Senin, 30 Juni 2008

UN akan Dilupakan?

Oleh Abriyandi, S.Pd*
KETIKA gong pengumuman hasil kelulusan Ujian Nasional siswa ditabuhkan, kita semua terperangah. Tetapi hal itu hanya sesaat, menatap prosentase kelulusan yang berada sedikit di atas Provinsi Nangro Aceh Darussalam yang terkena bencana alam massal, gelombang Tsunami. Namun sebentar lagi, realitas pendidikan yang mengenaskan ini tidak menarik lagi untuk diperbincangkan, berlalu begitu saja, mungkin hilang dan tenggelam oleh isu Pilkada atau isu-isu lainnya yang lebih populis untuk digunjingkan.

Sementara itu, masih terbayang di mata kita, bagaimana arak-arakan dan coret-coretan pakaian menjadi model yang trendy bagi siswa yang lulus guna melupakan kegembiraannya. Semoga lanjutan luapan kegembiraan tersebut tidak diiringi dengan pesta obat-obatan terlarang.

Kita sudah lupa, di propinsi ini hasil Ujian Nasional dengan sistem yang baru ini, selama dua tahun terakhir prosentase kelulusannya menunjukan grafik yang menurun. Ketika realitas ini terjadi, kita lupa bahwa Kalbar akan mengalami los generasi. Kita lupa bahwa Kalbar akan sangat miskin dengan generasi penerus yang memiliki moral yang baik serta kualitas intelektual yang handal.

Ketika guru dan pihak sekolah lupa, maka guru dan pihak sekolah hanya serius berkonsentrasi menghadapi proyek Ujian Nasional tahap II. Selanjutnya tidak akan ada perubahan ke arah perbaikan kualitas belajar mengajar, tidak akan ada perbaikan manajemen pengelolaan sekolah.

Ketika Komite Sekolah lupa, maka orang tua siswa tidak serius menajamkan peran kontrol dan partisipasi mereka terhadap kemajuan sekolah. Ketika Diknas lupa, maka mereka hanya sibuk untuk menseriusi Proyek Ujian Nasional Tahap II yang cukup banyak mendatangkan rezeki. Selanjutnya, program kerja copy paste akan terus berulang sepanjang sejarah sejak adanya Diknas, tanpa adanya evaluasi kinerja yang utuh terhadap program turun temurun tersebut. Proyek pembelian buku yang menelan biaya milyaran rupiah setiap tahun akan terus ditingkatkan, sementara sebagian besar sekolah masih tetap menjerit karena tidak punya fasilitas buku yang tepat jumlah dan tepat mutu. Proyek peningkatan mutu guru melalui program pendidikan penyetaraan yang dilaksanakan setengah hati masih terus berjalan tanpa pernah dievaluasi dampaknya terhadap peningkatan kualitas guru tersebut di dalam mengembangkan pengajaran. Proyek penyusunan data base pendidikan menjadi agenda tahunan, tetapi persoalan pendidikan tidak pernah terpetakan secara benar.

Ketika elit Pemerintah Daerah (provinsi dan kabupaten/kota) lupa, maka mengalokasikan anggaran 20% akan tetap menjadi beban berat yang akan menguras anggaran, dan tak pantas untuk dipenuhi, meskipun menjadi amanah Undang-Undang. Keterbatasan atau minimnya anggaran akan tetap menjadi alasan yang cukup logis untuk dipaparkan, agar tetap dipandang masih memiliki komitmen yang tinggi terhadap pendidikan, tapi apalah daya tangan tak sampai.

Ketika legislatif lupa, maka mereka menjadi "tidak mampu" menjalankan fungsi penganggaran secara maksimal, dan tidak pernah memainkan peran kontrolnya terhadap carut-marutnya dunia pendidikan.

Ketika Dewan Pendidikan lupa, maka pantas mereka tidak pernah menjalankan keempat fungsinya, memberikan pertimbangan, dukungan, pengawasan, dan mediasi.

Kondisi ini akan lebih buruk lagi jika lupa diikuti dengan saling lempar tanggung jawab dan saling menyalahkan. Orang tua menyalahkan sekolah sebagai pihak yang bertanggungjawab penuh terhadap keberhasilan anak-anak mereka. Pihak sekolah mengeluhkan siswa yang malas dan tidak serius belajar, dan mengeluhkan dana operasional yang selalu minim. Legislatif menuding eksekutif yang tidak becus mengurus pendidikan. Pemerintah kabupaten/kota menunggu komitmen yang lebih besar dari pemerintah propinsi dan pemerintah pusat. Pemerintah propinsi menganggap peran maksimal ada pada pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah pusat melalui dalih otonomi daerah menganggap daerah lah yang harus lebih maksimal mengurus dirinya sendiri.

Tidak cukupkah agenda pendidikan nasional tahunan ini menjadi pelajaran buat kita semua untuk melakukan otokritik terhadap peran dan fungsi masing-masing? Sudahkah kita serius mengurus pendidikan? Apakah guru/pihak sekolah, Komite Sekolah, Diknas dan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, Legislatif, dan Dewan Pendidikan sudah mendudukan dan menjalankan peran dan fungsinya secara benar dan maksimal? Kapan kita akan memulai perubahan ini?

Mengubah wajah pendidikan berarti mengubah wajah suram masa depan daerah tercinta ini. Kata kuncinya adalah membangun komitmen kolektif dari semua komponen yang terlibat langsung dan bertanggung jawab penuh terhadap dunia pendidikan. Jika guru/pihak sekolah, orang tua siswa/Komite Sekolah, Diknas/Pemerintah Daerah, DPRD, dan Dewan Pendidikan dapat mengambil pelajaran positif dari realitas hasil Ujian Nasional yang dicapai siswa ini, selanjutnya merumuskan langkah dan kebijakan yang lebih serius terhadap pendidikan, maka inilah pintu masuk guna mendongkrak penyiapan sumber daya manusia di Kalbar. Semoga realitas hasil Ujian Nasional ini tak terlupakan.**

*) Penulis adalah Ketua Umum Perhimpunan Guru untuk Reformasi Pendidikan Kalimantan Barat (PERGERAKAN KALBAR)

0 komentar: