Selasa, 22 Juli 2008

Tradisi Yang Masih Bertahan

Oleh: Sutami

Mencoret seragam menjadi tradisi yang terus bergulir di kalangan pelajar dalam merayakan kelulusan. Eksperesi selama masa tempuh belajar dicurahkan dengan meluap-luap meskipun pakaian menjadi korban. Perilaku yang tumbuh menjalar subur hingga sekarang meskipun tidak tahu siapa pemilik ide perdananya. Alangkah indah busana sekolah tak dimubazirkan, tetapi disumbangkan kepada kalangan yang lebih memerlukan. Itulah harapan dari para kalangan kaum bijaksana.

Namun dari tahun ke tahun perayaan kelulusan dengan coretan di seragam tetap menjadi trendi. Seperti tidak ada kekuatan untuk membendung apalagi meniadakan budaya tersebut. Faktor pengaruh pergaulan dapat menjadi tarik perkaranya jika di lihat dari sisi jiwa muda. Sebab selama di bangku sekolah tidak akan pernah guru menginstruksi coret-mencoret dalam merayakan kelulusan. Kejadian yang begitu akrab di dunia pendidikan Indonesia pasca pengumuman hasil ujian nasional. Dan dalam kurikulum sistem pendidikan nasional mustahil melegalkan setiap penyimpangan perilaku produknya.

Ketika era kelulusan berstandar nasional justru perilaku mencoret semakin terpompa bagi kalangan pelajar yang lulus. Adalah sebuah prestasi akbar untuk dapat melintasi level yang ditentukan sebagai standar kelulusan. Buktinya adalah banyak pelajar Indonesia harus mendapatkan ijazah dari hasil penyetaraan sebagai konsekuensi tidak meratanya pendidikan.

Mencermati dinamika sosial yang terjadi, pasti ada sentuhan-sentuhan nilai yang akan diperjuangkan agar sesuatunya berubah ke arah yang baik. Kalangan pelajar dengan aksi coret-coret sedang generasi tua tetap sibuk dalam kancah korupsi yang terus menggebu dari segi nominal. Setiap persoalan tidaklah dapat dijadikan sebagai kesimpulan, namun tidak salah dijadikan sebagai analisa awal dalam menguraikan pendapat.

Di saat Indonesia menjalani hidup reformasi sejak 1998, pintu nasib bangsa sedikit berubah dalam segi penempatan maupun pemilihan aparatur negara. Namun kerinduan akan menikmati hidup sejahtera tetap terus bergelora. Dan tidak puas para pemimpin berkampanye bersuara bahwa perjuangan meretas kesejahteraan mereka pikul secara serius. Situasi yang terus mengalir menjelang siklus pergantian kepemimpinan; Indonesia sekarang sedang mengalaminya.

Nuansa kehidupan politik bangsa harus diakui memang berubah. Ambruknya kekuasaan orde Baru membuat semangat politik generasi bangsa terus menggebu. Akibat terlalu menggebu menjadikan ide-ide politik bertebaran dijalanan melalui spanduk hingga iklan di media elektronik yang sangat memakan biaya tinggi. Masing-masing menegaskan kefiguran yang merakyat, memiliki jiwa sosial tinggi sampai menciptakan jargon-jargon terbaru.

Dari segi aktifitas kebebasan, kehidupan politik bangsa boleh menjadi harapan. Menjadi lahan kritis tetapi di rentang waktu merealisasikan spirit yang dibuat. Sulit mendapatkan perubahan berarti dalam kehidupan rakyat. Keberpihakan pemerintah masih bersifat memanfaatkan momen tidak lebih dari itu. Simpati rakyat mayoritas digali menjelang pemilu dan ritmenya tak pernah berubah. Meskipun rakyat terus mendapatkan kebohongan-kebohongan.

Ruang demokrasi menjadi tak berarti karena roda yang berputar tidak pernah menuju jalan yang di atur dalam peta peraturan. Lencengan-lencengan para petualang politik tetap mewarnai kebijakan bagi rakyat Indonesia. Demokrasi terjadi hanya di saat pemilihan, itupun dari segi praktik hujan-hujan manipulasi tetap berjalan. Jadi bagaimana nasib bangsa ke depan? Yang jadi pemimpin cukup meng-iklankan diri, cukup melakukan money politic. Sosok pemimpin yang dihasilkan tak lebih tokoh-tokoh yang hanya akan berbicara untung rugi secara financial. Sehingga suasana kepemimpinan yang lahir cengkreman politiknya sulit menerima perbedaan akibat tidak paham konteks demokrasi sesungguhnya.

Kritik yang dilontarkan selalu dianggap sebagai manuver lawan politik bahkan dianggap subversif alias merongrong keamanan negara. Dalih penguasa jika otoriter memang demikian. Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Dalam menanggapi aksi protes kenaikan BBM 24 Juni 2008 yang menghasilkan hak angket DPR pemerintahan SBY-JK merongrong perilaku kritis dengan melakukan penangkapan-penangkapan kepada mahasiswa bahkan Ketua Dewan Tani Indonesia Ferry Yuliantono langsung ditangkap karena dituding sebagai provokator aksi.

Melihat tindakan dari pemerintahan sepertinya gaya-gaya orde Baru kembali dimainkan. Setiap pemikiran kritis langsung di jebloskan ke dalam tahanan. Sri Bintang Pamungkas korbannya era Orde Baru dan Ferry Yuliantono korban era reformasi. Jadi pola orde baru masih tetap dilakukan demi mengamankan kekuasaan tanpa perlu melihat benar atau salah. Sehingga jalannya kepemerintahan bangsa Indonesia tidak ubahnya dengan pola pelajar merayakan kelulusan. Jika pelajar lulus dirayakan dengan coret-coret, maka pemerintah jika ingin mulus kekuasaannya adalah dengan tangkap-menangkap. Padahal seharusnya di era reformasi penangkapan karena kritik harus sudah tamat karena tradisi demikian adalah miliknya Orde Baru. **

* Penulis adalah Mahasiswa Untan

1 komentar:

Melinda Rachman mengatakan...

namanya juga jiwa anak muda hehheh,
ada benarnya juga sih, ya paling nggak hanya satu baju aja yang dicoret2, yang lain bisa disumbangkan :)