Minggu, 29 Juni 2008

Marjinalisasi Peran Agama di Era Kapitalisme (Refleksi Maulid Nabi Muhammad SAW)

Oleh Ridwansyah

GUNCANGAN budaya kapitalis telah membentuk manusia-manusia yang individualis. Iklan-iklan yang disebar lewat media massa, menularkan virus-virus konsumerisme yang begitu hebat. Manusia seakan dipaksa untuk meyakini bahwa dalam kehidupan ini tujuan utama adalah memiliki sebanyak mungkin produk-produk kapitalis. Padahal kenyataannya tidak semua manusia mampu memenuhi godaan-godaan iklan tersebut. Salah satu faktor penyebabnya karena keterbatasan kemampuan ekonomi akibat perlakuan pembangunan yang dominan berpihak kepada kepentingan pengusaha dan penguasa. Dampak yang mengemuka adalah frustasi sosial masyarakat, dikarenakan kian lebarnya perbedaan antara golongan kaya dan miskin. Padahal golongan berpunya di dalam lapisan masyarakat adalah minoritas. Sedangkan kaum papa mayoritas jumlahnya.

Namun demikian dilihat dari sisi penguasaan terhadap asset-aset ekonomi mereka sangat dominan pengaruhnya, masyarakat miskin dipaksa menjadi pekerja-pekerja kasar untuk kepentingan pengusaha besar. Hal ini tergambar jelas dalam gaji yang diberikan kepada mereka yang sangat tidak berimbang dengan tenaga yang mereka keluarkan, turunannya manusia-manusia proletar ini tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar (basic need)-nya, anak-anak mereka kekurangan gizi sehingga dari segi kecerdasan tidaklah dapat diharapkan. Makanan-makanan yang mereka konsumsi jauh dari sempurna dilihat dari persyaratan kesehatan, pendidikan anak-anak mereka hanya menempati sekolah-sekolah kelas III dengan sarana dan prasarana pembelajaran yang sangat minim, dan banyak lagi hak-hak mereka terampas secara samar.

Dalam situasi demikian, menurut Karl Marx, akan terjadi kebencian terpendam dari kaum proletar tersebut. Hal ini sewaktu-waktu akan menyebabkan konflik terbuka antara kelompok proletar dengan komunitas borjuis yang menggunakan negara sebagai alat untuk melindungi kepentingan mereka. Apakah konflik tersebut akan terjadi di negara kita? Waktulah yang akan menjawabnya.

Yang menjadi pertanyaan adalah dimana posisi Agama dalam melihat realitas sosial seperti ini? Apakah agama berpihak kepada mereka (kaum musthadaafin) atau malahan menjadi antek kaum berpunya? Untuk menjawab hal tersebut memang diperlukan kajian yang komprehensif. Tapi penulis lebih tertarik melihat penampakan-penampakan yang dapat kita saksikan secara telanjang di tengah-tengah masyarakat.

Ada semacam gairah yang cukup tinggi kalau kita lihat aktivitas agama beberapa waktu belakangan ini. Bisa dilihat dari banyak bermunculannya kelompok-kelompok pengajian dengan berbagai macam warna kajian, kegiatan-kegiatan dakwah marak terutama di kampus-kampus sekuler, tradisi-tradisi klasik menjadi semacam trend dalam beragama ini terlihat dalam hal gaya berpakaian, gaya bergaul, dan banyak lagi gaya-gaya lainnya. Sebagai suatu fenomena dalam beragama hal ini patut disyukuri dikarenakan ternyata agama masih menunjukkan geliatnya, minimal hal tersebut menjadi bahan pertimbangan bagi tesis Patricia Arbuden dan Jhon Naisbitt dalam bukunya mega trend 2000 yang meramal bahwa abad 21 adalah abad kematian agama formal.

Dibalik itu semua kita merasa trenyuh karena ternyata kalau jujur kita selami lebih dalam ternyata trend-trend beragama tersebut lebih cenderung berbicara tentang hal-hal yang berbau alam kematian semata tanpa berani secara terang-terangan menyatakan perang melawan kapitalisme. Kajian-kajian yang dibahas lebih bersifat mendamaikan hati, daripada melakukan analisis sosial kritis dengan menggunakan perspektif agama dalam memotret ketimpangan sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sehingga yang terjadi kaum miskin (Musthada'afin) makin tertinggalkan, mereka dianggap sebagai kelompok "berdosa" dalam pandangan pencinta tradisi-tradisi tersebut. Ukuran-ukuran ketaatan terhadap ajaran formal menjadi semacam standar penilaian untuk memvonis mereka merupakan bagian dalam kelompok pendosa, apakah sholat dilaksanakan lima kali sehari, apakah kamu membayar zakat, apakah kamu sudah berjilbab (untuk perempuan), apakah kamu sudah naik haji, apakah anakmu dikursus agamakan (TPA) rangkaian-rangkaian pertanyaan tersebut seakan-akan menjadi referensi wajib bagi kaum agamawan untuk mengukur keberislaman mereka. Padahal kaum miskin tentunya ingin menjalankan ajaran agamanya secara "kaffah" tapi untuk menjalankannya menurut mereka sangat mahal harga yang harus mereka bayar. Untuk bersembahyang tiap waktu prasyaratnya adalah tersedianya pakaian sembahyang yang bersih, harus punya waktu untuk melaksanakan shalat wajib kesemua persyaratan tersebut jarang mampu mereka penuhi, tempat mereka kerja tidak memungkinkan mereka untuk sholat tepat waktu karena pekerjaan menuntut mereka untuk beraktivitas tepat waktu, belum lagi aktivitas mereka yang tidak jarang bergulat dengan hal-hal yang membuat kotor badan dan pakaian, sehingga tidak memungkinkan untuk menjalankan aktifitas ibadah.

Diperlukan pandangan kritis mencermati situasi keberagamaan yang ada ditengah masyarakat kita. Umat hari ini kehilangan figure yang concern dengan masyarakat miskin, tidak kita temukan sosok seperti bunda Theresa yang mau menceburkan diri dengan kehidupan kaum proletar, malahan menampak secara telanjang dihadapan kita kemunculan ulama-ulama borjuis yang perilaku hidupnya jauh dari kesederhanaan seperti yang diajarkan oleh baginda Rasulullah SAW, moment Maulid Nabi Muhamad SAW ini memunculkan harapan bagi kaum-kaum beragama untuk mencontoh kepribadian Nabi SAW, dalam menyebarkan Islam agama rahmatan Lil alamin, terutama dengan sikap kesederhanaan luarbiasa yang beliau tunjukan kepada umatnya.

Muhamad adalah cerminan Nabi kaum proletar karena beliau selalu berada di garda yang paling depan dalam membela kepentingan kaum miskin. Dia berkata "tidak sempurna agama umatku apabila di sebelah rumahnya masih ada tetangganya yang kelaparan". Muhammad selalu berada ditengah-tengah rakyatnya, dia tidak menjauh dari umatnya, rumahnya tidak dipagari dengan tembok tinggi, bahkan beliau selalu mengadakan open house untuk rakyatnya yang ingin berdiskusi dengan beliau setiap hari tanpa perlu disibukkan dengan birokrasi yang berbelit-belit dan memusingkan, sesuatu yang lumrah terjadi saat ini. Ada kerinduan yang mendalam menantikan figure-figure Muhammad di era kapitalis saat ini.

(Penulis Mantan Pengurus HMI Cabang Pontianak)

0 komentar: