Kamis, 03 Juli 2008

Problem Kekerasan terhadap Perempuan (Konteks Kekerasan dalam Rumah Tangga)

Oleh Yoerilma Dewi

INDONESIA telah meratifikasi Konvensi Internasional yang berkaitan dengan Konvensi tentang Hak Politik Perempuan (The Convention on Political Right for Women), UU Nomor 5 Tahun 1998, Konvensi melawan penyiksaan dan kekejaman laki-laki perlakuan atau hukuman yang merendahkan atau tidak manusiawi (The UN Convention Against Torture and Other Cruel in Human and Degrading Treatment of Punishment). UU Nomor 7 Tahun 1984, Konvensi tentang Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (The UN Convention the Elimination of Discrimination Against Women). Legislatif yang diwakili DPR RI dan Eksekutif yang direpresentasikan Eksekutif, pada tahun 2004 lalu telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, atau yang oleh kalangan aktivis perempuan akrab disebut UU KDRT, yang didalamnya dimuat tentang aturan-aturan hukum yang cukup menjadi alasan--kekuatan hukum bagi pencegahan atau antisipasi dan penindakan atau penyelesaian terhadap kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga. Untuk konteks UU KDRT, memang terdapat pro dan kontra, ada pihak yang amat antusias meyambut UU ini, karena di anggap sebagai payung hukum bagi gerakan kaum perempuan melawan kekerasan dalam rumah tangga, tetapi ada juga yang memandang UU ini malah mendiskreditkan perempuan, karena perempuan sebagai obyek layaknya seperti kasus regulasi yang mengatur kuota 30% untuk perempuan di legislative.


Namun dengan prasangka baik, munculnya UU KDRT perlu di maknai secara arif, agar dapat diimplementasikan. Masalah kekerasan terhadap perempuan banyak faktor yang menyebabkannya. Dari faktor budaya; budaya yang patriarkhi di seluruh dunia turut memberikan andil terhadap munculnya persoalan-persoalan ketidakadilan terhadap perempuan sehingga perempuan dianggap tak lebih sekedar manusia pelengkap, dan kekerasan terhadapnya pun dianggap sebagai hal yang wajar di dalam rumah tangga. Tradisi agama-agama besarpun di dunia ini kerap menjustifikasi seakan-akan perlakuan yang tidak adil bagi perempuan adalah takdir Tuhan yang 'given' dan doktrin agama malah digunakan sebagai legitimasinya. Padahal secara universal agama haruslah menyumbangkan kontribusi bagi perkembangan peradaban madani manusia secara totalitas baik itu laki-laki maupun perempuan. Di dalam Islam misalnya, ayat-ayat atau hadist-hadits yang misoginis kerap menjadi bahan argumen untuk tetap memposisikan perempuan di dalam kerangkeng kekerasan. Padahal kalau kita mau jujur, tidak ada doktrin agama yang turun di dalam ruang hampa/a-historis, selalu mengalami proses sejarah dan bergeliat erat dengan tradisi patriarkhi masyarakat dimana tradisi agama itu di besarkan (contoh kasus karena Arab yang patriarkhi, seolah-olah agama juga patriarkhi). Artinya untuk kasus agama perlu di bedakan antara agama dan tradisi-tradisi kebudayaan agama.

Menurut Mansour Faqih, ketidakadilan gender (Gender Inequalities) karena perbedaan gender (Gender Differences) merupakan permasalahan yang terjadi di seluruh agama di dunia. Sejarah perbedaan gender antara manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang amat panjang yang pada akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa di ubah lagi, sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan perempuan.

Dalam hal ini di lihat dari fak budaya maka seakan-seakan kekerasan dalam rumah tangga menjadi suatu dinamika masyarakat yang wajar, karena dalam posisinya yang lemah dan secara sistematik-terstruktur perempuan di kodratkan sebagai second class dalam pandangan patriarkhi maka kekerasan terhadap perempuan khususnya di dalam rumah tangga tidak perlu di persoalkan. Seperti yang di ungkapkan oleh Rheni Wahyuni Pulungan, SH dalam makalah Penanggulangan Kejahatan Perempuan dan Anak, bahwa perempuan dengan kekhasan ciri fisik dan sifat feminim yang dominan di perlakukan sebagai individu tidak otonom. Dalam system patriarkhi, perempuan ditempatkan dalam posisi yang tersub-ordinasi.

Seperti yang diungkapkan oleh Katharina Lies, SPd (Anggota DPRD Prov Kal-Bar, Pontianak Post 24 Mei 2005), 'Perempuan sebagai kaum marjinal, masih tersisihkan dari akses pendidikan. Buktinya dari jumlah buta aksara, perempuan menempati urutan teratas'. Kekerasan-kekerasan terhadap perempuan semakin merebak dan marak khususnya dalam rumah tangga, dikarenakan kungkungan system sosio-kultur ditambah tingkat pendidikan yang rendah itu tadi, sehingga kerap tidak diselesaikan secara hukum. Bisa jadi karena ketidak berdayaan perempuan itu sendiri, atau malu karena menganggap hal itu aib keluarga yang tak boleh dibuka di muka publik atau khalayak ramai. Padahal dari kasus-kasus yang muncul, seperti fenomena gunung es yang tampak di permukaan hanyalah sebagian kecil, sedangkan yang mengendap dibawah permukaan, justru sangat besar. Artinya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga yang muncul dan terungkap karena korban melaporkan dan ingin menyelesaikan secara hukum, terlihat sangat kecil persentasenya, yang ada--lebih banyak yang memendam, karena alasan seperti diatas.

Untuk memahami fenomena kekerasan dalam rumah tangga, memang memerlukan penelaahan yang multidimensional baik dari segi factor sosial-budaya, ekonomi, dan cara pandang dalam menjalani hidup (World View), untuk memahami persoalan persoalan tersebut secara totalitas dan dapat agar dapat dicari solusi alternatifnya, sehingga dapat mengeliminir munculnya kasus-kasus tersebut. Namun yang jelas, penyadaran kepada kaum perempuan dan penyadaran untuk merubah cara pandang terhadap struktur dan paradigma berfikir masyarakat memandang kaum perempuan perlu digerakkan secara -massif dan intensif oleh seluruh elemen masyarakat yang peduli terhadap kaum perempuan, agar struktur-struktur patriarkhi, baik yang ada dalam perspektif budaya maupun agama, bisa di 'genah' kan.

Untuk UU KDRT, menjadi sangat penting untuk disosialisasikan dan dengan melakukan gerakan-gerakan massif guna penyadaran kaum perempuan agar melawan kekerasan yang semena-mena terhadap mereka. Ingat, Perempuan bukanlah property yang seenaknya dapat diperlakukan semau hati.

(Penulis adalah Mantan Wakil Sekretaris Umum Bidang Internal Korps HMI Wati (KOHATI) HMI Cabang Pontianak

0 komentar: