Minggu, 29 Juni 2008

Ekonomi Islam dan Keseimbangan

Oleh: Rasiam, SE.I
ADA pertanyaan sederhana terhadap pandangan dunia ekonomi, yaitu apakah paradigma ekonomi Islam berbeda secara signifikan dari ekonomi konvensional? Sementara disisi lain ada kesamaan pandangan (point of view) antara agama terkemuka yaitu Islam, Kristen dan Yahudi. Agama Kristen mengajarkan bahwa kebajikan merupakan hal yang harus dilaksanakan oleh ummatnya, begitu juga dengan agama Yahudi menginginkan ummatnya juga berbuat demikian. Islam juga sangat menganjurkan untuk berbuat baik, jujur dan adil. Bahkan ada konsekuensi logis yang harus diterima oleh ummatnya seperti mendapatkan pahala jika berbuat baik dan mendapatkan dosa (siksa) kelak di akhirat jika berbuat buruk.

Dalam kontek ekonomi Islam menekankan pentingnya perubahan melalui perbaikan individu dan sosial. Jika melihat sejarah kebelakang bahwa nabi Muhammad dan para sahabatnya bukan hanya membawa nilai akan tetapi membawa misi tertentu yang terbungkus dalam kepentingan keadilan. Hal ini diinginkan terwujudnya falah (kesejahteraan).

Salah satu sumbangan terbesar Islam kepada ummat manusia dalam kontek kebijakan ekonomi adalah prinsip keadilan. Misi keadilan di bidang ekonomi menjadi salah tugas berat nabi dimana kondisi kelas-kelas dalam masyarakat sengaja diciptakan agar terjadi kesenjangan. Yang kaya selalu mendominasi terhadap si miskin. Hal ini berjalan cukup lama dikarenakan tidak ada peraturan yang dapat mencerahkan mereka (kaum jahiliyah). Dalam kondisi seperti ini nabi datang dengan menentang dominasi. Salah satu hukum yang diberlakukan adalah dilarangnya riba. Karena pada saat itu riba menjadi alat komoditi kaum kaya untuk selalu mengeksploitasi masyarakat miskin. Dengan adanya aturan pelarangan terhadap riba, sedikit demi sedikit keadilan bisa ditegakkan.

Sampai saat sekarang konsep keadilan masih menjadi wacana menarik untuk selalu diungkapkan dan ditegakkan, karena kondisi sosial dari dulu hingga sekarang masih selalu diterpa oleh kondisi yang tidak adil. Untuk itu Abu Yusuf mengatakan, dalam suratnya yang dikirim ke Khalifah Harun al-Rasyid mengatakan; memperbaiki keadilan akan meningkatkan pendapatan pajak, mengeskalasi pembangunan negara, serta akan membawa berkah yang menambah kebaikan di akhirat. Al-Mawardi juga berargumentasi bahwa keadilan yang menyeluruh dapat menanamkan saling mencintai dan kasih sayang, ketaatan hukum, pembangunan bangsa, keamanan, dan kedaulatan ,dan bahwa tidak ada satupun yang akan merusak dunia selama hati nurani masyarakat lebih kuat dari pada ketidakadilan. Ibn Taymiyyah menganggap bahwa keadilan adalah nilai utama dari tauhid (mengimani bahwa Allah Yang Maha Esa).

Mainstream pemikiran Islam sangat jelas dalam mencirikan tingkah laku rasional yang bertujuan agar mampu mempergunakan sumber daya karunia Tuhan dengan cara yang dapat menjamin kesejahteraan duniawi individu sebagaimana kesejahteraan duniawi orang lain, sampai akhirnya menghasilkan keseimbangan antara tujuan material dan spiritual dan antara kepentingan pribadi dan sosial.

Untuk itu kesalehan sangat dibutuhkan untuk meraih keseimbangan yang dimaksud. Al-Mawardi mengatakan, bahwa ilmuan muslim perlu mengekang keinginan pribadi melalui nilai-nilai moral. Selanjutnya Ibn Kaldun menekankan bahwa orientasi moral membantu menghilangkan rasa saling permusuhan dan iri hati, memperkuat solidaritas kelompok, dan mendorong perbuatan kebajikan.

maka pelaku ekonomi muslim bisa membedakan antara kebutuhan (need) dan keinginan (want). Kebutuhan adalah dimana kita harus membelanjakan keperluan sesuai dengan kebutuhan tanpa harus berlebihan diluar batas kemampuan. Sementara keinginan (want) adalah suatu bagian dari sikap tamak yang sulit untuk di rem. Membelanjakan sesuatu sesuai dengan keinginan, walaupun berada di luar batas kemampuan. Kemampuan konsumen bukan berarti harus melegitimasi sifat yang berlebihan. Islam dengan tegas tidak membenarkan sifat yang berlebih-lebihan. Jika ini terjadi maka dampak negatifnya akan berimbas pada dirinya dan orang lain, salah satunya adalah pemborosan. Di samping itu ada hak-hak konsumen lainnya yang terdhalimi. Gaya konsumsi yang glamour terus meningkat bahkan terjadi pada masyarakat kelas menengah kebahwah karena mereka sudah tertipu (imitasi). Jiwa seperti ini juga merambah pada masyarakat kelas menengah ke atas, dan tidak jarang ditemukan korupsi terjadi di mana-mana hanya untuk hidup mewah (konsumerisme) belaka. Untuk itu sangat sulit mengerem gaya hidup seperti ini tanpa adanya moral yang membentenginya.

Hal ini terjadi mungkin karena mereka tidak menyadari bahwa kebutuhan Dunia Islam bukanlah modernisasi yang berasosiasikan hedonisme dan penghalalan segala cara, tapi yang dibutuhkan adalah program yang mewujudkan demokrasi, pendidikan dan tekologi yang dilandasi moral. Apabila kecenderungan ini terus berlanjut, maka konsekuensinya adalah semakin menonjolnya ketidakseimbangan masalah-masalah sosial-ekonomi.

Di dalam paradiqma ekonomi Islam juga sesungguhnya tidak ada sama sekali ruang untuk bebas nilai. Merupakan suatu kelancangan jika manusia berbuat bebas nilai dalam menyikapi kondisi yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Semua harus kembali kepada hukum alam, bahwa tidak seharusnya ada sesuatu akibat dari ilmu pengetahuan itu menghasilkan sesuatu yang menyalahi sunnatullah (naturalistic law). Sebagai contoh, ilmuan sanggup mengkloning antara manusia dan hewan. Memang diakui bahwa ilmuan yang sanggup berbuat demikian adalah merupakan suatu keberhasilan yang luar biasa, akan tetapi sesungguhnya dia telah menyalahi hukum alam. Manusia dan hewan sangat tidak mungkin untuk disatukan karena berbeda kodrat penciptaannya. Di satu sisi kita mengakui kemajuan ilmu pengetahuan, akan tetapi disisi lain kita tidak boleh lepas dari etika dan moral sehingga tidak berdampak pada pelanggaran hukum alam (naturalistic law). Inilah salah satu contoh bahwa ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam (termasuk bidang ekonomi) tidak bebas nilai.

Demikianlah paradigma ekonomi Islam dimana dalam semua pembahasannya tidak terlepas dari kontek kepentingan sosial dalam artian selalu mengutamakan keseimbangan, baik keseimbangan individu-sosial maupun keseimbangan dunia-akhirat. Wujudnya adalah dengan mengutamakan prinsip keadilan. Semua konsepnya difokuskan pada persoalan bagaimana ekonomi mampu mewakili keadilan yang akan dialami oleh setiap manusia tanpa harus membedakan-bedakan.

(Penulis adalah alumni STAIN Pontianak dan pendiri Forum Ekonomi Syari'ah (FES) Kalbar)

0 komentar: