Kamis, 03 Juli 2008

Sepenggal Kisah dari Lampu Merah

Oleh: Syamsul Kurniawan, S.Th.I*)

DI sudut lampu merah di sebuah perempatan jalan di Kota Pontianak, nampak beberapa anak kecil berumur kurang lebih 10 tahunan, di tengah terik matahari, dengan pakaian sedikit kusut, menadahkan tangannya pada pengendara sepeda mobil dan sepeda motor yang berhenti Panasnya sinar matahari yang membakar bumi saat itu, nampaknya tidak mereka rasakan dan tidak ia pedulikan. Dengan bertelanjang kaki beberapa "pengemis cilik" berjalan kaki dari satu pengendara ke pengendara yang lain, dengan harap bisa mengumpulkan "uang-uang" receh dari pengendara yang berhenti di sudut lampu merah. Sementara itu, di trotoar jalan, beberapa teman lainnya, duduk-duduk menatap kosong ke arah barat.

Saat ini, tidak sedikit anak-anak yang berkeliaran di jalan. Tidak sekedar berkeliaran, lebih dari itu, mereka bahkan menjadikan jalanan sebagai tempat hidup dan menghabiskan hari-hari mereka di jalanan. Mengemis adalah salah satu pilihan yang dilakukan oleh anak jalanan di samping loper koran. Anak jalanan tidak tahu bahkan tidak mau tahu apakah berdirinya bangunan-bangunan megah, mall, restoran, caf� yang lagi trend pada hari ini, mampu merembes pada nasib mereka. Anak jalanan sebagai aktor yang melakoni sudut-sudut jalan, juga tidak pernah berpikir mengenai, misalnya, peraturan, rambu-rambu atau kenyamanan pengguna jalan. Bagi mereka yang penting adalah bagaimana mereka bisa mengais rezeki di jalan. Siapa yang akan bertanggung jawab dengan masa depan anak jalanan ini?. Entah siapa yang lebih berperan, penguasakah, lembaga-lembaga sosial? Atau tanggung jawab kita semua, yang mengaku manusia, yang mengaku punya hati nurani?.

Kita semua tahu, anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa. Anak bahkan adalah gambaran masa depan suatu bangsa, generasi bangsa dan barangkali calon pemegang tongkat estafet kepemimpinan negeri ini nantinya. Karena itu, kesejahteraan anak dengan demikian perlu diperhatikan. Maka tidak berlebihan jika organisasi dunia PBB memiliki sebuah organisasi khusus yang mengurusi anak, yakni UNICEF dan bahkan "Hari Anak Nasional" di negeri ini juga selalu diperingati setiap tahunnya. Secara legal formal, negara juga menunjukkan kepedulian terhadap masa depan anak-anak jalanan ini. Dalam pasal 34: 1 UUD 1945 diterangkan: "Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara". Berdasarkan pada pasal itu maka anak jalanan merupakan tanggung jawab negara. Tapi ada yang "ganjil". Anak jalanan justru semakin meningkat secara kuantitas di daerah perkotaan dan di daerah-daerah sub urban.

Hemat saya, fakta ini menunjukkan ada yang perlu diluruskan dalam pola kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini yakni kebijakan struktural yang belum menyentuh penanganan mereka secara serius. Pemimpin rakyat sibuk memperkaya diri seolah-olah tanggung jawab memenuhi "janji-janji" kampanye mereka dianggap selesai saat mereka sudah mendapatkan kursi kekuasaan yang mereka inginkan. Nasib "orang miskin" di negeri ini selalu ditelantarkan dan tidak pernah mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah.

Kalau begitu, adakah maksud Pasal 34: 1 UUD 1945, hendak dibaca: fakir miskin dan anak-anak yang terlantar "dipelihara" oleh negara. Ringkasnya, selalu ada dan "hendak dipelihara" di negeri ini. "Menggelikan". Fakta ini juga menunjukkan gagalnya sistem perekonomian yang sedang dibangun di negeri ini, yang hanya buat keuntungan segelintir orang atau kelompok. Orang kaya makin kaya dan orang miskin makin menderita. Padahal kata Mahatma Ghandhi: "Keteraturan dalam sebuah bangsa bukan dilihat dari jumlah milyuner yang dimiliki, tetapi dari ketiadaan bencana kelaparan di masyarakatnya".

Memudarnya Solidaritas Sosial

Di samping itu, semakin memudarnya solidaritas sosial di kalangan masyarakat dan semakin menipisnya keadilan distributif ekonomi juga sangat berperan menciptakan ruang sempit bagi segolongan masyarakat lain, tak terkecuali anak jalanan ini. Ini dapat dipastikan, membuat masalah jalanan semakin kompleks. Asap yang mengepul dari kendaraan-kendaraan bermotor di ruas-ruas jalan dan "belas kasihan" pengguna jalan di sudut-sudut lampu merah terkesan berfungsi sekali sebagai penopang ekonomi mereka. Orang boleh prihatin, tapi rasa prihatin tidak akan mengenyangkan rasa lapar mereka, dan air mata orang-orang juga tidak akan menghilangkan dahaga mereka.

Pada aras ini, orang yang mengaku beragama, hendaknya menyadari bahwa "jalan" bukan hanya berfungsi sebagai sarana transportasi semata. Di sana ada kompleksitas problem yang harus di urai, termasuk masalah anak jalanan. Anak jalanan juga manusia. Dalam pandangan agama, bergaul, membimbing dan mengayomi mereka (anak-anak jalanan) bisa saja menjadi bentuk ibadah kita pada Tuhan.

Di sini, rasa solidaritas, saling membantu dan menyayangi merupakan bentuk sikap manusiawi yang harus ditampilkan semua orang yang mengaku beragama. Kata Peter L. Berger (2005), agama-agama harusnya menggunakan prinsip kedermawanan dan kesukarelaan (voluntary principle) sebagai jalan untuk membangkitkan aksi-aksi yang membebaskan. Karena pada hari ini, agama-agama mulai terjebak pada kesadaran akan kebenaran terhadap ajaran semata (ortodoksi) tapi mengabaikan realitas sosial. Bukankah agama-agama harusnya melangkah pada upaya memahami realitas sembari melakukan aksi-aksi pembebasan (ortopraksi). Kata Pramoedya Ananta Toer, keindahan itu terletak pada kemurnian kemanusiaan, yakni perjuangan untuk kemanusiaan dan pembebasan terhadap penindasan. Ringkasnya, Sikap rela berkorban dan mau berbagi dengan sesama jauh lebih baik daripada menampilkan atribut keagamaan tertentu yang dipahami secara bar-bar, tapi pemahaman agama kita masih setinggi lutut. Disebut "mendustakan agama" jika di dalam ritus keagamaan kita hapal semua ayat suci, namun tak perduli pada nasib saudara sebangsa yang menderita. Firman Allah SWT: "Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin" (QS 107: 1-3).***

*) Penulis, Pemerhati Sosial-Keagamaan di Pontianak.

0 komentar: