangan birokrat sendiri.
Secara nasional, pertanyaan yang sangat mendasar bagi kita semua adalah; apakah pemerintah dan DPR mau berkomitmen memberikan anggaran bagi reformasi birokrasi. Sulit untuk kita jawab, karena selain dampaknya baru bisa dirasakan dalam jangka waktu yang panjang, komitmen untuk pembiayaan reformasi birokrasi akan mengurangi benifit simbiosis mutualisme antara politik dan birokrasi yang ada. Apa yang bisa dilakukan jika kondisinya demikian? Tidak ada cara lain, presiden, anggota DPR menteri, gubernur, bupati/wali kota dan anggota DPRD harus menumbuhkembangkan kesadaran dan sensitivitas tentang pentingnya agenda nasional reformasi birokrasi. Harus bisa memberikan penguatan terhadap sistem yang ada untuk menjadikan reformasi birokrasi sebagai sebuah gerakan secara nasional.
Pertanyaan berikutnya perlu penulis sampaikan adalah, strategi apa yang harus segera dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk melaksanakan reformasi birokrasi dalam sistem pemerintahannya. Penulis menyampaikan apa yang pernah dilakukan oleh Departemen Keuangan dengan reformasi remunirasinya harus menjadi pemicu untuk terus menggulirkan reformasi birokrasi di setiap pemerintahan kita. Hal serupa seharusnya dilakukan oleh kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara agar terjadi revitalisai peran dan fungsi sebagai motor penggerak, reformasi birokrasi untuk menggapai pemerintahan yang baik dan bersih (Good Governance).
Dalam pandangan penulis, kementrian ini harus bisa berperan secara strategis dalam menyusun desain dan agenda reformasi birokrasi secara nasional serta memiliki otoritas untuk mengimplementasikan agenda reformasi di tingkat pemerintahan pusat ataupun di pemerintahan daerah. Agenda yang memang harus menjadi prioritas dalam mereformasi birokrasi adalah menetapkan RUU Administrasi Pemerintahan menjadi undang-undang (UU) dan segera menyelesaikan reformasi birokrasi kepegawaian melalui revisi radikal terhadap UU pokok kepegawaian negara (UU No. 43/1999), sebagai pijakan dalam upaya untuk mereformasi birokrasi.
Selain apa yang telah penulis sampaikan diatas, persoalan yang paling medasar adalah cara perekrutan dan penempatan, penggajian dan penerimaan PNS harus berdasarkan sistem merit yang mengutamakan kinerja serta profesionalisme. Upaya merevitalisasi kepegawaian ini sangat dibutuhkan guna mengurangi kooptasi birokrasi oleh partai politik dan menciptakan birokrasi yang bersih dan berwibawa.
Menurut hemat penulis, semakin lama kita melupakan agenda besar revitalisasi reformasi birokrasi maka semakin lama pula keterpurukan yang dialami oleh bangsa ini terus terjadi di setiap sistem pemerintahan yang ada. *

* Penulis, Pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Pontianak Bidang Perguruan Tinggi dan Kepemudaan.

Kilas Balik “Kebangkitan Nasional Kita”

Oleh : Dedi Suparjo

BAPAK Kita Bung Karno Sang Proklamator pernah berkata jangan pernah melupakan “Sejarah” (jas merah), karena sejarah masa lalu ada kaitannya dengan masa sekarang dan yang akan datang, (Dahlan Zailani, 2000). Kebangkitan nasional merupakan tonggak pertama pergerakan rakyat yang mengantar ke pintu gerbang kemerdekaan. Kohesi sosial yang semula berdasarkan unsur-unsur primordial (suku, bahasa, tradisi, agama) menjadi perasaan senasib dan sepenangungan sebagai elemen dari umat dan bangsa.

Pada massa pergerakan nasional yang dimulai pada 1908-2008, para pemuda terpelajar (Mahasiswa) tersebut, mengawalinya dengan pendekatan organisatoris, ditandai dengan hadirnya lembaga kepemudaan yang kita kenal dengan sebutan “Boedi Oetomo” yang dipelopori oleh para pemuda terpelajar Sekolah Kedokteran Hindia-Belanda (STOVIA), antara lain dr. Soetomo dan dr. Wahidin Sudirohusodo. Momentum tersebut merupakan awal lahirnya kesadaran akan berbangsa (identitas kebangsaan), yang bermakna sangat penting bagi penemuan dan kebutuhan akan “self identity” suatu “nation” yang merdeka dan berdaulat.

Rakyat Indonesia memimpikan sebuah masa depan bersama untuk mengatur diri sendiri sebagai Negara merdeka. Beberapa abad kemudian dibutuhkan nasionalisme yang sama kuatnya ketika melawan penjajah (pemerintah kolonial) bukan berarti merubah makna yang sebenarnya dari rasa Nasionalisme kita itu.

Semua itu, karena nasionalisme baru dipahami sebatas semangat kebangsaan dan geopolitik. Kita belum menjadikan makna sebenarnya dari semangat nasionalisme dan belum menjadikan nasionalisme dalam arti sebagai bagian dari elemen bangsa, untuk termotivasi membangun negeri dan merebut peluang pendidikan, ekonomi, sosial, budaya maupun politik dengan tetap mempertahankan integritas atu ciri khas kebangsaan kita. Ada yang salah dengan perjalanan nasionalisme kita (mungkin benar juga adanya). Rasa senasib-sepenanggungan seperti semasa pergerakan dan kemerdekaan kian menipis. Persatuan nasional yang dibangun dengan susah payah (baca sejarah) dalam perkembangannya menunjukkan tanda-tanda kemunduran. Tanpa adanya revitalisasi nasionalisme sulit dibayangkan seperti apa masa depan Indonesia. Bisa jadi ibarat tubuh tanpa adanya roh di dalamnya (mudah-mudahan tidak benar adanya).

Grametika berbangsa kita akan semakin menurun dalam meningkatkan semangat serta ghirah kebangsaan. Sesekali kita bernostalgia dengan romantisme kejayaan bangsa masa lalu, namun realitas menunjukkan pasca beberapa abad sudah kebangkitan nasional dan kemerdekaan, kita lebih dipermainkan kapitalisme global ketimbang menjadi salah satu bagian dari globalisasi itu sendiri.

Ditengah proses involusi itu muncul nasionalisme dadakan yang janggal (freak Nationalism), yang justru menggerogoti kesatuan bangsa. Nasionalisme kedaerahan, Nasionalisme kesukuan, Nasionalisme religius, dan Nasionalisasi. Warisan nasionalisme para pendiri republik tiba-tiba menjadi asing di negeri sendiri. Dan, elite politik menikmati keter-kotak-kan rakyat demi melanggengkan administrasi pemerintahan yang korup serta memuluskan target-targetnya.

Budi Oetomo terbentuk karena kesadaran akan warisan kebudayaan dan dorongan modernisasi yang senantisa berubah begitu cepat. Para pemimpin pergerakan percaya, hanya dengan menyebarluaskan pendidikan, rakyat akan tercerahkan dan terbebasakan dari belenggu serta keterbelakangan. Pemerintah kolonial pada masa itu diminta untuk mendirikan sekolah dengan sistem beasiswa bagi pemuda-pemudi pribumi berbakat. Kebangkitan kita sebagai bangsa bukan lewat politik bambu runcing, kekuatan massa, atau agama semata, tetapi mencakup keseluruhannya dan lebih indentik kepada politik kebudayaan secara kolektip.

Disitulah kita gagal sebagai bagian dari elemen bangsa, pendidikan bangsa diabaikan. Rakyat tetap lemah dan tidak terdidik. Para elit politik setengah hati untuk mencerdaskan rakyat. Ironis sudah di Republik merdeka, banyak pemuda-pemudi miskin tidak mampu untuk meneruskan pendidikan tinggi karena swastanisasi Universitas Negeri semakin hari dan tahun segala kebutuhan yang ada semakin melonjak naik ke permukaan, yang jelas rakyat miskin akan tetap miskin. Ukuran makna kebangkitan nasional yang sebenarnya adalah sejauh mana rakyat bisa disejahtrakan yang paling utama adalah mengupayakan pendidikan yang memadai bagi rakyat.

Pasca reformasi yang dimulai Mei 1998 genap sepuluh tahun sudah pada Mei 2008, wajah demokrasi kita semakin liar di luar koridor Negara hukum, banyak kasus-kasus yang sudah semenjak lama baru saja terungkap salah satu contoh nyata dengan terjadinya penyelundupan kayu yang terjadi secara besar-besaran di beberapa wilayah di Negara kita (lihat media cetak dan elektronik), kekuatan-kekuatan massa mengorganisasi diri dan main hakim sendiri. Namun, sebagai bangsa, kita tetap lemah, belum mampu berdiri di atas kaki sendiri dan menentukan nasib sendiri, tidak bebas menentukan kebijakan politik yang strategis. Ketergantungan ekonomi terhadap Negara-negara maju masih cukup besar akankah kita tetap seperti ini?

Syarat menjadi bangsa yang mandiri adalah sejauh mana ukuran kebangkitan Iptek dari elemen Negara tersebut. Untuk itu, politik kebudayaan harus jelas agar kita agresif merebut dan menguasai tekhnologi modern. Aneka kecendrungan primordial harus menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman (modern). Maka dari itu semua, sebenarnya yang di cita-citakan para pendiri Republik ini, sejauh mana para generasi sekarang bisa memberikan yang terbaik bagi ummat dan bangsanya, sehingga makna nasionalisme akan memberikan ghiroh dalam memajukan bangsa dan ummat kita, serta sejauh mana kita mampu untuk melahirkan anak bangsa yang pandai dan mampu mengelola potensi alam, kekayaan, dan sumber daya manusia, untuk sebesar-besarnya demi kesejahteraan rakyat. Kini kemajuan bangsa, ditentukan oleh kemampuan kita menjalin kerja sama dengan Negara maju. Tidak berarti harus menggadaikan kekayaan dan kedaulatan Negeri sendiri.

Ketika pembangunan manusia dikorbankan, kekayaan negeri hanya dinikmati segelintir orang. Sebagian besar rakyat tetap miskin. Alih-alih keadilan sosial, akan tercipta kesenjangan sosial yang tidak kita inginkan. Pembangunan harus bertumpu pada penghargaan atas manusia dan kemanusiaan karena Negara memang harus menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar manusia itu sendiri tampa menghilangkan makna sesungguhnya rasa nasionalisme kita yang telah dirintis oleh para pendahulu (Era Kebangkitan Nasional).

Rasa Nasionalisme dalam kilas balik kebangkitan nasional kita yang sebenarnya, penulis sampaikan diatas, menggambarkan bahwa setiap babak sejarah (Jas Merah), para pemuda Indonesia yang terhimpun dalam berbagai lembaga kepemudaan memiliki eksistensi dan peran yang sangat strategis dalam upayanya “merubah sejarah” untuk memberikan kontribusi yang nyata bagi perkembangan bangsa dari massa pergerakan nasional 1908-2008 hingga era reformasi yang kita mulai pada 1998-2008 Sepuluh tahun sudah mudah-mudahan dapat memberikan perubahan yang berarti bagi umat dan bangsa kita . Semoga…

* Penulis Adalah Pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Pontianak; Ketua Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan dan Kepemudaan.

Kamis, 03 Juli 2008

BHP, Komersialisasi Pendidikan?

Isfiansyah

Pembukaan UUD 1945, bahwa pendidikan itu merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap warga dan tugas Negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam UU No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (UU Sidisdiknas) mengamanatkan bahwa perguruan tinggi harus otonom, yang berarti mampu mengelola secara mandiri lembaganya serta dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.

Sebuah undang-undang yang mengatur hak dan kewajiban bagi warga Negara haruslah jelas, sehingga jelas juga implementasinya dan tak multi tafsir. BHP yang merupakan peluncuran produk baru pemerintah dalam dunia pendidikan yang notebene merupakan badan hukum bagi penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal yang dianggap berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik, berprinsip nirlaba, dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Apabila berbicara persoalan pendidikan, Negara punya tanggung jawab yang jelas dalam dunia pendidikan.

BHP merupakan suatu kebijakan yang terlalu dipaksakan, dengan kata lain BHP telah mengabaikan Pancasila sebagai nilai luhur sebagai dasar Negara. Kenapa demikian ? BHP dapat dikatakan memiliki muatan privatisasi dan liberalisasi pendidikan. Banyak agenda yang bersifat komersialisasi dan swastanisasi. Apabila kita kaji lebih mendalam, BHP tidak sesuai dengan konsep Hak Asasi Manusia (HAM) karena untuk memberikan pendidikan kepada warga Negara merupakan kewajiban Negara.
Yang patut dipertanyakan dimana sebenarnya fungsi dan peran pemerintah terhadap dunia pendidikan kalau tanggung jawab Negara tersebut diserahkan kepada swastanisasi. Dengan satu cara dengan adanya usaha sendiri guna mencari dana, berarti Negara melepaskan tanggung jawab terhadap dunia pendidikan.
UUD 1945 serta UU Sisdiknas menjamin alokasi 20% dari APBN dan APBD apakah sudah benar-benar terealisasikan dengan baik dan benar? Dan BHP apakah layak untuk diterapkan di dunia pendidikan kita pada saat ini? Terkait dengan problem tersebut, marilah kita sebagai masyarakat dan mahasiswa tidak terlalu lugu memandang suatu produk yang dibuat pemerintah. BHP merupakan suatu rumusan/kebijakan yang akan memiskinkan masyarakat miskin. Kembalikan lagi jiwa pancasila di dunia pendidikan. Jangan ada liberalisasi dan komersialisasi di dunia pendidikan. Semoga !!!

BEM Fisip Untan dan Kader HMI Komisariat Fisip Untan Cabang Pontianak

Hari Anak Nasional; Evaluasi Perbaikan Gizi Buruk Pada Anak

Oleh : Wandy

"Hak anak yang harus dipenuhi orang tuanya ialah mengajarnya menulis, berenang, melempar, dan memberi rizki yang baik" ( Al-Hadits riwayat Abu Syaikh dan Baihaqi )
Moment Hari Anak Nasional yang jatuh pada tanggal 22 Juli 2007 merupakan suatu moment dalam rangka introspeksi dalam merekonstruksi bagaimana perkembangan peningkatan kualitas gizi pada anak di Indonesia yang mana pada hal ini masih banyak anak - anak yang tercatat dalam keadaan jasmani yang tidak sehat terutama gizi buruk yang kadangkala menjadi beban bagi para orang tua terhadap anaknya.

Jikalau para orang tua mengerti dan paham akan gizi yang paling mendasar dan harus diperhatikan adalah zat - zat yang di perlukan di dalam tubuh manusia seperti Zat pembakar yang berupa makanan pokok, zat pembangun atau yang biasa kita kenal dengan protein, dan juga zat pelindung yang merupakan Vitamin maupun mineral. Dan untuk makanan ini juga harus pada kategori makanan yang sehat yang tidak merugikan anak dalam segi kesehatan jasmani. Apabila makanan seseorang kurang mengandung zat - zat yang penting bagi tubuhnya, maka akan terjadi yang di sebut dengan lapar gizi. Sedang apabila makanan yang di makan pada anak kurang mencukupi takaran yang diperlukan akan terjadi yang namanya lapar biasa. Kedua jenis lapar tersebut, apabila berjalan terus menerus akan menjadi suatu penyakit kekurangan gizi ataupun yang biasa kita dengar dengan gizi buruk.
Kurang gizi dapat timbul sebagai akibat dari beberapa hal yaitu kurangnya kemampuan keluarga menyediakan makanan dikarenakan factor kemiskinan, kurang suburnya tanah, kurang dimanfaatkannya pekarangan dan lain sebagainya. Selain itu juga ada dikarenakan kurangnya pengetahuan tentang makanan sehat, serta banyaknya tradisi dan kebiasaan yang merugikan, seperti:
1. Penghentian penyusuan lebih awal dari 2 tahun.
2. Anggapan bahwa anak kecil hanya perlu makan sedikit dan adanya pantangan pantangan akan makanan tertentu.
3. Ibu hamil dan menyusui hanya makan sebanyak waktu sebelum hamil dan waktu sebelum menyusui.
Dari kondisi seperti ini penyakit penyakit infeksi akan mengganggu nafsu makan, pencernaan dan penggunaan makanan dalam tubuh manusia. Salah satu penyakit yang membahayakan adalah penyakit diare. Di kawasan Pontianak Selatan ada seorang anak terus menerus merasa kesakitan akibat diare di tambah fisiknya yang semakin hari semakin kurus.
Dari fenomena - fenomena yang sering terjadi belakangan ini maka perlu adanya tinjauan khusus dari pihak Dinas kesehatan dan mungkin hal ini sebagai suatu usulan di dalam peningkatan gizi yang baik pada anak. Hal - hal umum yang perlu ditingkatkan bagi masyarakat yang khususnya perhatian terhadap anaknya.
1. Menyebarluaskan usaha -usaha bagi kesejahteraan anak di dalam lingkungan, Kkususnya mengenai usaha perbaikan gizi terhadap keluarga.
2. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada masyarakat, untuk menanggulangi masalah kesehatan dan gizi, khususnya mengenai gejala gizi buruk pada anak di bawah lima tahun, dengan memanfaatkan sumber daya manusia dan alam lingkungannya, termasuk pelayanan kesehatan dan pelayanan lain yang tersedia.
3. Memberikan tuntunan kepada orang tua, supaya meningkatkan pengawasan dan asuhan kepada anak dibawah lima tahun, mengenai pertumbuhan dan perkembangannya, sesuai dengan pedoman hidup sehat.
Pemenuhan suatu kebutuhan seringkali mengundang kebutuhan lain yang lebih tinggi sifatnya. Hal - hal demikian tidak jarang menyebabkan manusia merasa terhimpit dalam dua hal yang berlawanan . di satu pihak kita merasa jangkauan kehidupannya semakin luas, sedang di pihak lain kita merasa tetap berada di lingkungan persoalan yang tetap begitu saja. Untuk membebaskan himpitan tersebut di perlukan suatu penyelesaian kejiwaan.
Tercapainya tingkat kesehatan jasmani menjadi unsure terpenting pula bagi tercapainya kesehatan rohani, yaitu dibarengi dengan sikap hidup serba wajar dan terbuka, pandangan hidup yang serba seimbang, kepekaan rasa yang tinggi, dan juga kematangan pikiran.
Demikian pula halnya dengan kesehatan jasmani yang semula hanya merupakan pemenuhan kebutuhan hayati saja, kemudian di arahkan kepada kesehatan rohani serta keseimbangan sosial dalam rangka mengevaluasi dan juga merekonstruksi tingkat kualitas gizi yang baik pada anak di moment Hari Anak Nasional ini, yang tidak lain merupakan pemenuhan kewajiban manusia kepada Tuhannya.

(Penulis adalah anggota LAPMI dan Kabid P3A HMI Komisariat FISIP UNTAN Cab PTK).

ORANG TUA MESTI HATI-HATI BERLAKU KERAS TERHADAP ANAKNYA

Yoerilma Dewi

Anak adalah generasi penerus yang seharusnya menjadi kewajiban orang tua dan seluruh masyarakat untuk melindunginya. Namun kenyataannya, kekerasan terhadap anak (child abuse) kerap terjadi, malah semakin memprihatinkan. Yang lebih menyedihkan lagi, terkadang orang tua atau kerabat atau orang terdekat yang menjadi pelaku kekerasan tersebut.
Salah satu faktor yang membudaya adalah, bahwa selama ini ada fenomena yang menganggap bahwa perilaku keras yang cenderung mengarah kepada kekerasan terhadap anak adalah hal yang biasa dalam rumah tangga.

Kemudian perilaku ini dianggap kewajaran yang tidak menjadi masalah malah harus dilakukan orang tua untuk menindak anak-anaknya. Alasannya beragam, mulai dari supaya anak tidakmenjadi nakal, memberi pelajaran agar tidak bandel dan sebagai cara atau metode agar anak menjadi patuh. Pertanyaannya apakah yang didapat oleh rang tua adalah kepatuhan karena segan dan wibawa orang tua atau ketakutan.Dalam beberapa kasus malah ini cenderung membahayakan secara psikis bagi anak. Anak yang terbiasa hidup dalam suasana yang akrab dengan kekerasan, maka alam bawah sadar mereka juga sudah mulai mengendapkan perilaku kekerasan tersebut yang bisa melahirkan kekerasan-kekerasan berikutnya di dalam hidup mereka.
Tindakan kekerasan anak yang terjadi selama ini dianggap sebagai pembelajaran bagi anak-anak yang dianggap bandel dan nakal dengan alasan untuk menjerakan anak agar tidak melakukan kesalahan. Padahal sebetulnya hal tersebut malah akan menjadi pembelajaran anak untuk bersikap agresif dalam menghadapi masalah. Anak merupakan makhluk yang masih polos, sehingga apa yang mereka lihat, mereka dengar, dan mereka rasakan baik positif maupun negatif dapat mengisi alam bawah sadarnya, sehingga anak akan meniru perilaku tersebut. Anak-anak akan berperilaku sama apabila mengalami hal serupa. Kalau itu terjadi maka hanya akan menjadi mata rantai yang tak terputus, sehingga akan tercipta generasi yang sama untuk merespon kondisi yang dapat menekannya hingga pola perilaku tersebut menjadikan suatu warisan dan membudaya.
Sekali lagi, perlu diketahui dan dipahami bersama, bahwa kenyataan yang harus dihadapi oleh anak yang menjadi korban kekerasan ini akan mengganggu psikisnya. Anak akan menyimpan semua peristiwa yang diingatnya dalam alam bawah sadarnya hingga terbawa saat dewasa. Anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif dan setelah dewasa nanti dalam perannya masing-masing akan timbul keagresifannya yang diluapkan pada anak-anaknya (Pelzer Dave, 2005). Danti Ratna Widyastuti seorang psikolog perkembangan,menyatakan bahwa orang tua yang agresif cenderung akan melahirkan anak yang agresif pula karena gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima seseorang ketika masih kecil.
Oleh karena itu, perlu promosi bersama, agar kekerasan janganlah menjadi perilaku yang ditonjolkan dalam upaya mendidik dan membina anak. Karena dampaknya terhadap perkembangan generasi penerus ini hanya akan melahirkan generasi-generasi yang cinta kekerasan.
Wallahu’alam.

Mahasiswi STAIN Pontianak

Penerapan RUU BHP di Universitas Tanjungpura

Oleh : Wandy

Bang, kemarin saya lihat ada sekumpulan mahasiswa keliling kampus Untan. Katanya sih mereka mau Demo ke kantor Gubernur tentang permasalahan RUU BHP. Aku sudah lama dengar masalah BHP itu, tapi sampai sekarang aku tak tahu apa itu BHP?
Ini merupakan pemaparan adik senior saya ketika dia baru menduduki semester dua di Kampus Fisip Untan yang bercerita tentang RUU BHP yang bermula dari demo mahasiswa keliling kampus Untan. Dari cerita tersebut, ada sesuatu yang sangat menarik bagi saya dan saya cerna kembali yaitu ketidaktahuannya terhadap RUU Badan Hukum Pendidikan atau BHP.

Timbul di benak saya bahwa memang RUU BHP ini masih belum terpublikasi ke mahasiswa di Untan, yang mengherankan lagi mengapa bisa terjadi seperti itu? Mungkin ini sedikit dari mahasiswa yang ada di Untan bahwa yang tidak tahu tentang BHP ini, mungkin saja banyak atau mungkin saja sedikit.
Yang saya ketahui sekarang, kita masih tidak sadar bahwa penerapan BHP kini telah bermula. Terbukti adanya pembangunan bisnis pusat anggrek dan bunga lokal di depan Auditorium Untan. Selain itu, pihak rektorat akan berencana untuk membuka tempat bagi orang yang ingin memasarkan anggrek serta juga akan menjadi tempat hiburan dan tempat bermain bagi masyarakat. Wacana ini saya dapat melalui salah satu media cetak di Kalimantan Barat. Pada dasarnya dari program yang akan dijalankan oleh pihak Rektorat bekerjasama dengan Dinas Pertanian itu adalah baik adanya. Namun untuk penempatan itu sebenarnya tidak layak untuk ditempatkan di areal Untan. Hal ini dikarenakan ketika orang mulai memasarkan anggrek di tempat tersebut, malah akan nampak bahwa Untan menjadi kampus yang tidak edukatif, malah komersialisasi. Ditambah lagi areal tersebut akan dijadikan tempat hiburan dan tempat bermain, yang terlihat di mata kita adalah hedonis yang muncul nantinya.
Selanjutnya permasalahan penyewaan lahan yang ada di Untan. Sebenarnya, jikalau RUU BHP ini harus diberlakukan artinya dari segi pendanaan Untan juga harus mapan. Karena dengan adanya penyewaan lahan artinya Untan belum mampu untuk memiliki dana yang cukup. Dari segi untuk pembangunan gedung, pemberian beasiswa, jumlah mahasiswa, masih juga didapat dari pihak luar yang melalui kerjasama dan juga dana operasional dari pemerintah.Terbukti masih ada kampus di Untan belum ada pembangunan yang memadai serta dari segi kuantitas jumlah mahasiswa kampus tersebut tidak dapat menjadi kampus yang favorit bagi masyarakat.
Sampai sekarang yang kita lihat, BHP belum bisa untuk diterapkan. Jika akreditas kampus Untan yang terdiri dari beberapa fakultas baik, segi pendanaan cukup tanpa harus bekerjasama untuk mendapatkan dana yang juga sebagai lahan komersil, orang miskin mampu untuk memasuki Perguruan Tinggi, maka BHP baru dikatakan mapan dan mandiri didalam pelaksanaannya, tanpa harus menaikkan SPP bagi Mahasiswa.
Kelemahan kita yang berstatus mahasiswa sampai saat ini mengalami krisis atau kekurangan responsibilitas terhadap permasalahan kampus, seakan-akan apa yang kita ketahui dari sejauh mata memandang tanpa disadari bahwa ada banyak permasalahan yang tidak kita ketahui yang nantinya akan menjadi boomerang bagi kita sendiri. Kita sekarang dihadapkan dengan jadwal kuliah yang sangat padat sehingga aktivitas berorganisasi serta berekspresi untuk mengetahui serta menganalisis permasalahan kampus sendiri, salah satunya dalam mengetahui permasalahan BHP ini. Begitu juga dengan pihak Rektorat yang sangat jarang sekali mengekspos serta membuka dialog duduk satu meja dengan mahasiswa terhadap permasalahan-permasalahan tersebut. Karena tidaklah bijak apabila di dalam suatu komunitas hanya mengatasi suatu permasalahan sendiri tanpa melibatkan semua orang yang tergabung di dalam komunitas tersebut. BHP adalah masalah kecil yang akan berpengaruh besar, namun jika dapat diatasi secara bersama-sama, maka sebesar apapun persoalannya pasti dapat diatasi dengan hasil yang baik serta data dipertanggungjawabkan
Sekali lagi wacana Penerapan RUU BHP di Untan ini diungkapkan bukan berarti untuk meng-hegemoni, mendiskreditkan serta meragukan kemampuan kita semua. Tapi aplikasi dengan memperhatikan point-point pada paragraf diatas seperti apa yang diungkapkan oleh Montesquieu bahwa "Suatu pekerjaan yang kecil itu lebih mulia daripada ide raksasa yang masih berupa rencana." Juga tambahan kerja yang kecil dan juga rencana yang besar boleh saja, asalkan tidak mengorbankan harkat dan martabat orang banyak.

*Penulis adalah Sekum HMJ-IA Fisip Untan dan Ketua P3A HMI Komisariat Fisip Untan Cab. Pontianak

Gawat Darurat Pendidikan Kita

Oleh : Viryan Azis, SE, MM

MARAKNYA peristiwa ironi pada anak didik dan orang tua yang tak mampu untuk memenuhi kebutuhan sekolah akhir-akhir ini menunjukkan betapa masalah kepedulian sesama anak bangsa bukan lagi menjadi penting, melainkan sudah pada tahap gawat darurat. Contohnya, Heryanto (14 tahun) siswa SD muara sanding II Kab. Garut, Agustus 2003 mencoba bunuh diri hanya karena biaya SPP Rp. 2.500. Sementara Awang Aditya, siswa kelas 4 SD di Yogyakarta gantung diri hanya karena malu dan takut sekolah karena tidak memiliki seragam sekolah dan masih banyak kasus lainnya yang telah terjadi dan menggoreskan tinta duka pada potret pendidikan bangsa. Kita sendiri meyakini terdapat Heryanto dan Awang Aditya lain di Kota Pontianak yang juga mendapatkan derita dan kenyataan pahit akan kondisi ketakberdayaan hingga terjerembab menjadi putus asa.

Realitas ini juga menjadi kenyataan pahit betapa tali kepedulian dan kebersamaan kita semakin longgar, bila bukan dikatakan putus. Pilihan bunuh diri pelajar Heryanto dan Awang Aditya tidaklah semata-mata persoalan individual belaka, melainkan juga mencerminkan rapuhnya kehangatan sosial kita yang terjadi karena banyak sebab. Bicara sebab tentunya akan bermuara pada dua hal, mencari secara tepat atau kambing hitam para pihak yang bertanggung jawab atau berkaca diri sambil menghitung-hitung besaran amal yang telah kita keluarkan, baik dalam bentuk sejumlah nominal rupiah, amal kebijakan yang berpihak pada kaum papa secara nyata, mendorong adanya dana sosial perusahaan yang terkelola dengan efektif, amal kerja yang amanah, menjadi orang tua asuh atau bentuk lainnya.

Sebagian dari kita sering merasa betapa beban hidup yang kita jalani ini sungguh besar hingga sulit rasanya untuk berbagi, sebagian lagi merasa cukup dengan memberi sisa-sisa penghasilan. Kadang kita menghitung kepedulian tersebut dalam bentuk sebatas melepas kewajiban atau peduli yang justru melestarikan kemiskinan karena secara nyaris permanen kita menyantuni orang yang sama secara berkala, padahal Rasulullah SAW telah memberi teladan menyantuni untuk kemandirian dhuafa.

Pada bagian lain, hadirnya sekolah-sekolah berkualitas dengan biaya mahal mengekalkan betapa pendidikan kini berada pada kuadran kalkulasi untung rugi secara mencolok. Meski demikian adalah hak setiap orang tua untuk menjamin pendidikan anaknya berkualitas dari sejumlah aspek. Namun, tidak sedikit juga pada akhirnya sekolah berkualitas yang justru meminggirkan kualitas-kualitas nilai dan sikap tertentu dari anak didik. Ini malah menjadi potensi destruktif masa depan yang semakin bahaya. Disisi lain cukup banyak anak yang terancam mati dari pendidikan disisi lain banyak anak yang terbunuh potensi positifnya justru dari beragam fasilitas yang berlebihan. Apakah ini dampak dari putusnya solidaritas sosial?. Ataukah memang ini konsekwensi yang harus terjadi dari carut marutnya dunia pendidikan kita?. Namun yang pasti, disekitar kita masih cukup banyak calon Heryanto dan calon Awang Aditya lain, mari kita cegah mereka putus asa. Ayo tanggulangi bersama dunia pendidikan kita yang kini dalam kondisi darurat.

Saluran Kepedulian

Pendidikan menjadi keyakinan Dompet Ummat sebagai salah satu bentuk wahana pengentasan kemiskinan bagi kaum dhuafa, dengan manajemen program yang direncanakan secara sistemik dan dikelola penuh kesungguhan dengan dedikasi untuk memandirikan penerima program. Untuk itu Dompet Ummat selama bulan Juni-Juli 2007 menggelar bulan galang dana pendidikan yang akan disalurkan mulai bulan Agustus 2007 dengan sejumlah program pendidikan, antara lain :

1.Program Paket Pendidikan Siswa, yaitu program pemberian paket bantuan sekolah untuk siswa miskin di Kota Pontianak dan sekitarnya. Terdapat tiga pilihan paket yang dapat dipilih oleh donatur.

2.Program BeaSkripsi yang diperuntukkan bagi mahasiswa berprestasi yang terkendala penyelesaian skripsinya karena masalah biaya. Program ini merupakan kali kedua yang akan diberikan. Kini sejumlah penerima beaskripsi telah dapat selesai studinya dan bekerja pada sejumlah perusahaan dan lembaga.

3.Program Beasiswa untuk mahasiswa PTN yang mengalami biaya dalam menempuh pendidikan S1. Setiap penerima program akan mendapatkan dana setiap bulan yang disertai dengan pembinaan secara berkala.

4.Program BeaPelajar yang diberikan untuk siswa dhuafa di kota Pontianak. Program ini bersifat kesinambungan, yaitu setiap penerima program akan mendapat dana setiap bulan serta pembinaan setiap dua minggu sekali guna memberikan bekal yang sesuai dengan kebutuhannya.

Orientasi program tersebut, selain program paket pendidikan siswa, ditujukan untuk mendorong kemandirian penerima program setelah selesai menyelesaikan studinya. Setiap penerima program akan dibina dengan difasilitasi untuk peningkatan kualitas iman dan takwa, penguatan kepribadian, peningkatan keterampilan dan bentuk lainnya sesuai dengan kapasitas penerima. Program ini juga sesuai untuk perusahaan yang ingin menyalurkan dana CSR atau Comdev atau dana sosialnya yang bertujuan bukan untuk melestarikan kemiskinan, melainkan untuk membangun potensi kemandirian penerima program. Untuk keterangan lebih lanjut dapat menghubungi Kantor Dompet Ummat : Jalan Tanjung Sari No. 40 - Telepon 0561-735978 atau kontak person Duin 0561-7032360.**

*) Penulis adalah Pengelola Dompet Ummat

PENTINGNYA TRANSPARANSI

Oleh: Rudy Handoko

TRANSPARANSI adalah prinsip menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan didalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.

Informasi adalah suatu kebutuhan penting masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah daerah perlu proaktif memberikan informasi lengkap tentang kebijakan dan layanan yang disediakannya kepada masyarakat.

Pemerintah daerah seharusnya perlu menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara mendapatkan informasi. Kebijakan ini akan memperjelas bentuk informasi yang dapat diakses masyarakat ataupun bentuk informasi yang bersifat rahasia, bagaimana cara mendapatkan informasi, lama waktu mendapatkan informasi serta prosedur pengaduan apabila informasi tidak sampai kepada masyarakat.

Instrumen dasar dari transparansi adalah peraturan yang menjamin hak untuk mendapatkan informasi, sedangkan instrumen pendukung adalah fasilitas database dan sarana informasi dan komunikasi dan petunjuk penyebarluasan produk-produk dan informasi yang ada dipenyelenggara pemerintah, maupun prosedur pengaduan. Untuk itu adanya Perda Transparansi adalah sebagai produk hukum yang memberikan jaminan untuk mengatur tentang hak memperoleh akses dan penyebarluasan informasi kepada publik. Apalagi transparansi memang telah menjadi semacam suatu etika pergaulan internasional yang mesti ada untuk menjamin integritas dan keberlangsungan demokratisasi.

Pun, terselenggaranya sistem pemerintahan yang akuntabel dan transparan merupakan salah satu kunci perwujudan good governance. Di dalam sistem dimaksud tercakup beberapa prasyarat yang harus dipenuhi tatkala transparansi dan akuntabilitas menjadi barometer. Di antara prasyarat itu adalah jaminan bahwa segala peristiwa penting kegiatan pemerintah (kegiatan badan publik) terekam dengan baik dengan ukuran-ukuran yang jelas dan dapat diikhtisarkan melalui proses informasi dimana kita bisa melihat segala yang terjadi dan terdapat di dalam ruang entitas itu, yakni entitas pemerintah.

Dengan adanya transparansi pemerintahan yang ditunjang dengan payung hukumnya yang jelas maka akan menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan, maka akan menjamin meningkatnya jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam pembangunan daerahnya dan akan dapat meminimalisir berkurangnya pelanggaran/penyimpangan dalam pengelolaan pemerintahan.

Kalbar telah mempunyai Perda Nomor 4 Tahun 2005 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi Kalbar. Masalahnya, sekarang ada tidak political will dari pemerintah untuk segera efektif mengimplementasikan Perda Transparansi tersebut. Meski telah dibuat, tapi sekarang dapat kita lihat implementasinya masih jauh panggang dari api. Transparansi masih belum menjadi semangat, paradigma dan etika dalam pengelolaan pemerintahan.

Perda Nomor 4 Tahun 2005 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi Kalbar terbit pada 30 Juni 2005 tersebut memuat sembilan bab dan 32 pasal. Peraturan tersebut memuat kewajiban badan publik untuk mengumumkan informasi secara aktif mengenai proses perencanaan pembangunan daerah termasuk APBD, mulai perencanaan, pembahasan, hingga penetapan, rencana tata ruang hingga penetapan, pelaksanaan kegiatan pembangunan, nama, struktur, tugas, dan fungsi badan publik terkait, prosedur dan tata cara untuk mendapatkan informasi publik pada badan publik; jadwal kegiatan badan publik. Namun mana yang benar-benar telah terlaksana?

Hadirnya Perda Nomor 4 Tahun 3005 tentang Transparansi, hanya sekedar pelengkap dan penghibur agar dapat meredam suara-suara nyaring yang mendorong transparansi pemerintahan. Terlebih lagi, jangan-jangan hadirnya Perda tersebut, hanya sebagai bentuk justifikasi saja, bahwa pemerintahan di Kalbar seakan-akan telah berniat baik untuk, dan telah transparan. Sederhananya, Pemprov memandang bahwa transparansi telah terlaksana ketika perdanya telah ada. Padahal, seperti yang kita ketahui, pola pikir yang terbangun di jajaran pengambilan kebijakan (Pemprov dan Legislatif), terbiasa membuat Perda, tapi gagal dalam implementasi. Seakan-akan jika sudah membuat perda, maka sudah gugur kewajiban.

Kemudian, menanggapi bahwa Gubernur seakan salah persepsi tentang implementasi Perda Transparansi, saya malah menduga bahwa gubernur tidak mengerti dan memahami tentang Perda itu. Lebih lanjutnya, saya malah khawatir, jangan-jangan Gubernur tidak paham atau awam tentang tata kelola pemerintahan yang baik seperti yang termaktub dalam semangat dan prinsip-prinsip good governance. Sehingga setiap pernyataannya yang muncul cenderung tidak menunjukkan sebagai seorang pemimpin yang memahami dan mengerti tentang hal itu, serta mungkin tidak memiliki sense terhadap prinsip-prinsip good governance.

Pihak Parlemen, dalam hal ini sebagai pihak yang ikut membahas perda tersebut, harus berani fight, jangan seperti macan tak bertaring yang beraninya hanya mengaum di kejauhan, tapi mandul dan tak berani mengambil aksi yang lebih tegas terhadap implementasi perda ini.

Seringkali muncul tanggapan serius dari para wakil rakyat, sangat garang bahasanya untuk mendorong agar perda ini di implementasikan, tapi kok ternyata tak punya greget yang kuat yang dapat mendorong agar Pemprov serius mengimplementasikan Perda. Pertanyaan besarnya, what happen? Bisa jadi gerakan itu tidak terjadi secara massif di Parlemen, malah mungkin masih ada sebagian yang menganggap atau berpikiran bahwa Perda tersebut bukan sesuatu hal yang penting. Kalau sudah begini, setali tiga uang, sama saja antara Pemprov dan Parlemen, tidak memiliki sense terhadap Perda Transparansi ini. Padahal ketika studi banding dilakukan, antara lain studi banding terhadap pelaksanaan perda yang sama ke Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Bukankah sudah cukup menjadi bukti, bagaimana jalannya pemerintahan di sana yang cukup berhasil.

Sungguh disayangkan, ketika akan menggodok perda, berapa uang rakyat yang habis, baik untuk agenda rapat pembahasan maupun studi banding. Namun dua tahun berlalu ternyata tak efektif dilaksanakan. Dengan tidak di implementasikannya perda tersebut, sama saja Pemprov melakukan pembohongan terhadap publik.

Perda ini diharapkan mampu menciptakan sebuah pemerintahan yang bersih dan berwibawa sesuai dengan semangat dan prinsip-prinsip good governance. Tapi apakah sudah ada niatan tulus dari Pemprov untuk benar-benar tampil bersih, transparan dan partisipatif? Wallahu'alam.

Penulis: Pegiat Lembaga Studi Sosial dan Demokrasi (eLSSiDe)
Divisi Riset JARI Orwil Borneo Bagian Barat.