Kamis, 03 Juli 2008

ISLAM; MASYARAKAT DEMOKRATIS- MULTIKULTURALISME

RUDY HANDOKO

Dunia ini terlahir dengan cinta Sang Realitas Suci, didalamya penuh cinta dan dengan wajah cinta. Agama yang tidak terlahir dalam ruang hampa dan tidak pula terlepas dari ruang historis juga adalah agama dengan wajah cinta, penuh kasih, kententeraman, kesejahteraan dan kedamaian. Dunia yang tidak kosong ini bukanlah dunia yang homogen, heterogenitas dalam berbagai hal adalah realita-faktual.
Membincangkan tentang agama, pluralitas dan multikulturalisme, maka terkenang pada saat konflik horizontal terjadi antar pemeluk teguh agama-agama. Sehingga terkadang muncul pertanyaan, apakah agama hadir untuk membawa damai dan cinta kasih atau malah membawa kekerasan dan pertumpahan darah. Apakah agama mengajarkan bagaimana menghargai dan mengakui perbedaan serta kesederajatan perbedaan itu sebagai realita hidup atau malah mengajarkan bahwa perbedaan itu salah dan harus dibasmi.

Respons agama terhadap kecenderungan pluralitas dan multikulturalisme memang terkadang membingungkan. Hal itu disebabkan, agama kerap dipahami sebagai wilayah sacral dan mutlak. Bahkan, pada saat agama terlibat dengan urusan dunia sekalipun, hal ini tak lebih dari sekedar demi penunaian kewajiban untuk kepentingan yang transenden. Semua agama-agama tersebut hampir seluruhnya memiliki sifat-sifat demikian itu.
Karena sakral dan mutlak, maka sulit bagi agama-agama tersebut untuk mentoleransi atau hidup berdampingan dengan tradisi kultural yang dianggap bersifat duniawi dan serba-relatif. Wajar…banyak yang secara pesimistik menganggap persinggungan agama dan budaya lebih banyak memunculkan problem daripada manfaat bagi kemanusiaan.
Secara fitrah kita hidup dalam pelbagai dimensi yang berbeda, dan perbedaan agama-agama adalah bagiannya. Perbedaan itu merupakan anugerah Sang Realitas Suci lewat kreasi-Nya. Perbedaan-perbedaan atau kemajemukan adalah ciri khas dunia yang kita diami, ini adalah kenyataan sosialnya, untuk itu sikap dasar menerima dan menghargai adanya perbedaan menjadi penting, tentunya juga sikap memandang adanya equalitas dan egalitarian dalam perbedaan.
Pertanyaannya memang…Apakah Islam dapat menerima pluralitas dan multikulturalisme, sementara pada saat yang sama kurang mengembangkan apresiasi terhadap budaya, termasuk yang berperspektif local, apalagi jika gagasan-gagasan itu masih dianggap sesuatu yang asing dalam alam pikiran ummat. Sebenarnya, cita-cita universal dari pluralitas-multikulturalisme tidaklah terlalu bertentangan dengan agama, namun cenderung gagasan-gagasan seperti ini mendapat tanggapan keras dan reaktif dari para pewaris nabi yang konservatif dan revivalis dalam memahami dalil secara interpretative. Karena gagasan-gagasan seperti ini dianggap agenda dari Barat yang kafir, yang di susupkan ke dalam Islam yang suci.
Ummat Islam umumnya dihadapkan pada persoalan episteme untuk mengaktualisasikan ajaran agamanya, baik dalam setting yang lebih universal, keummatan maupun kebangsaan. Meminjam istilah Michael Baigent--Krisis Epistemologis--Kondisi ummat Islam kesulitan menjelaskan hubungan yang organic antara ‘doktrin ideal’ dengan realitas sosial. Misalkan dalam kasus demokrasi, ummat Islam terjebak antara konsep demokrasi sebagai prinsip-nilai universal yang bisa diterima secara general dengan demokrasi sebagai istilah-praktik dunia barat yang diasumsikan oleh kaum fundamentalis sebagai kafir. Sedangkan, kelahiran Islam dan demokrasi secara universal mengandung nilai pembebasan, yakni membebaskan manusia dari belenggu structural dan cultural, dan watak original Islam yang sejalan dan merupakan prinsip universal demokrasi seperti yang di sebut oleh Kuntowijoyo (1997:94-104); saling-mengenal (taaruf), musyawarah (syuura’), menguntungkan ummat (mashlahah), kerjasama (ta’awun), adil (‘adl) dan perubahan (taghyir), ditambah consensus (‘ijma), kebebasan (hurriyah) dan kemerdekaan (istiqlal). Begitu juga dalam kasus Islam dan Multikulturalisme sebagai bagian dari upaya membangun demokratisasi dan kesederajatan ummat.
Dalam upaya membangun hubungan sinergi antara pluralitas-multikulturalisme dan agama, minimal diperlukan dua hal. Pertama, penafsiran ulang atas doktrin-doktrin keagamaan yang dijadikan dalih untuk bersikap eksklusif. Penafsiran ulang itu harus dilakukan agar agama bukan saja bersikap bijak terhadap kearifan tradisi lokal, melainkan juga memandu-mengantarkan pencerahan nan demokratis dalam masyarakat-masyarakat beragama.
Kedua, menggunakan pendekatan dengan mendialogkan term-term ke-agamaan dengan gagasan-gagasan baru seperti yang di gagas oleh Fazlur Rahman. Saat ini, umat beragama memasuki suatu masa di mana mereka harus mampu melakukan interaksi-kritis dan beradaptasi dengan perubahan-perubahan social, sehingga responsive terhadap hal-hal yang baru. Hanya dengan transformasi dan interaksi dengan gagasan-gagasan baru, agama akan mampu responsive terhadap perkembangan zaman seperti pluralitas-multikulturalisme yang telah menjadi semangat zaman.
Masyarakat yang demokratis adalah sebuah masyarakat yang menggunakan konsep demokrasi sebagai pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, dan terwujud sebagai inti dari, serta didukung oleh pranata-pranata sosial masyarakat tersebut. Demokrasi tidak mungkin hidup dalam sebuah masyarakat bila demokrasi tidak diserap ke dalam dan menjadi kebudayaan serta pranata-pranata sosial dari masyarakat tersebut. Begitu pula halnya bila tidak didukung oleh nilai-nilai budayanya yang merupakan patokan bagi pedoman etika dan moral, baik secara sosial, legal, ekonomi dan politik yang berlaku pada tingkat individual maupun pada tingkat kemasyarakatan (Suparlan, 2001:7).
Prinsip demokrasi hanya mungkin dapat berkembang dan hidup secara mantap dalam sebuah masyarakat sipil yang terbuka, yang warganya mempunyai toleransi terhadap perbedaan-perbedaan dalam bentuk apa pun, karena adanya kesetaraan dalam derajat kemanusiaan yang saling menghormati, yang diatur oleh hukum yang berkeadilan dan beradab yang mendorong kemajuan dan menjamin kesejahteraan hidup warganya. Di antara prinsip-prinsip mendasar dari demokrasi adalah: Kesetaraan derajat individu dengan meniadakan hierarki sosial berdasarkan atas rasial, sukubangsa, kebangsawanan, ataupun kekayaan dan kekuasaan; adanya kebebasan (freedom); individualisme dan individualitas, toleransi terhadap perbedaan-perbedaan, konflik-konflik, dan adanya konsensus dalam proses politik; hukum yang adil dan beradab, dan peri kemanusiaan.
Sebagai ide, pluralitas-multikulturalisme merupakan dapat dijadikan strategi dari integrasi sosial di mana keanekaragaman benar-benar diakui dan dihormati, sehingga dapat difungsikan secara efektif dalam mengeliminir setiap isu perpecahan dan disintegrasi sosial.
Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa upaya membangun Indonesia yang pluralis-multikultural dimungkinkan dapat terwujud bila konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk memaknai dalam tatanan hidupnya. Bahwa multikulturalisme bukan hanya sekedar sebuah wacana tetapi menjadi sebuah ide gerakan yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya.

0 komentar: