Jumat, 04 Juli 2008

Kilas Balik “Kebangkitan Nasional Kita”

Oleh : Dedi Suparjo

BAPAK Kita Bung Karno Sang Proklamator pernah berkata jangan pernah melupakan “Sejarah” (jas merah), karena sejarah masa lalu ada kaitannya dengan masa sekarang dan yang akan datang, (Dahlan Zailani, 2000). Kebangkitan nasional merupakan tonggak pertama pergerakan rakyat yang mengantar ke pintu gerbang kemerdekaan. Kohesi sosial yang semula berdasarkan unsur-unsur primordial (suku, bahasa, tradisi, agama) menjadi perasaan senasib dan sepenangungan sebagai elemen dari umat dan bangsa.

Pada massa pergerakan nasional yang dimulai pada 1908-2008, para pemuda terpelajar (Mahasiswa) tersebut, mengawalinya dengan pendekatan organisatoris, ditandai dengan hadirnya lembaga kepemudaan yang kita kenal dengan sebutan “Boedi Oetomo” yang dipelopori oleh para pemuda terpelajar Sekolah Kedokteran Hindia-Belanda (STOVIA), antara lain dr. Soetomo dan dr. Wahidin Sudirohusodo. Momentum tersebut merupakan awal lahirnya kesadaran akan berbangsa (identitas kebangsaan), yang bermakna sangat penting bagi penemuan dan kebutuhan akan “self identity” suatu “nation” yang merdeka dan berdaulat.

Rakyat Indonesia memimpikan sebuah masa depan bersama untuk mengatur diri sendiri sebagai Negara merdeka. Beberapa abad kemudian dibutuhkan nasionalisme yang sama kuatnya ketika melawan penjajah (pemerintah kolonial) bukan berarti merubah makna yang sebenarnya dari rasa Nasionalisme kita itu.

Semua itu, karena nasionalisme baru dipahami sebatas semangat kebangsaan dan geopolitik. Kita belum menjadikan makna sebenarnya dari semangat nasionalisme dan belum menjadikan nasionalisme dalam arti sebagai bagian dari elemen bangsa, untuk termotivasi membangun negeri dan merebut peluang pendidikan, ekonomi, sosial, budaya maupun politik dengan tetap mempertahankan integritas atu ciri khas kebangsaan kita. Ada yang salah dengan perjalanan nasionalisme kita (mungkin benar juga adanya). Rasa senasib-sepenanggungan seperti semasa pergerakan dan kemerdekaan kian menipis. Persatuan nasional yang dibangun dengan susah payah (baca sejarah) dalam perkembangannya menunjukkan tanda-tanda kemunduran. Tanpa adanya revitalisasi nasionalisme sulit dibayangkan seperti apa masa depan Indonesia. Bisa jadi ibarat tubuh tanpa adanya roh di dalamnya (mudah-mudahan tidak benar adanya).

Grametika berbangsa kita akan semakin menurun dalam meningkatkan semangat serta ghirah kebangsaan. Sesekali kita bernostalgia dengan romantisme kejayaan bangsa masa lalu, namun realitas menunjukkan pasca beberapa abad sudah kebangkitan nasional dan kemerdekaan, kita lebih dipermainkan kapitalisme global ketimbang menjadi salah satu bagian dari globalisasi itu sendiri.

Ditengah proses involusi itu muncul nasionalisme dadakan yang janggal (freak Nationalism), yang justru menggerogoti kesatuan bangsa. Nasionalisme kedaerahan, Nasionalisme kesukuan, Nasionalisme religius, dan Nasionalisasi. Warisan nasionalisme para pendiri republik tiba-tiba menjadi asing di negeri sendiri. Dan, elite politik menikmati keter-kotak-kan rakyat demi melanggengkan administrasi pemerintahan yang korup serta memuluskan target-targetnya.

Budi Oetomo terbentuk karena kesadaran akan warisan kebudayaan dan dorongan modernisasi yang senantisa berubah begitu cepat. Para pemimpin pergerakan percaya, hanya dengan menyebarluaskan pendidikan, rakyat akan tercerahkan dan terbebasakan dari belenggu serta keterbelakangan. Pemerintah kolonial pada masa itu diminta untuk mendirikan sekolah dengan sistem beasiswa bagi pemuda-pemudi pribumi berbakat. Kebangkitan kita sebagai bangsa bukan lewat politik bambu runcing, kekuatan massa, atau agama semata, tetapi mencakup keseluruhannya dan lebih indentik kepada politik kebudayaan secara kolektip.

Disitulah kita gagal sebagai bagian dari elemen bangsa, pendidikan bangsa diabaikan. Rakyat tetap lemah dan tidak terdidik. Para elit politik setengah hati untuk mencerdaskan rakyat. Ironis sudah di Republik merdeka, banyak pemuda-pemudi miskin tidak mampu untuk meneruskan pendidikan tinggi karena swastanisasi Universitas Negeri semakin hari dan tahun segala kebutuhan yang ada semakin melonjak naik ke permukaan, yang jelas rakyat miskin akan tetap miskin. Ukuran makna kebangkitan nasional yang sebenarnya adalah sejauh mana rakyat bisa disejahtrakan yang paling utama adalah mengupayakan pendidikan yang memadai bagi rakyat.

Pasca reformasi yang dimulai Mei 1998 genap sepuluh tahun sudah pada Mei 2008, wajah demokrasi kita semakin liar di luar koridor Negara hukum, banyak kasus-kasus yang sudah semenjak lama baru saja terungkap salah satu contoh nyata dengan terjadinya penyelundupan kayu yang terjadi secara besar-besaran di beberapa wilayah di Negara kita (lihat media cetak dan elektronik), kekuatan-kekuatan massa mengorganisasi diri dan main hakim sendiri. Namun, sebagai bangsa, kita tetap lemah, belum mampu berdiri di atas kaki sendiri dan menentukan nasib sendiri, tidak bebas menentukan kebijakan politik yang strategis. Ketergantungan ekonomi terhadap Negara-negara maju masih cukup besar akankah kita tetap seperti ini?

Syarat menjadi bangsa yang mandiri adalah sejauh mana ukuran kebangkitan Iptek dari elemen Negara tersebut. Untuk itu, politik kebudayaan harus jelas agar kita agresif merebut dan menguasai tekhnologi modern. Aneka kecendrungan primordial harus menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman (modern). Maka dari itu semua, sebenarnya yang di cita-citakan para pendiri Republik ini, sejauh mana para generasi sekarang bisa memberikan yang terbaik bagi ummat dan bangsanya, sehingga makna nasionalisme akan memberikan ghiroh dalam memajukan bangsa dan ummat kita, serta sejauh mana kita mampu untuk melahirkan anak bangsa yang pandai dan mampu mengelola potensi alam, kekayaan, dan sumber daya manusia, untuk sebesar-besarnya demi kesejahteraan rakyat. Kini kemajuan bangsa, ditentukan oleh kemampuan kita menjalin kerja sama dengan Negara maju. Tidak berarti harus menggadaikan kekayaan dan kedaulatan Negeri sendiri.

Ketika pembangunan manusia dikorbankan, kekayaan negeri hanya dinikmati segelintir orang. Sebagian besar rakyat tetap miskin. Alih-alih keadilan sosial, akan tercipta kesenjangan sosial yang tidak kita inginkan. Pembangunan harus bertumpu pada penghargaan atas manusia dan kemanusiaan karena Negara memang harus menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar manusia itu sendiri tampa menghilangkan makna sesungguhnya rasa nasionalisme kita yang telah dirintis oleh para pendahulu (Era Kebangkitan Nasional).

Rasa Nasionalisme dalam kilas balik kebangkitan nasional kita yang sebenarnya, penulis sampaikan diatas, menggambarkan bahwa setiap babak sejarah (Jas Merah), para pemuda Indonesia yang terhimpun dalam berbagai lembaga kepemudaan memiliki eksistensi dan peran yang sangat strategis dalam upayanya “merubah sejarah” untuk memberikan kontribusi yang nyata bagi perkembangan bangsa dari massa pergerakan nasional 1908-2008 hingga era reformasi yang kita mulai pada 1998-2008 Sepuluh tahun sudah mudah-mudahan dapat memberikan perubahan yang berarti bagi umat dan bangsa kita . Semoga…

* Penulis Adalah Pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Pontianak; Ketua Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan dan Kepemudaan.

0 komentar: