Jumat, 04 Juli 2008

Menelaah Problema Anak, Antara Perlindungan Anak dan Realitas Sosial

Yurilma Dewi,

MASALAH seputar kehidupan anak telah banyak menjadi perhatian kita bersama. Sebagai akibat dari kegagalan pranata sistem sosial yang ada di negeri ini, sehingga banyak sekali terjadi kasus-kasus pelanggaran terhadap hak-hak anak. Untuk itu dalam rangka membangun kondisi ideal yang diperlukan untuk melindungi hak-hak anak yang belum mampu diwujudkan oleh negara, maka diskusi-diskusi dan aksi sosial untuk mendorong perubahan menuju perlindungan hak-hak anak harus terus dibicarakan dalam ruang publik. Sehingga muncul kesamaan persepsi, kesepahaman memandang pentingnya sosialisasi dan advokasi tentang perlindungan terhadap anak-anak.

Selama ini, dari diskusi-diskusi yang dibicarakan baik oleh institusi Negara, LSM dan institusi-institusi lain yang peduli dengan nasib anak, sebenarnya negeri ini telah mempunyai regulasi yang mengatur tentang perlindungan terhadap hak-hak anak seperti UU No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM khususnya Bab 3 Bagian ke-10 tentang Hak Anak, dan UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Namun itu belumlah cukup menjadi regulasi yang komprehensif apalagi tidak ditunjang dengan implementasi yang serius untuk melindungi anak.

Perlu tindakan bersama yang massif antar elemen masyarakat yang peduli untuk melindungi hak-hak anak. Dalam realitas sosial, terjadinya kasus-kasus yang melanggar hak-hak anak, mendiskreditkan dan menindasnya baik akibat rendahnya pendidikan, faktor keluarga, tidak adanya perlindungan, persoalan lingkungan sekitar dan keterhimpitan secara sosial-ekonomi lainnya seperti pekerja anak, penjualan anak, kekerasan anak baik dalam rumah tangga maupun di luar, pelanggaran dan kekerasan seksual serta eksploitasi seksual terhadap anak dan sebagainya, yang semuanya merupakan fenomena gunung es.

Hadirnya UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah sebagai bentuk regulasi yang lahir akibat semakin derasnya masalah-masalah sosial tersebut terjadi, yang akhirnya membuat elemen-elemen masyarakat yang peduli terhadap problem ini menjadi resah sehingga mendorong Legislatif di tingkat nasional untuk serius memperhatikan masalah-masalah menyangkut perlindungan anak-anak Indonesia ini.

Adanya UU Perlindungan Anak akan memberikan instrumen yang kuat untuk mengimplementasikan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi di Indonesia. UU ini pada dasarnya dilandasi oleh empat prinsip utama dari KHA tersebut yakni non-diskriminasi, menjadikan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup dan berkembang serta berpartisipasi. UU ini juga melingkupi aspek-aspek tentang hak anak seperti hak atas identitas, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan dan hak atas perlindungan. Untuk perlindungan, secara esensial perlindungan ini meliputi perlindungan terhadap kekerasan, eksploitasi, diskriminasi dan penelantaran. Sanksi tegas yang ada dalam UU inipun akan membuat UU ini menjadi payung hukum yang bermanfaat bagi perlindungan anak. Jika kita fokuskan pada problema seperti pekerja anak, anak terlantar, anak jalanan dan sebagainya, ditinjau dari perspektif perlindungan anak di tengah realitas sosial, maka banyak persoalan yang terjadi, misalnya tentang anak yang di-eksploitasi oleh orang tuanya untuk bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, anak yang bekerja di jermal, anak yang bekerja di sektor pekerjaan yang berbahaya, upah yang minimal, anak yang mengamen-mengemis, anak yang menjadi gelandangan dan sebagainya. Untuk konteks pekerja anak, maka sebenarnya, anak yang boleh bekerja jika dilihat dari UU ketenagakerjaan adalah anak-anak yang usia diatas 13 tahun, itupun mesti memenuhi syarat-syarat seperti gaji yang sepadan, hanya boleh 3 jam dalam sehari, bukan bekerja pada sektor-sektor pekerjaan yang berbahaya dan masih banyak lagi.

Untuk konteks anak jalanan dan anak yang menggelandang menjadi pengamen dan pengemis, maka konstitusi kita mengatur bagaimana peran terutama pemerintah untuk mengayomi dan memelihara mereka. Bukan dipelihara sekedar untuk dijadikan obyek program agar mendapat proyek dari program tersebut. Terutama untuk program-program seperti itu, mesti diperjelas standar programnya dan transparansi anggarannya.

Untuk Kalbar, masalah anak juga sedemikian rumit, banyak anak yang putus sekolah, anak yang menjadi gelandangan dan pengemis, anak-anak yang menjadi korban trafficking, dan kalau kita lihat di media massa, hampir tiap hari selalu saja ada anak yang menjadi korban kekerasan, eksploitasi seksual dan sebagainya. Untuk menangani ini, perlu partisipasi aktif semua pihak, pemerintah dan masyarakat.

Mantan Pengurus Korps HMI Wati (KOHATI) Cabang Pontianak

0 komentar: