Senin, 30 Juni 2008

Orang Miskin Dilarang Masuk Sekolah?

Oleh Ichwani AS

PENDIDIKAN kini telah kehilangan relevansi yang katanya ingin mencerdaskan kehidupan Bangsa, meminjam bahasanya Paulo Fraire itu memanusiakan manusia. Dalam kurun waktu tiga puluh tahun terakhir ini kitatidak punya lagi sekolah dalam arti sejati. Kita hanya membangun lembaga-lembaga, di mana anak-anak itu hanya ditekankan kepada kuatnya daya menghafal agar mereka menjadi sekrup mekanisme yang taat. (Andreas Harefa:2005) Sekarang yang dapat kita lihat hanya ada penatar, instruktur dan pawang. Ternyata pendidikan kita tengelam dalam power system. Sekolah harus ada counter -education. Kalau tidak bangsa kita akan terus merosot menjadi bangsa kuli babu atau panda-panda dalam sirkus. Jadi persoalannya sekarang adalah bagaimana kita menyusun suatu masyarakat di mana orang-orang kita sungguh-sungguh menjadi manusia merdeka, manusia yang tuan-tuan dan puan-puan. (Y.B. Mangunwijaya:1995)

Apabila pendidikan kita sudah merdeka dalam arti sebenarnya maka apa yang menjadi dambaan negeri ini yaitu terciptanya Anak Bangsa Cerdas Kreatif Inovatif serta Taqwa (ABCKIT) akan tercapai dan implikasi yang dapat kita lihat yaitu peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang setara bahkanmampu bersaing dengan SDM Negara luar ketika go public dan nantinya secara implicit akan berpengaruh kepada pencitraan Bangsa kearah yang baik dan mapan dibandingkan dengan hari ini. Yang menjadi pertanyaan anak Bangsa mana yang ingin dicerdaskan? Masih banyak anak-anak Indonesia yang di pelosok-pelosok daerah yang tidak tersentuh dengan pendidikan (baca:putra daerah)? Berapa banyak anak Indonesia yang tidak pernah merasakan "manisnya" bangku sekolah untuk mengenal atau mengetahui huruf dan angka agar bisa membaca, menulis, berhitung dan bermain bersama teman-teman sebaya? Terus berapa banyak anak Indonesia yang putus sekolah akibat tingginya biaya pendidikan? Berapa persentase tingkat buta hurup di negeri ini?Yang ada hanya wajah lugu penuh belas kasihan meratapi masa depannya yang suram?

Beberapa pertanyaan yang coba dilontarkan penulis di atas memang kecil dan sepele kedengarannya, tapi memiliki maka mendalam dan akan memakan proses yang panjang untuk menyelesaikannya. Sebagai langkah awal yang perlu kita sadari dan cermati bersama adalah bagaimana permasalahan-permasalahan itu kedepannya tidak muncul kembali, tentunya dengan cara mengetahui akar permasalahannya dan mencarikan solusi konkrit yang dapat membawa angina segar perubahan tentunya oleh semua pihak yang merasa bertanggung jawab dan yang "ngaku" peduli atas realitas dunia pendidikan kita. Dari solusi tersebut perlu disepakati bersama adalah menghindarkan dari sifat yang saling mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, mencaci, menuduh dan bahkan mengkambing hitamkan baik itu orang maupun institusi dan tentunya solusi yang disepakati tersebut tidak hanya habis di bangku-bangku diskusi, forum-forum rapat pihak terkait, dialog dan lain-lain tetapi yang diperlukan adalah realisasinya, perlu di ingat bahwa "rakyat bukan butuh janji tetapi rakyat butuh bukti" .

Ada hal yang menjangal terus dalam pikiran penulis sampai hari ini melihat realitas dunia pendidikan kita sekarang ini mulai dari kualitasnya yang rendah, kurikulum yang mengambang, kemampuan/spesialisasi guru dalam mengajar, biaya pendidikan yang mahal, sistem pembelajaran yang perlu dibenahkan kembali, sarana prasarana yang terbatas dan lain-lain. Penulis ingin memfokuskan tulisan ini mengenai hal yang menjangal dalam pikiran tadi yaitu tentang BIAYA pendidikan yang semakin hari semakin melonjak tinggi naik ibarat pohon bambu yang hidupnya selalu menjulang tinggi. Seperti kita ketahui bahwa akhir-akhir ini setelah kenaikan kelas dan kelulusan Sekolahmulai dari tingkat TK, SD/sederajat, SMP/sederajat, SMA/sederajat maupun Perguruan Tinggi (Universitas) menerima Siswa dan Mahasiswa baru. Dalam penerimaan Siswa/Mahasiswa baru tersebut dibentuklah panitia penerimaan Siswa/Mahasiswa baru (SPMB) dari kepanitiaan itu dirumuskanlah estimasi biaya ini dan biaya itu sehingga kesimpulan akhirnya biaya daftar masuk begitu tinggi (mahal) boleh di survey di sekolah mana dan perguruan tinggi mana yang biaya masuknya gratis, semuanya bayar. Ini tidak sesuai dengan apa yang telah dijelaskan pihak legeslatif Kota ini lewat media yang katanya biaya masuk sekolah tahun ini tidak dikenakan biaya alias GRATIS, katanya gratis tapi realisasinya. Lantas bagaimana dengan anak yang pandai (pintar) baik dari intelektual, emosional dan spritualnya tetapi orangtuanya miskin/ekonominya menengah kebawah yang hanya pas-pas untuk makan sehari sedangkan untuk melanjutkan pendidikan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi tidak mampu? Dampak dari kenaikan biaya pendidkan tersebut mengakibatkan orang yang tidak punya uang banyak tidak bisa sekolah dan hanya bisa gigit jari, tanpaknya ada pe-nolak-an atau pe-larang-an secara halus terhadap orang miskin untuk tidak sekolah dalam bahasa yang radikal Eko Prasetyo menuluisnya dengan kalimat "ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH". Sekolah hanya bisa dimasuki oleh "kaum priyayi" yang punya uang banyak.

Ironis memang tapi ini lah kenyataan dunia pendidikan kita, bukankah dalam amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 31 ayat 4 yang menjelaskan bahwa anggaran penyelenggaraan Pendidikan Nasional minimal 20% di ambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dari pasal 31 ayat 4 ini jelas bahwa kita mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan Pendidikan Nasional (baca: birokrat). Jika penyelenggaraan Pendidikan Nasional sudah bisa teratasi dari segi materi maka kita tidak akan mendengar lagi ada orangtua siswa yang bunuh diri karena tidak bisa membayar SPP anaknya, Siswa mencuri karena tidak dapat membeli sebuah pensil, Siswa menjadi anak jalanan meminta kesana kemari karena tidak punya uang untuk membeli buku paket dan lain-lain. Secara ideal, penyelenggaraan Pendidikan Nasional seharusnya mengacu kepada apa yang dilukiskan dalam kunstitusi diatas. Namun dalam realitasnya justru mengatakan lain. Pendidiikan Nasional menyimpan banyak persoaalan dan sampai sekarang belum juga terselesaikan. (Mu'arif : 2005)

Satu harapan akhir penulis, mudah-mudahan apa yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 ".......kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia, yang melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa ........" bisa terealisasi dengan baik dan bukan utopis belaka yang itu semua tidak akan terwujud sampai kapan pun, apa bila tidak terwujud maka kita telah menodai serta mengingkari perjuangan suci para suhada pemimpin Bangsa ini terdahulu. Wallahu'alam Bisshawab

*) Penulis adalah Mantan Pengurus HMI Cabang Pontianak dan Aktif di Urban Poor Linkage (UPLink) Pontianak

0 komentar: