Senin, 30 Juni 2008

Memperhatikan Hak-hak Anak

Oleh : Aspari Ismail

ANAK menjadi dambaan bagi setiap keluarga. Hadirnya anak, membuat suasana rumah tangga menjadi ceria. Imam Al-Ghazali mengatakan, "Anak adalah amanat bagi orangtuanya. Hatinya yang bersih adalah mutiara jiwa, bersih dan kosong dari berbagai bentuk, dan ia menerima sesuatu yang mewarnainya, serta cenderung pada sesuatu yang telah membentuknya". Apabila anak di didik dengan benar, maka akan memberikan kebahagiaan bagi orangtuanya. Sebaliknya, manakala orangtua salah dalam mendidik kepribadian dan prilaku anaknya, maka akan menjadi beban dan menyusahkan orangtuanya. Karenanya, setiap orangtua harus memperhatikan hak anak-anaknya.

Salah satu hak anak yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak (KHA) adalah hak atas pendidikan. Termasuk di dalamnya pendidikan anak usia dini (PAUD), yaitu pendidikan bagi anak yang berada dalam rentang usia 0-6 bulan (Adiningsih, 2005). Rasulullah saw pernah ditanya tentang hak seorang anak atas ayahnya, beliau menjawab, "Memberinya nama yang baik dan mendidiknya dengan baik". Sayangnya, saat ini hak atas pendidikan dan kesehatan telah direnggut dan diabaikan oleh orangtua mereka sendiri dan disponsori oleh Pemerintah. Ada beberapa hal yang menyebabkan kondisi ini terjadi.

Pertama, karena orangtua belum memahami perannya sebagai pendidik bagi anaknya. Tak sedikit orangtua yang beranggapan bahwa pendidikan adalah hanya tugas bapak dan ibu guru di sekolah. Umumnya mereka berasal dari golongan masyarakat yang miskin, dan dengan latar pendidikan yang rendah. Mereka sibuk bekerja keras, siang-malam untuk memenuhi kebutuhan materi keluarganya. Padahal, orangtua sebetulnya harus menjadi guru utama dan rumah harus menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya.

Kedua, orangtua paham perannya sebagai pendidik, tetapi mengabaikan tugasnya, hanya karena ingin memuaskan obsesinya semata. Pengalihan fungsi sebagai pengasuh dan merawat anaknya dimandatkan kepada "baby sitter", walaupun usia anaknya baru 3-4 bulan. Sebetulnya disamping materi, seorang anak juga membutuhkan perhatian, kasih sayang dan pendidikan dari orangtuanya. Rasullullah saw pernah bersabda, "Tidak ada warisan seorang ayah kepada anaknya yang lebih baik daripada akhlak yang baik".

Seringkali karena orangtua sibuk sehingga jarang melakukan komunikasi menyebabkan "broken home". Jika ini terjadi, anak tentu sasaran utama imbasnya, mereka akan melampiaskan pada perbuatan yang merusak masa depan, seperti; konsumsi narkoba, melakukan free sex, dan lain-lainnya. Kita tentu sangat terkejut, ketika mendengar kabar bahwa anak usia SD telah terjerat narkoba. Berita terkini yang paling menyedihkan adalah ketika anak yang berusia dibawah 10 tahun telah melakukan perbuatan cabul. Al-Ghazali (dalam ash-Sawwaf, 2003) mengungkapkan, "Sesungguhnya anak kecil dengan kesuciannya diciptakan untuk menerima kebaikan dan keburukan secara bersamaan, dan orangtuanyalah yang mengarahkannya pada salah satunya".

Ketiga, kurangnya perhatian pemerintah terhadap rakyat miskin. Sebab kemiskinan tidak saja akan membuat orangtua tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah formal/non formal. Apalagi sekarang ini, untuk mengambil formulir masuk sekolah saja, sudah harus merogoh saku ratusan ribu bahkan jutaan. Tragisnya, sekedar untuk memberikan makan yang "agak" bergizi saja mereka tidak sanggup. Buktinya, di setiap daerah terdapat kasus busung lapar dan gizi buruk.

Kondisi tersebut memaksa ibu-ibu untuk mencari uang. Sehingga, ia tidak ada waktu lagi untuk mengasuh dan mendidik anaknya. Bahkan tidak jarang, anak-anaknya yang masih berusia dini, juga "diajak" bekerja (mengemis, mengamen, berdagang asongan, dsb). Pemandangan yang menyedihkan itu hampir setiap hari ditemui di setiap persimpangan jalan. Banyak anak-anak, yang seharusnya berada di sekolah atau masih harus bermain dengan teman seusianya, harus menguras tenaga dan membanting tulang mencari duit. Mereka sering disebut sebagai anak jalanan.

Arbit Sanit menilai, bahwa penyebab adanya anak jalanan dikarenakan akibat keretakan rumah tangga. Mereka merasa tidak nyaman dirumah, karena orangtua mereka tidak sanggup untuk menciptakan "surga" di rumahnya. Kemudian alasan kedua, karena himpitan dan desakan ekonomi orangtua. Mereka adalah korban dari sistem ekonomi yang kompetitif. Apabila kondisi ini dibiarkan terus berlanjut, maka searti dengan menyia-nyiakan potensi anak yang luar biasa.

Bukan tidak mungkin, suatu saat bangsa ini akan mengalami "lost generation", yakni generasi penerus yang lemah dan tidak sanggup bersaing dengan bangsa lain. Mengakhiri tulisan ini, saya kutipkan ungkapan Umar bin Khattab, "Sesungguhnya anak-anakmu itu dijadikan untuk generasi sekarang ini, dan dijadikan untuk menghadapi zaman yang lain dari zamanmu". Untuk itu, tugas orangtua dan Pemerintah mesti memberikan perhatian secara optimal atas hak anak, khususnya kesehatan dan pendidikan.

*) Penulis adalah Mahasiswa Tarbiyah STAIN Pontianak dan Mantan Sekretaris Umum HMI Cabang Pontianak.

0 komentar: