Senin, 30 Juni 2008

Opspek; Proses Pembelajaran

Oleh Ichwani AS *

SELAMAT datang Mahasiswa baru, selamat datang kaum intelektual muda, selamat datang generasi penerus bangsa, selamat datang pejuang dikampus tercinta. Begitulah kira-kira tulisan sebuah spanduk yang terpampang di depan pintu gerbang masuk sebuah perguruan tinggi sebagai pertanda penyambutan khusus bagi mahsiswa baru yang akan memuali aktivitasnya di bangku perkuliahan.

Intelektual muda, generasi penerus, pejuang, agen perubahan merupakan beberapa sebutan yang coba diberikan kepada mahasiswa, apalagi mahasiswa baru semangat belajarnya sangat enerjik dan memiliki sifat kritis serta analisa yang tajam. Begitulah sederetan sebutan yang diberikan kepada mahasiswa, walaupun kita sadar bahwa sebutan itu sangat berat untuk dipikul dan yang lebih penting yakni kita tau bahwa mahasiswa bukan "gila" untuk mencari sebutan atau pujian bahkan gelar tetapi yang terpenting adalah bagaimana seorang mahasiswa itu bisa menjalankan tugas dan tangung jawabnya dengan baik serta peka terhadap segala permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh rakyat. Ini yang penulis anggap penting untuk direalisasikan kepada kawan-kawan mahasiswa baru bukannya menularkan hal-hal yang bersifat provokatif dan sejenisnya oleh abang/kakak tingkat (senior). Sifat tersebut rentan diberikan para senior kepada adik tingkatnya (mahasiswa baru) ketika di ospek, padahal kita tau bahwa senioritas dalam perguruan tinggi (universitas) itu tidak ada.

Opspek (plonco) atau apalah namanya menjadi tren diadakan di kampus-kampus menjelang masuk perkulihan semester ganjil, apalagi kita ketahui bahwa tahun akademik 2005/2006 akan di mulai pada awal bulan September 2005. Artinya waktu perhelatan opspek sebentar dan tinggal menghitung hari untuk di mulai. Katanya, opspek diadakan bertujuan sebatas mengenalkan kampus beserta dinamikanya dengan segala materi yang telah diformat dan dijadualkan oleh panitia agar mahasiswa baru siap untuk bergelut didalamnya, yang jelas kegiatan opspek itu adalah latihan awal untuk berdialektika sebagai wadah pengembangan diri. Dialektika kampus yang dibangun itu semestinya mengarah pada proses pembelajaran bukan pembodohan, proses pembelajaran itu semestinya harus dicontohkan oleh abang/kakak tingkat karena abang/kakak tingkat adalah figur di kampus dan wajib untuk memberikan tauladan kepada adik tingkatnya. Perlu di ingat bahwa kakak/abang tingkat ketika dan atau sesudah ospek itu adalah sebagai pembimbing, pengarah, pengayom, pemberi contoh yang baik dan bukan sebaliknya.

Penulis melihat, beberapa tahun terakhir ini kegiatan opspek atau plonco telah kehilangan relevansi. Kenapa di sebut kehilangan relevansinya? Seperti kita ketahui bahwa kegiatan opspek dari tahun ke tahun selalu saja diidentikkan dengan kekerasan fisik bahkan lebih "sadis" dari pada itu yakni korban jiwa (meninggal dunia). Diperintahkan untuk berlari kesana kemari ketika berbuat salah, digertak, diterjang, dipukul baik mengunankan tangan maupun kayu, diperintahkan itu ini dan lain sebaginya sudah menjadi hal biasa dan anehnya menjadi tradisi dan membudaya karena ada unsur balas dendam dari sang "algojo" yang siap melampiaskan amarah yang sudah lama terpendam. Kenapa bisa demikian, alasanya sangat sepele karena waktu kami di opspek dulu diperlakukan seperti ini bahkan lebih kejam, makanya kami berbuat seperti ini karena kami menyimpan dendam kesumat yang berkepanjangan. Fenomena itu terus berkembang dan tidak ada habisnya dari tahun ketahun bahkan makin ganas dan ironisnya menjadi konsumsi lezat nan segar siap saji yang rugi untuk tidak dilahap, berita seputar kekerasan opspek ini juga bertebaran menghiasai halaman muka surat kabar dan menjadi menu utama sarapan pagi para pembaca. Inikah contoh perilaku generasi penerus yang diharapkan bangsa tetapi jauh dari nilai-nilai kemanusiaan? Pada hal kita tau bahwa bangsanya sedang "bangkit" melawan keterpurukan dari segala "penyakit" dan penyakit itu membutuhkan pengobatan secara intensif. Kepada siapa bangsa harus berharap jika perilaku generasi penerusnya terus mengalami dekadensi dan jauh dari norma-norma hukum serta nilai-nilai relegius (agama)? Inikah wajah buram pendidikan kita? Jujur saja, peristiwa yang dipaparkan penulis diatas merupakan cerminan betapa gelapnya masa depan bangsa dan lagi-lagi dengan peristiwa itu telah mencoreng lembaga pendidikan kita dan akan menambah daftar kasus hitam dunia pendidikan. Haruskah ospek dihapuskan?

Untuk itulah pada akhir tulisan ini, penulis berharap supaya opspek atau plonco yang diadakan tahun ini harus benar-benar menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, norma-norma sosial, hukum, agama dan yang jelas tetap berbudaya. Apa yang telah tejadi di tahun yang lalu biarlah menjadi 'itibar (introspeksi) agar kita tidak mengulangi hal yang serupa. Kini mari kita buka lembaran baru bahwa opspek tahun ini memang benar-benar orientasi pemanusiaan yang mengedepankan proses pembelajaran dengan intelektualitas sebagai ciri khas dan jati diri mahasiswa. Serta yang lebih penting adalah berfikir kritis, satu dalam pluralisme. Semoga maksud baik yang telah kita perbuat mendapat ridho dari Tuhan Yang Kuasa. Amien

Selamat datang kawan. Selamat belajar, berjuang serta berproses untuk menjadi insan akademis sejati. Kami tetap bersamamu. Wallahu'alam Bisshawab

*) Penulis adalah Mantan Wakil Presiden Mahasiswa STAIN Pontianak

0 komentar: