Senin, 30 Juni 2008

Globalisasi=New Imprealisme

Oleh Rasiam SE,I
TULISAN ini berawal dari sebuah kegelisahan terhadap wacana-wacana yang berkembang terutama tentang globalisasi. Kegelisahan itu datang ketika ada beberapa orang mengatakan bahwa globalisasi adalah sebuah keharusan dan kalau boleh mengatakan "wajib" bagi negara-negara berkembang atau negara miskin. Dengan adanya globalisasi hidup kompetitif akan semakin meningkat dan kualitas individu dan kelompok menjadi salah satu prasyarat yang tidak boleh tidak harus dimiliki. Demikain kira-kira ungkapan "para ahli" yang pro terhadap adanya globalisasi. Kelompok pro ini banyak ditemukan di Indonesia terutama pada segelintir elit penguasa sehingga dapat mempengaruhi kebijakan.

Dari kebijakan segelintir elit tersebut dapat merubah tatanan/system Indonesia baik dari segi politik maupun ekonomi. Dari sisi politik globalisasi nantinya akan mengarah pada liberalisme dan demokrasi. Sementara sisi ekonomi, globalisasi akan mengarah pada adanya pasar bebas, privatisasi BUMN dan pencabutan subsidi.

Sementara jika dikaji dari sisi lain globalisasi adalah sebuah konsep yang berwajah banyak (munafiq). Selain memiliki wajah geopolitik dan tekonologi, ia juga memiliki wajah ekonomi dan budaya (Revrisond Baswir ; Anggota Dewan Penasehat Koalisi Anti Utang). Sepintas lalu terutama jika dilihat dari sudut pandang geopolitik dan teknologi, globalisasi tampak sangat masuk akal. Akan menjadi persoalan besar ketika globaslisasi masuk dalam dunia ekonomi dan budaya. Secara ekonomi, walaupun globalisasi menjanjikan percepatan pertumbuhan ekonomi dunia, akan tetapi akan timbul pertanyaan, siapa yang akan mendapat keuntungan, apa yang akan di dapat dan berapa banyak perbandingan pendapat yang akan diperoleh oleh negara miskin? Ketiga pertanyaan ini mengilhami betapa kita harus jeli terhadap globalisasi.

Setelah melihat catatan sejarah globalisasi datang setelah runtuhnya kolonialisme, bersamaan dengan hancurnya negara-negara jajahan. Melihat kondisi yang tidak menentu negara-negara kolonial yang nota bene negara kapital berpikir keras agar tetap dapat menguasai negara jajahan dengan tidak menggunakan kekeran fisik lagi. Karena dengan adanya negara-negara jajahan tadi merupakan wujud eksistensi bagi negara maju. Sekaligus negara jajahan akan selalu menjadi sapi perahan dari segi sumber daya alamnya.

Sebagai bentuk upaya pemulihan kepercayaan tadi maka di era 60-70-an ditemukan resep mujarap dalam membangun kembali negara jajahan dari masa kehancurannya. Obat mujarap itu adalah developmentalisme (konsep pembangunan).

Melaui resep developmentalisme (konsep pembangunan) ini proses penyebaran misi dan misi negara kapital semakin mudah apalagi dapat melalui wadah birokrat, para intelektual, perguruan tinggi dan lain sebagainya. Mereka menawarkan program yang menggiurkan dengan modal yang tidak sedikit asal tujuan ideology tercapai.

Istijar mengatakan, dengan bahasa pembangunan dan demokrasi negara imprealis melakukan intervensi suatu negara melalui lembaga donor seperti IMF, World Bank dan ADB. IMF misalnya, dengan mengeluarkan persyaratan bagi negara yang ingin meminjam uang menggunakan sistem LoI (Letter of Intents). IMF menyerukan kepada negara debitor untuk melakukan privatisasi perusahaan milik negara, pencabutan subsidi pada sektor publik dan memberikan kebebasan kepada pasar. Tiga hal pokok ini yang menjadi sasaran sekaligus target bagi negara-negara imprealis.

Gejala di atas sudah terbukti di Indonesia. Pada masa kepemimpinan Megawati dengan susunan kabinet gotong royongnya perivatisasi BUMN meraja lela seperti PLN dan Telkom. Kemudian pada masa sekarang (kepemimpinan SBY-JK) pencabutan subsidi terwujud juga pada BBM. Terjadinya privatisasi BUMN setidaknya berpengaruh pula pada hilangnya dominasi hak penguasaan negara atas usahanya. Begitu juga akan mengakibatkan hilangnya asset-aset negara. Biaya akan mahal karena penguasaan sudah berpindah ke swasta. Akhirnya hak monopoli yang mendominasi pada sistem usaha tersebut.

Secara umum sudah dapat disimpulkan sekaligus menjadi kesadaran kita bersama bahwa globalisasi pada dasarnya adalah sebuah proses sistematis untuk merombak struktur perekonomian negara-negara miskin, terutama dalam bentuk pengkerdilan peranan negara dan peningkatan peranan pasar, sehingga memudahkan dilakukannya pengintegrasian dan pengendalian perekonomian negara-negara miskin tersebut di bawah penguasaan para pemegang modal (negara kapital).

Melalui sisi yang berbeda dapat dipastikan bahwa bahaya globalisasi bagi negara-negara miskin pada dasarnya terletak pada melemahnya kemampuan sebuah pemerintahan untuk melindungi kepentingan negara dan rakyatnya. Bahkan sebalinya semakin meningkatnya ketergantungan perekonomian pada negara-negara maju. Sebagi contoh, pada tahun 1974 Mahatir Muhamma mampu melindungi rakyatnya dengan politik Bumi Putra-nya. Semangat politik Bumi Putra tersebut ialah bagaimana seorang Mahatir mampu melindungi para pelaku ekonomi yang berasal dari Malaysia itu sendiri. Sekarang konteknya sangat berbeda dengan Indonesia, kepastian hukum seperti yang terjadi di Malaysia tidak pernah dirasakan oleh masyarakat terutama pelaku ekonomi di Indonesia. Yang ada hanyalah pemerasan dan penggusuran besar-besaran.

Dengan demikian bila dikaji dengan cermat globalisasi bukanlah proses alimiah yang mesti kita turuti dan taati. Dia lahir melalui system yang terencana dengan sebuah tujuan imprealis. Ia syarat akan kepentingan dan muslihat, khususnya yang mendatangkan keuntungan bagi para pemodal yang berasal dari negara kaya. Untuk itu globalisasi adalah sebuah bentuk imprealis baru yang mesti kita sadari bersama. Bukan imprealis yang berbentuk fisik, akan tetapi sudah mulai berubah bentuk yaitu dengan penanaman sebuah ideology yang penuh dengan perangkap.
(Penulis adalah pengurus BADKO HMI Kalbar dan pengurus Masyarakat Ekonomi Syari'ah Kalbar)

0 komentar: