Senin, 30 Juni 2008

Budaya Membaca

Oleh Ichwani AS

JELAJAHILAH dunia dengan membaca. Begitulah ungkapan orang bijak yang menandakan betapa besar keuntungan yang diperoleh seseorang ketika ia mengembangkan minat membaca apalagi minat yang dikembangkan itu berubah menjadi hobby yang tidak bisa ditinggalkan. Membaca dengan sendirinya akan menjadi kebutuhan pokok yang setiap hari harus dipenuhi dan tidak bisa ditinggalkan. Apa bila tidak dipenuhi dan ditinggalkan maka akan berakibat kepada kehampaan pengetahuaan bahkan spritualitas. Membaca dengan sendirinya akan berpengaruh kepada entitas keilmuan seseorang, kualitas tulisan seseorang pun diukur dari bacaan yang dikonsumsinya, semakin banyak bacaan atau referensi yang diutarakan maka bobot tulisannya akan mendekati kesempurnaan. Orang bisa membuat suatu karya ilmiah apakah dalam bentuk penelitian atau pun tulisan (buku) sudah semestinya mempunyai basic awal yaitu membaca. Bukankah Muhammad SAW diangkat dan diutus sebagai pemimpin dimuka bumi oleh Tuhan melalui perantaraan malaikat Jibril mengemban printah untuk membaca (Q.S: Al-alaq, 1-5), padahal kita tau bahwa Muhammad ketika itu (berumur empat puluh tahun) tidak mengenal yang namanya baca tulis. Tetapi Muhammad di tuntut untuk larut dalam proses membaca baik secara tersirat maupun tersurat atau dalam Islam kita kenal dengan istilah qauni'yah dan qauliyah. Membaca disini menjadi tulang punggung pengetahuan keilmuan, orang bisa menulis sudah pasti ia tekun dan konsisten dalam membaca. Membaca dan menulis adalah dua "sijoli" yang tak bisa dipisahkan dan itu merupakaan skill (kemampuan/keterampilan) tersendiri yang susah untuk diperoleh atau dimiliki seseorang (Hernowo: 2005).

Penanaman minat membaca sudah harus dibiasakan sejak anak sekolah dasar, penulis melihat umur sekolah dasar adalah momentum penting bagi orang tua untuk mengembangkan potensi (minat baca) anaknya. Daya hafal yang kuat merupakan pondasi utama anak diusia ini, apabila kebiasaan membaca telah ditanamkan maka memasuki usia remaja, dewasa, dan tua tidak bising atau anti membaca, karena telah memiliki bekal awal yang telah dipupuk sejak kecil. Patut disayangkan dan diakui bahwa banyak orang tua yang menyiayiakan kesempatan ini, sehingga ketika anak melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi (SMP/SMU/Kuliah) yang notabene pelajarannya itu sudah "diperangi" dengan buku-buku dan itu semua harus dilalui dengan keterampilan membaca akan mengalami kesulitan dalam transfer keilmuan dan pengetahuan. Malas membaca adalah "virus" yang terus menjadi bomerang bagi generasi muda. Virus itu telah ditularkan oleh generasi terdahulunya dan kini terus menular kesemua kalangan, tidak kenal usia dari yang muda sampai yang tua "terinveksi". Apa yang memyebabkan virus itu terus berkembang? Apakah sang ahli belum menemukan obat anti virus tersebut?

Setidaknya ada dua faktor yang penulis pikir sangat vital menyebabkan kenapa budaya malas membaca itu tak kunjung berubah. Pertama, rendahnya budaya cinta ilmu. Cinta akan ilmu pengetahuan memang belum membudaya di masyarakat kita, yang ada hanya budaya konsumtif dan kesenangaan sesaat. Shooping ke mal, makan direstoran mewah, membeli barang yang kurang bermanfaat hanya untuk kepuasaan batin, membawa anak rekreasi ketempat-tempat yang jauh jangkauannya dan memakan biaya yang banyak dan lain-lain. Itu semua lebih digemari dan menjadi kewajiban yang harus diagendakan ketimabang harus membeli sebuah buku yang harganya relatif murah dan meriah. Kedua, kurangnya kesadaran akan penting dan bermanfaatnya membaca. Kesadaraan akan pentingnya membaca tidak melekat dan mengakar kepada generasi muda kita. Lihat saja betapa sepinya pengunjung perpustakaan. Perpustakaan akan ramai dikunjungi apabila ada tugas dari dosen atau kewajiban penyelesaian studi akhir dalam bentuk penyususnan skripsi, padahal kita tahu bahwa perpustakaan itu adalah jantungnya perguruan tinggi atau universitas (baca: mahasiswa). Ada lagi, orang akan tertarik untuk keperpustakaan apabila ada proyek penelitiaan yang harus mencari referensi yang benar-benar akurat dan memenuhi standar sebagai penunjang yang harus dipenuhi dalam penelitian tersebut, setelah penelitian itu selesai dikerjakan maka good bay perpustaakaan, sampai ketemu pada proyek penelitiaan berikutnya. Lain lagi dengan anak-anak atau remaja yang masih menyandang status pelajar. Hari-harinya dihabiskan hanya untuk bermain, kluyuran, ngumpul bersama geng-gengnya tanpa ingat belajar (membaca) mengulangi pelajaran yang telah diterima di sekolah. Jam wajib belajar mulai dari pukul 18.00-20.00 yang terpampang di plang-plang depan sekolah tidak lagi dindahkan. Waktunya hanya dihabiskan untuk menikmati acara televisi yang seperti sinetron remaja. Sinetron seperti ini sangat-sangat digemari oleh kalangan remaja karena ia bisa menghipnotis para remaja untuk tetap duduk manis di depan layar televisi ikut larut dalam keheningan mengikuti arus cerita dalam sinetron tersebut. Apalagi yang membintangi sinetron itu para pemain muda yang ganteng, cantik serta gaul (istilah remaja sekarang). Apa hubungan antara minat membaca dengan kualitas pendidikan? Penulis berkesimpulan bahwa kenapa pendidikan Kalbar dari tahun ketahun terus merosot kebawah dibanding dengan daerah-daerah lain, salah satu faktornya adalah karena peserta didik kita belum terbiasa untuk membudayakan membaca dan menjadikan buku sebagai teman sejati yang tak pernah tinggal kemanapun pergi. Buku yang telah dibeli dengan harga yang super mahal hanya dijadikan pelengkap saat mengikuti pelajaran disekolah setelah itu dibuang atau diberikan kepada pemilik warung (pedagang) dijadikan bahan bungkusan. Kita sering menjumpai ketika berbelanja ada lembaran demi lembaran buku itu dijadikan (maaf) bungkusan terasi dan segala macam. Tampaknya membaca itu hanya dilakukan saat-saat tertentu saja seperti ujian, ulangan, tes, dan lain sebagainya.

Menurut hemat penulis, minimnya minat membaca juga merupakan tantangan yang harus dihadapi lembaga pendidikan kita selain dari biaya pendidikan yang begitu mahal, sarana dan prasarana yang kurang memadai, keterbatasan kemampuan guru, kurikulum yang belum jelas dan lain-lain. Untuk itulah membudidayakan membaca ini patut digalakan sedini mungkin oleh semua lapisan atau komponen baik itu pemerintah, akademisi, politisi, ulama, masyarakat, ekonom, prktisi, orangtua siswa, terlebih lagi bagi para mahasiswa dan pelajar.

Tiada hari tanpa membaca, teman sejati adalah buku. Setidaknya ungkapan itulah yang tepat untuk dikedepankan dan direalisasikan agar mencapai generasi yang berilmu pengetahuuan. Wallhu'alam bisshawab

*) Penulis Adalah Mantan Wakil Presiden Mahasiswa STAIN Pontianak/Nantan Pengurus HMI Cabang Pontianak

0 komentar: