Kamis, 03 Juli 2008

"Masa Depan" Bank Islam

Oleh: Syamsul Kurniawan MR*)

Bank Islam baru berdiri di era tahun 1990-an, yakni ketika kekuasaan Orde Baru dengan kebijakan pembangunannya yang berorientasi ekonomi hampir mencapai klimaks. Padahal dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, seperti Malaysia, Thailand dan Filiphina, negara kita memang terlambat membidani lahirnya Bank Islam. Lebih menyedihkan lagi, jika kita melihat negara-negara luar seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Swiss dan negeri-negeri Arab dan Islam lainnya yang lebih dulu menghadirkan Bank Islam untuk beroperasi di negerinya. Ringkasnya, Bank Islam terlambat muncul di Indonesia.

Di Indonesia, Bank Islam pertama yang beroperasi yakni Bank Muamalat. Disebut Bank Islam karena sistem perbankan yang digunakan banyak mengadopsi nilai-nilai ajaran Islam. Karena itu Bank Islam memiliki sistem ekonomi khusus yang berbeda dengan bank konvensional yang selama ini telah muncul lebih dulu. Sistem perbankan Islam menawarkan sistem keuntungan berdasarkan bagi hasil (profit sharing) atau yang disebut dengan sistem ekonomi syariah. Berbeda dengan sistem bunga di mana keuntungan yang diperoleh tidak didasarkan pada ekonomi sektor riil. Sebaliknya, Bank Islam mengambil keuntungan di sektor ekonomi riil.

Pemberlakuan sistem "bagi hasil" dalam Bank Islam bukan lahir tanpa alasan sama sekali, melainkan Bank Islam memandang bahwa sistem bunga yang selama ini dioperasikan oleh bank-bank konvensional bertentangan secara teologis dengan ajaran Islam. Bertentangannya sistem bunga dengan ajaran Islam muncul karena keyakinan Bank Islam yang menilai sistem tersebut tidak lain sama dengan riba. Kata riba berasal dari Bahasa Arab, yang secara etimologis berarti "tambahan" (ziyadah) atau "kelebihan". Pendapat lain mengatakan riba berarti perbuatan mengambil harta orang lain tanpa adanya imbalan yang memadai. Larangan riba dalam Al Qur'an, dapat disimak dalam beberapa surah, yakni QS Al Baqarah (02): 275, 278-279; QS Ali Imran (03): 130-131, QS An Nisa (04) 160-161; QS Ar Rum (30): 39. Di sini, pelarangan riba muncul akibat dampak negatif yang ditimbulkannya dapat menciptakan eksploitasi manusia atas manusia. Padahal sudah sangat jelas, eksploitasi manusia dikutuk karena tidak sejalan secara diametral dengan nilai-nilai keadilan yang dijunjung tinggi Islam. Di sinilah segi mafsadat-nya kenapa sistem ekonomi riba diharamkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Muchammad Parmudi dalam bukunya Sejarah dan Doktrin Bank Islam (2005), menunjukkan sistem pengharaman riba tidak hanya dijumpai dalam ajaran Islam saja, melainkan dapat dijumpai pula dalam ajaran agama-agama lain, seperti Hindu, Yahudi dan Kristen. Dokumen sejarah perkembangan agama-agama memang menunjukkan demikian. Di India kuno, hukum yang berdasarkan Weda, kitab suci tertua agama Hindu, mengutuk riba sebagai sebuah dosa besar dan melarang operasi bunga. Dalam Agama Yahudi, Kitab Taurat (Bahasa Yahudi untuk hukum Musa as. atau Pentateuch, lima kitab pertama Perjanjian Lama) melarang riba di kalangan Bangsa Israel. Sementara paling tidak satu orang ahli melihat dalam Talmud (hukum lisan yang melengkapi kitab tertulis untuk kaum Yahudi ortodoks) yang bias dan konsisten terhadap kemunculan riba atau laba. Dalam agama Kristen, pelarangan atau restriksi yang keras atas riba berlaku selama lebih dari 1400 tahun. Pada abad pertengahan, bagi umat Kristen pengambilan bunga yang sekarang disebut usury (bunga yang berlebih-lebihan) adalah dosa, dikutuk dengan kata-kata yang keras. Ringkasnya, ajaran agama Islam dan agama-agama lain sama-sama menegaskan larangan melakukan riba.

Hanya saja agaknya, Islam selangkah lebih dulu merealisasikan doktrin pelarangan riba ke dalam lembaga ekonomi yang selanjutnya dikenal dengan Bank Islam atau Bank Syariah. Bank Islam dengan demikian tidak mengenal sistem bunga sebagaimana yang diberlakukan di bank-bank konvensional, karena sistem bunga dipandang sama dengan riba. Bank Islam mengganti sistem bunga dengan sistem yang bukan riba, yakni "bagi hasil bagi rugi" (prophit and lost sharing) atau sistem tanpa bunga dalam mencari keuntungan ekonomi.

Keunggulan-keunggulan Bank Islam, yakni: pertama, adanya ikatan emosional keagamaan yang sangat kuat antara pihak pemegang saham, pengelola bank dan nasabah. Kedua, dengan adanya keterikatan secara religi, semua pihak yang terlibat dalam bank Islam akan berusaha sebaik-baiknya sebagai bagian dari pengamalan ajaran agama sehingga berapapun hasil yang diperoleh selalu diyakini membawa berkah (diberkati Tuhan). Ketiga, adanya fasilitas pembiayaan yang justru tidak membebani nasabah sejak awal dengan kewajiban melakukan pembayaran biaya secara tetap berdasarkan kesepakatan (aqad) kedua belah pihak. Keempat, diterapkannya sistem bagi hasil sebagai pengganti bunga maka tidak ada diskriminasi terhadap nasabah yang didasarkan atas kemampuan ekonominya sehingga aksesbilitas bank menjadi sangat luas. Siapapun dapat dibiayai bank asal memiliki kemampuan dalam berusaha. Kelima, dengan diterapkannya sistem bagi hasil maka cost push inflation yang dimunculkan oleh sistem bunga dapat dihapuskan, sehingga Bank Islam dapat menjadi kekuatan pendukung kebijaksanaan moneter yang andal.

Naik Daun

Kemunculan Bank Islam di bumi pertiwi nyatanya disambut positif dan cukup antusias oleh khalayak ramai. Keberadaan bank Islam di tengah-tengah persaingan ekonomi yang luar biasa ketat, tidak saja kehadirannya amat berguna untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umat Islam, melainkan berguna juga bagi segenap bangsa Indonesia yang dewasa ini sedang giatnya mencari jati diri bagi kemajuannya di masa depan.

Setelah Bank Muamalat berdiri tidak berlangsung lama bank-bank lain turut berkonversi ke bank Islam atau paling tidak mencoba bereksperimen menerapkan kebijakan satu bank dengan dua sistem, seperti BRI Syariah, BNI Syariah, Bank Syariah Mandiri (BSM), dan juga disusul atau hendak disusul oleh bank-bank konvensional lain yang siap berkonversi atau paling tidak sebuah bank menganut dua sistem: sistem bunga sekaligus bagi hasil. Kalau sudah begitu dapatkah Islam menciptakan sejarahnya sendiri sebagai agama yang rahmatan lil alamin (Islam untuk semuanya)?. Hemat saya, jawabannya dapat dijumpai dari sejarah lahirnya Bank Islam dan perkembangannya kelak. Wallahu'alam bishshowab.***

*) Penulis, Pemerhati Sosial dan Keagamaan. Alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

0 komentar: