Senin, 30 Juni 2008

Sudahkah Indonesia Merdeka?

Oleh: Aspari Ismail*

SEORANG nenek yang tua-renta menangis tersedu-sedu. Di usianya yang ke 60 tahun, dia belum mampu memberikan kebahagiaan kepada anak-cucunya yang sangat banyak. Dia tidak sanggup mendidik anak-anaknya dengan akhlakul karimah, sehingga banyak anak-cucunya yang menjadi perampok, penindas, dan apatis dengan sesama saudaranya yang lain. Hal yang membuat si nenek semakin sedih, ketika harta warisan dari sang suaminya telah banyak dijual oleh anak-anaknya. Untuk mempertahankan hidupnya, si nenek terpaksa harus berhutang dengan orang-orang kaya. Karena utang yang semakin menumpuk, sedangkan nenek tak sanggup untuk membayar, apalagi anak-anaknya tidak peduli dengan dirinya, membuat nenek terpaksa harus rela "ditiduri" oleh orang kaya tersebut. Parahnya lagi si nenek diancam akan dibunuh jika menceritakan perlakuan tersebut kepada orang lain. Celakanya, untuk berbicara tentang apapun si nenek harus ada instruksi dan mesti sesuai dengan keinginan orang kaya tersebut.

Ilustrasi tersebut, laksana ibu Pertiwi yang meratapi nasib anak negerinya. Nasib buruk yang dialami oleh si nenek, juga dirasakan Indonesia saat ini. Derita yang alami si nenek, hanya sedikit gambaran tentang kondisi Indonesia yang sesungguhnya. Masih banyak penderitaan lain yang lebih parah lagi, yang tentunya bagaikan sembilu yang mengiris hati. Lihatlah Indonesia hari ini. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah berkiblat kepada IMF, Bank Dunia dan lain sebagainya. Apapun keputusan yang akan diambil, acuannya kepada negara lain. Dimana letak berdaulatnya negara Indonesia?

Belum lagi jika kita melihat nasib rakyat Indonesia. Meminjam pendapat Soe Hok Gie, rakyat adalah orang yang selalu bergelimang dengan penderitaan. Rakyat Indonesia hingga saat ini mayoritas hidup dalam penderitaan. Jika kita saksikan kehidupan rakyat sekitar, dalam kesehariaannya masih banyak yang hidup seperti di zaman penjajahan. Letak perbedaaanya hanya bentuk dan pelaku sejarahnya saja, sedangkan substansinya sama: rakyat tersiksa dan tertindas.

Kalau dulu, rakyat tersiksa karena diperintahkan oleh penjajah untuk kerja paksa, sedangkan sekarang rakyat menderita karena tidak memiliki pekerjaan. Banyak rakyat yang masih menganggur bahkan makin bertambah. Hasil survei BPS mencatat sampai Februari 2005 jumlah pengangguran terbuka mencapai 10,9 juta orang atau bertambah sekitar 600.000 orang dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Pelita, 12 Juli 2005). Belum lagi ditambah dengan banyaknya rakyat yang terkena PHK.

Jika dulu yang boleh menikmati pendidikan hanya keturunan priyayi, sedangkan sekarang yang bisa merasakan pendidikan berkualitas tinggi hanya orang-orang borjuis. Intinya sama saja, orang miskin, dan masyarakat kelas bawah, tidak bisa mengecap pendidikan. Padahal pendidikan adalah merupakan salah satu Hak Azazi Manusia. Dewasa ini, kita seringkali membaca, mendengar, melihat kenyataan yang sangat mengenaskan. Tak sedikit anak kecil dan orang tua yang mengakhiri hidupnya hanya karena tak sanggup membayar uang sekolah.

Dulu, konon katanya rakyat juga mengalami krisis BBM, sekarang kondisinya juga tidak jauh berbeda. Antrian panjang hampir setiap hari kita lihat di SPBU. Celakanya lagi, disaat kondisi seperti itu masih ada yang haus harta, mengambil keuntungan dengan menimbun BBM dan sebagainya. Celakanya lagi, dari pemberitaan di media diketahui bahwa pelakunya dibeking oleh oknum aparat.

Kondisi tersebut diperparah lagi dengan tenggelamnya rasa kebersamaan, rasa nasionalisme, dan sense of crisis, di jiwa para penguasa dan wakil rakyat di negeri ini. Di saat banyak rakyat yang menderita karena ditimpa berbagai musibah; bencana Tsunami, busung lapar, gizi buruk, polio, krisis BBM dan sebagainya. Ternyata para wakil rakyat bertingkah yang macam-macam. Minta naikkan gaji, studi banding ke negara lain, shopping besar-besaran di luar negeri dan sebagainya. Perlakuan tersebut jelas sangat menyakitkan hati rakyat, karena para wakilnya telah mengkhianati rakyat miskin.

Dari kondisi yang dialami rakyat Indonesia, kita mesti bertanya: "Sudahkah Indonesia Merdeka?" Tidak berlebihan jika ada rakyat yang berujar: "Indonesia ini merdeka atau tidak sama saja, rakyat masih tetap menderita". Ungkapan tersebut merupakan luapan kekecewaan rakyat yang sangat polos. Mereka sangat kecewa karena walaupun Indonesia sudah "merdeka" hingga 60 tahun, kondisi yang mereka alami juga sama yang dialami oleh para pendahulunya. Jutaan orang di Indonesia hingga saat ini masih tinggal di tempat yang tidak layak huni. Hidup dibawah bayang-bayang ketakutan dan kekhawatiran tentang masa depan mereka. Takut jika tiba-tiba saja aparat mengusir mereka dari tempat tinggal, karena dilakukan penggusuran, apalagi dengan adanya Perpres 36/2005.

Rakyat merasa Indonesia belum merdeka seutuhnya. Indonesia merdeka hanya "di atas kertas". Rakyat "berbahagia" hanya disaat ketika merayakan Hari Ulang Tahun Indonesia (HUT), bukan hari Kemerdekaan Indonesia. Di HUT Indonesia biasanya mereka tertawa ketika ada perlombaan "pesta rakyat; panjat pinang, karaoke Dangdut, dsb". Kegembiraan itu hanya sekadar "pelampiasan" untuk mengusir kepenatan dalam mengaruhi derasnya persaingan kehidupan. Setelah kegiatan selesai, maka rasa susah dan sedih akan datang lagi menghampiri. Kemerdekaan, hanya dirasakan oleh elit politik, para penguasa, dan pengusaha. Mereka bebas mengeruk, mengumpulkan, dan memakan uang rakyat. Mereka bebas beralih posisi, bertukar jabatan, bebas ke luar negeri, melakukan korupsi, dan lain-lain. Mereka benar-benar menikmati manisnya kemerdekaan.

Rakyat tentunya mengharapkan di HUT Republik Indonesia yang ke 60 tahun ini, supaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mampu memberikan kemerdekaan yang sebenarnya untuk rakyat Indonesia. Pemerintah harus mampu menangkap dan menarik para "tikus-tikus" ke meja hijau dan dijatuhkan hukuman yang setimpal, sehingga tidak ada lagi yang bisa "menjajah" negeri ini secara terselubung. Ungkapan Presiden ketika berkunjung ke Tiongkok: "Musuh kita saat ini adalah waktu" harus bisa diaktualisasikan agar lebih serius dan bekerja keras dalam "berjuang" untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia dimata negara lain. Kesungguhan dan keseriusan tersebut harus dukung dan diikuti oleh pejabat lainnya. Sehingga Indonesia hari ini harus lebih baik dari hari kemarin.**

*) Penulis adalah Mahasiswa STAIN Pontianak dan Mantan Sekretaris Umum HMI Cabang Pontianak

0 komentar: