Selasa, 22 Juli 2008

Demonstrasi dan Anarkisme vs Intelektualitas

Oleh: Masngud Zauzi

Aku temukan perbudakan buta, yang mengikatkan kehidupan orang-orang saat ini dengan masa lalu orang tua mereka, dan memaksa mereka agar menyerah pada tradisi dan adat-istiadat, seraya menempatkan spirit kuno dalam tubuh yang baru.

Aku temukan perbudakan lembut yang menamai benda-benda bukan dengan nama-nama mereka yang tak memiliki nalar, tanpa pengetahuan, lemah dan pengecut,..

Aku temukan perbudakan sinting, yang menyebabkan lidah orang-orang lemah lari karena takut dan berbicara diluar perasaan mereka,.....

Aku temukan perbudakan lentur, yang menyebar di suatu negara dan membujuknya untuk mengikuti hukum-hukum dan aturan-aturan negara lain,.....(Kahlil Gibran).

Demikian prakata yang dapat kita renungi saat ini ketika melihat realitas kehidupan bangsa yang kita cintai ini. Sebuah prakata yang akan membuat kita semakin sadar bahwa kita adalah budak-budak yang tercipta karena kegagalan dalam mewujudkan kebenaran. Seringkali kita menyaksikan aksi-aksi demonstrasi yang mengatasnamakan kebenaran dan pembelaan atas penindasan yang dilakukan atas kelompok-kelompok menengah kebawah. Benarkah demikian aksi yang terjadi saat ini?

Selama satu bulan terakhir ini kita kerap kali mendengar dan melihat aksi-aksi demonstrasi terjadi di negeri yang kita cintai ini, Indonesia. Demonstrasi yang terjadi dengan alasan yang beragam, mulai dari upaya penolakan kenaikan harga BBM, berkaitan penegasan SKB untuk jamaah Ahmadiyah dan aksi-aksi lainnya. Aksi-aksi tersebut terjadi karena dipicu oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang dipandang tidak pro rakyat. Bangsa yang besar ini begitu 'miskin'. Bangsa yang besar ini 'tergantung' pada kekuasaan negara-negara adikuasa. Kemiskinan yang riil pada masyarakat kita adalah kemiskinan secara materi. Jumlah penduduk miskin di Indonesia, menurut data dari BPS mencapai 39.05 juta jiwa pada maret 2005. Artinya, sebanyak 17.35% dari total penduduk Indonesia yang mencapai 222 juta jiwa masoh hidup di bawah garis kemiskinan. Namun, pada dasarnya kemiskinan yang sesungguhnya bukanlah kemiskinan dari segi materi, melainkan kemiskinan moralitas dan kemiskinan spiritualitas. Kenapa demikian?

Tahun 1945 bangsa ini merdeka dari penjajahan pihak asing. Hari ini dan masa-masa yang akan datang bangsa ini akan terus 'terjajah' oleh sistem bangsa yang pragmatis. Kita hidup pada zaman yang serba pragmatis yang menjadikan kita tidak berdaya dan kahirnya kemiskinanlah yang muncul. Akibat dari kemiskinan itu adalah kejahatan, konflik sosial, dan kemunduran kebudayaan. Banyak kalangan yang saat ini mengeluhkan terjadinya kejahatan yang terjadi dalam masyarakat, mulai dari kejahatan seksual, kejahatan moral, sampai kejahatan fisik.meskipun demikian, sebagian besar dari mereka juga masih melihat sebab-sebab kejahatan berasal dari diri manusia itu sendiri, dan bukannya dari kondisi sosial-ekonomi yang tersedia dimasyarakat (Soyomukti, 2008).

Sesungguhnya dalam diri manusia terdiri atas dua unsur, yaitu unsur nafsu setan dan malaikat. Unsur nafsu setan adalah amarah, yaitu nafsu melawan dan menentang Tuhan; sedangkan unsur malaikat disebut unsur mutmainah, yaitu nafsu untuk tunduk dan menjalankan perintah Tuhan. Kejahatan yang merajalela hanya dilihat dari akibat kekalahan manusia dalam mengendalikan nafsu. Bukan karena faktor kemiskinan atau ekonomi, tetapi karena manusia tidak belajar dari hakikatnya sendiri. Lalu, bisakah kita berandai-andai dan mengharapkan bahwa setiap anggota masyarakat akan mampu memahami hakikat dirinya sendiri atau keadaan masyarakatnya?

Aksi demonstrasi yang terjadi saat ini adalah upaya memberangus kejahatan dalam wujud halus, kekerasan yang terselubung dalam kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat. Demikianlah dalih-dalih yang digunakan oleh demonstran. Sesungguhnya aksi tersebut adalah pilihan yang 'keliru' dalam menyikapi persoalan bangsa yang begitu kompleks. Pernahkah kita diajarkan untuk menegakkan kebenaran dengan kekerasan? Sekalipun ada tentu ada masanya dan dalam kondisi tertentu. Saat ini bangsa ini memerlukan solusi yang cerdas, tidak memerlukan aksi masa yang berakhir pada kekerasan atau pun penganiyaan.

Perlu pembenahan pada diri setiap insan yang menganggap dirinya ber-Tuhan dan memiliki hati nurani. Berpikir jernih, tidak berorientasi pada hasil, namun berorientasi pada proses tentu akan membuat kita semakin dewasa dalam menyikapi persoalan. Mahasiswa, adalah harapan muda bangsa ini. Mahasiswa adalah penerus perjuangan bangsa ini, penerus estafet kepemimpinan bangsa, maka berpikir kritis dan analis adalah suatu kewajiban, namun bukan berarti berpikir radikal. Idealisme mahasiswa yang hakiki harus tetap ditegakkan, yakni bagaimana mendewasakan pikiran agar bisa mengatasi segala persoalan hidup dengan pola pikir yang sistematis, kritis, analisis, dan komprehensif. Namun disisi lain, mahasiswa juga harus menghadapi banyaknya godaan faktual yang sangat menarik dan menggiurkan yang bisa membuatnya menyimpang dari idealisme hakiki mahasiswa.

Demonstrasi yang berakhir dengan kekerasan fisik dan penganiayaan adalah menggugurkan intelektualitas yang dimiliki. Berlaku aniaya adalah menurutkan nafsu setan yang ada dalam diri sendiri. Seharusnya intelektualitas yang dimiliki akan mampu mengendalikan nafsu yang kita miliki, bukan intelektualitas menjadi landasan dasar menuruti nafsu setan. Harus ada perubahan dalam tiap-tiap diri ini agar tidak lagi tercipta kekerasan dalam bangsa ini oleh kalangan intelektual. Tidakkah kita malu sebagai insan yang terdidik berprilaku sama denga mereka yang 'kurang terdidik'? Terdidik dan kurang terdidik bukan ukuran dalam pendidikan formal, namun lebih pada terdidik secara moral dan estetika.

Manusia terlahir tidak sama dengan binatang, yang begitu terlahir dapat berjalan atau berlari. Manusia harus melewati proses untuk bisa melakukan sesuatu. Demikian pula dengan bangsa ini, perlu waktu yang lama untuk menjadi bangsa yang 'besar', besar dalam memberikan yang terbaik bagi rakyatnya. **

Penulis adalah mahasiswa STAIN Pontianak, Ketua Umum HMI Komisariat Syari'ah Cabang Pontianak.

0 komentar: