Minggu, 29 Juni 2008

Mengantisipasi Tawuran Pelajar

Oleh Aspari Ismail
Kita selalu kembali dikejutkan dengan berita kekerasan. Siswa sekolah tawuran dan puluhan siswa diamankan. Berita "sedih" tersebut menambah daftar panjang terjadinya kasus kekerasan dalam dunia pendidikan, terutama tawuran antar pelajar yang terjadi di bumi Khatulistiwa ini khususnya.

Muhaimin (2001) menilai bahwa terjadinya tawuran antar pelajar, tindakan kekerasan, konsumsi minuman keras dan narkotika, kebut-kebutan di jalan raya dan sebagainya, yang terjadi hampir setiap hari dan selalu di jadikan sebagai berita utama di media massa disebabkan karena kegagalan sistem pendidikan, termasuk pendidikan agama yang hanya menekankan aspek kognitifnya saja.

What wrong with our education? Bukankah pada hakekatnya pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia? Betulkah pendidikan merupakan proses dan pencerahan hidup generasi muda? Kenapa tawuran/ kekerasan bisa terjadi?

Djohar (2003:4) menganggap bahwa pendidikan kita telah kehilangan objektifitasnya. Saat ini sekolah tidak dijadikan sebagai tempat anak melatih diri, menampilkan dirinya untuk berbuat sesuatu, dan mendapat koreksi bahwa ia salah atau benar, berbuat baik atau jelek, akan tetapi sekolah dijadikan sebagai 'panggung pentas' untuk memperoleh juara. Lebih lanjut beliau memaparkan bahwa kenakalan anak yang tidak ditampilkan pada usianya sehingga ia menunda kenakalan itu diwaktu usia lebih tua, yang akhirnya lahirlah pola tawuran antar pelajar, yang lebih sulit mengatasinya.

Sementara itu, Mulyasa (dalam Madjid dan Andayani, 2004:V) mengungkapkan bahwa prilaku kekerasan... menunjukkan bahwa rapuhnya moral dan spritual bangsa. Hal tersebut mengesankan manusia Indonesia hidup dengan hukum rimba ditengah hutan belantara kota.

Pada dasarnya, kita tidak dapat keluar dari konflik. Karena konflik selalu hadir dalam setiap relasi antar manusia. Dimanapun, kapanpun dan oleh siapapun. Bahkan dalam kehidupan pribadi sekali pun, konflik selalu ada. misalnya konflik antara isi pikiran dan hati. Sebab itu, kehadiran konflik sesungguhnya menjadi sangat wajar, alami, dan justru harus diterima sebagai realitas.

Menjadi sebuah pertanyaan besar bagi kita adalah bagaimana konflik tersebut di jalani secara positif? Konflik tidak harus dimaknai sebagai pertikaian, permusuhan, tetapi juga mengandung makna kompetisi, tegangan, atau sekedar ketidak sepahaman. (baca: Lubis, "Konflik tanpa Kekerasan", Pelita: 13 Maret 2002).

Namun kenyataanya, kita tidak pernah terlatih bagaimana menyikapi konflik tersebut terlebih pemecahan konflik. Kita sering menyikapi dan menyelesaikan konflik dengan satu cara, yakni cara kekerasan (Djohar, 2003: 10).

Untuk mengantisipasi tawuran pelajar, sudah semestinya saat sekarang ini proses pembelajaran di sekolah diarahkan pada empat (4) pilar kegiatan, sebagaimana yang telah dirumuskan oleh UNESCO (United Nations Educational Scientific Cultural Organization) yaitu: (1) belajar untuk tahu (learning to know), (2) belajar untuk berbuat (learning to do), (3) belajar untuk bersama (learning together), dan (4) belajar untuk membentuk jati diri (learning to be).

Djohar (2003:11) menyarankan agar pendidikan kita memfungsikan "peace education" sebagai model pendidikan. Model ini mengupayakan pemberdayaan masyarakat agar mampu mengatasi konflik dengan kreatif dan tidak dengan cara kekerasan. Model pendidikan ini dapat dilaksanakan disekolah melalui bentuk belajar kelompok. Dengan demikian siswa terlatih memecahkan persoalan-persoalan bersama dengan berbagai model transaksi sosial-psikologisnya. Melalui belajar kelompok, anak-anak terlatih menekan egoismenya dan terlatih menghargai hak-hak orang lain.

Disamping itu, proses pembelajaran hendaknya tidak diarahkan hanya mementingkan kecerdasan intelektual semata, tetapi juga harus diimbangi dengan kecerdasan emosional. Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Goleman (1997) bahwa prestasi seseorang itu 80 persen ditentukan oleh kematangan emosinya (Emotional Question), sedangkan kecerdasan intelektual (Intelectual Question) hanya berperan 20 persen saja.

Paulo Freire menganjurkan, sekolah mesti menghindari proses pendidikan yang membelenggu yakni pemberian perintah (reseptur) dan hanya mentransfer pengetahuan. Melainkan melakukan proses pendidikan yang membebaskan, yang mengutamakan dialogis dan transformasional, yakni proses yang mempunyai makna dalam pendidikan. Apabila anak terbiasa dengan dialog, maka penulis yakin mereka akan mengutamakan dialog sebagai cara yang paling ampuh untuk mengatasi segala persolan yang terjadi.

Semoga saja kejadian yang tidak kita ingin tersebut, sehingga membuat semakin buramnya potret pendidikan kita, tidak terulang kembali. Ingat, kekerasan tidak dapat dilawan dengan kekerasan.

(Penulis adalah Mahasiswa Tarbiyah, Mantan Wakil Presiden BEM STAIN Pontianak dan Mantan Sekretaris Umum HMI Cabang Pontianak)

0 komentar: