Selasa, 22 Juli 2008

Menghardik Kesadaran

Oleh: Sutami

Menjalani hidup akan sangat berarti ketika dijalani dengan penuh kesadaran. Semangat keingintahuan akan terobati. Maka tidak heran apabila ilmu dituntut setinggi-tingginya oleh manusia agar memiliki senjata penangkis perusak kesadaran. Perlombaan di dunia modern terkadang menimbulkan usaha menenggelamkan tata kehidupan yang berlatar kolaborasi manusia dengan alam.. Kesigapan mental harus siap menjawab bahkan menantangnya. Karena manusia hadir adalah simbol penyuara kebenaran. Indah tentu dunia jika seluruh penghuninya memiliki kesadaran tinggi ditambah ruang kesadaran tak ada usaha untuk melakukan penyumbatan.

Indonesia sebagai bangsa yang memiliki keluasan wilayah ditambah alam yang kaya, sumber tenaga kerja melimpah tapi dalam mengisi kemerdekaan sangat sakit kondisi untuk bangkit dari runyamnya masalah pendidikan, kesehatan, ekonomi sampai sosial politik sekaligus. Keadaan paling utama menghantam adalah soal ekonomi dan politik. Komposisi keduanya seperti saudara kembar tapi berbicara landasan sepak terjang amat jauh satu sama lain. Tapi masing-masing selalu saling mempengaruhi dan pengaruhnya menjadi penentu nasib sebuah bangsa. Hantaman krisis ekonomi 98 membingkai hingga sekarang terus membutuhkan penyelesaian. Penyelesaian taraf hidup masyarakat yang terus membungkuk akibat ulah pemerintah mengurus negara secara tidak ikhlas.

Suara-suara penderitaan seakan tidak menjadi gemingan bagi pemerintah. Kebohongan bagi masyarakat terus dipamerkan tanpa rasa malu sedikit pun mempertontonkannya. Namun kejadian tersebut terjadi pada bangsa Indonesia. Bangsa penganut budaya ketimuran yang penuh etika, penuh sopan santun dan beradab. Tapi pemimpinnya memelihara ketidakjujuran dengan mengandalkan keahlian menyilatkan lidah. Ketika ketidakjujuran terus tak disingkirkan dari sifat-sifat jiwa pemimpin bangsa, akan terselamatkankah penderitaan nasib bangsa yang terus merengek-rengek untuk menjauhi kemiskinan dan kebodohan?

Dengan alasan menyelamatkan keuangan negara, kebijakan memahalkan BBM menjadi langkah utama pemerintah. Meskipun SBY-JK adalah duet penguasa pertama Indonesia yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Pemerintah seakan-akan selalu berseloroh bahwa BBM bersubsidi selalu orang kaya yang menikmati. Sebagai self implementasi, kenaikan BBM langsung terasa faedahnya. Mulai dari tak mampu melautnya para nelayan, naiknya ongkos angkot, bahkan mie instan sekalipun ikut menyesuaikan tarif. Berarti pendapat yang dilontarkan pemerintah kepada publik tak lebih dari memanfaatkan ketidaktahuan mayoritas penduduk Indonesia karena mayoritas masih terbelakang soal pendidikan.

Kenaikan harga minyak dunia dipakai sebagai lokomotif pembenar kebijakan yang diambil. Tetapi tidak pernah proses detail disampaikan kepada masyarakat mengenai BBM. Masihkah kekayaan minyak di perut Indonesia diperuntukkan bagi kemakmuran rakyat? Hal tersebut butuh kejujuran dari SBY-JK beserta ahli ekonominya. Di saat minyak naik, idealnya Indonesia menikmati surplusnya tapi yang terjadi justru kekayaan melimpah tak mampu menyelamatkan sang penghuni.

Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat paska krisis justru hanya menjadi impian. Bangsa yang merdeka di tahun 45 seakan hanya menjadi bayangan semata. Sebab bayangan hanya dapat diprediksi tapi tak dapat rasakan. Beginilah kondisi bangsa, kebijakan yang dilahirkan pemerintah merupakan kebijakan hasil pesanan para imprealis kapitalis. Akibat menggantungkan nasib dengan IMF, otomatis Indonesia harus tunduk dengan LoI (Letter of Intent) secara instrumental dalam kebijakan ekonomi. Salah satu agenda paling krusial dan wajib dilaksanakan sebagai bukti kepatuhan dengan IMF adalah mengurangi jatah subsidi di sektor publik. BBM menjadi bukti jelas, belum genap lima tahun SBY-JK berkuasa tapi harganya telah melonjak tiga kali.

Luapan ketidakberdayaan masyarakat memang banyak terlontar sebagai bukti protes dengan pemerintah. Namun rasa marah dari segenap warga bangsa tak mampu melawan superioritas yang dimiliki oleh pemerintah. Pemerintah memiliki bedil, memiliki tank, memiliki polisi, memiliki tentara dan memiliki tim ahli ekonomi. Sehingga rasa penasaran masyarakat tentang kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM disaat kondisi ekonomi rakyat masih porak poranda dengan sigap logika masyarakat dilumpuhkan agar fikiran kritis lenyap.

Protes ketidaksetujuan kebijakan pemerintah bahkan dituding sebagai aksi yang ditunggangi, terutama gerakan moral para mahasiswa. Tanda-tanda otoritarianisme yang anti kritik dalam berkuasa pantas dilontarkan dalam memaknai konteks realitas yang terjadi. Bahkan konsep ekonomi pemerintah seakan-akan konsep tak memiliki nilai sama sekali. Konsep Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau bagi-bagi uang tak ada kamusnya dalam teori ekonomi dunia. Dan BLT adalah money politic gaya baru di era reformasi yang dijalankan oleh pemerintah agar masyarakat 'membeo' terhadap kebijakan yang dilakukan, meskipun sebenarnya adalah pencekikan leher rakyatnya sendiri. Letak kemanusiaan penguasa telah hilang dari peradaban Indonesia, sehingga tidak heran gelombang reaksi mahasiswa di bombardir melalui sang penurut setia, yakni polisi.

Kemunculan Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM) menjadi langkah pemerintah menjawab protes kebijakan menyimpang. Jika pemerintah sungguh-sungguh, tak perlu BKM, tapi RUU BHP lah yang pantas dihapuskan karena akan membuat kampus menjadi lembaga yang tak bersahabat dengan orang miskin. Namun semakin jelas bahwa BLT dan BKM adalah muara pemerintah untuk melenyapkan daya kritis dari rakyat yang sadar akan kekhilafan pemerintah dalam menjalankan amanah kekuasaan yang diberikan. Berarti sekarang pengekangan kesadaran tidak hanya dalam bentuk intimidasi kekerasan, melainkan telah dalam bentuk sogokan seperti kasus Kemas Yahya dan Ayin. **

* Penulis adalah mahasiswa Untan.

0 komentar: