Minggu, 29 Juni 2008

MENGENANG CAK NUR

Rudy Handoko

Cak Nur memang telah berpulang ke Rahmatullah, namun gerak pemikiran yang telah dirintis secara makrokospic (meminjam bahasa Budhy Munawar Rahman) oleh seorang manusia yang bernama Nurcholish Madjid telah begitu meninggalkan kesan mendalam bagi generasi penerusnya, apalagi generasi penerus ini mempunyai tugas lanjutan guna melanjutkan perjuangan itu, tentunya dengan segala mindset yang harus lebih segar dan transformatif.

Cak Nur demikian akrabnya, seorang manusia yang menjadi rupa pemikiran kontemporer Islam, generasi pembaharuan yang corak dan karakteristik pemikirannya menjadi tonggak sejarah gerakan pemikiran Islam di Indonesia khususnya. Yah…Nurcholish Madjid, yang akrab di sapa Cak Nur, tokoh yang lahir di Jombang Jawa Timur ini, begitu akrab namanya ditelinga.
Bak pepatah lama mengatakan, gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, maka manusia mati meninggalkan suatu catatan sejarah tentang apa yang diperbuatnya terutama kontribusi yang diberikan terhadap pencerahan negerinya. Tiada apapun yang lebih bernilai yang ditinggalkan oleh Cak Nur selain buah pemikirannya, yang mungkin bagi sekelompok orang kerap menyengat dan memancig kontroversi. Perjalanan intelektual Cak Nur dimulai dari sebagai siswa Kulliyatul Muallimin Islamiyah (KMI) Pon-Pes Gontor, lantas meneruskan jenjang pendidikannya ke perguruan tinggi IAIN Ciputat (UIN sekarang), kemudian bersentuhan dengan dunia aktivis semasa beraktivitas di HMI Cabang Ciputat sampai menduduki posisi Ketua Umum, hingga story-nya ditakdirkan memimpin HMI secara nasional sampai dua periode lagi mulai 1966-1971. Tak kurang dari 13 buah pemikiran karyanya yang terpublikasikan dalam bahasa Indonesia, 3 buah karyanya dalam bahasa Inggris. Pendiri Yayasan Wakaf Paramadina/Universitas Paramadina yang menjadi dapur pemikiran baik yang berbau agama, sosial, politik dan budaya. Kemudian pernah pula sebagai anggota Tim 11 pada saat genting pasca reformasi 1998.
Seperti yang diungkapkan oleh Fachry Ali, juniornya semasa di HMI Ciputat, bahwa Cak Nur adalah sebuah fenomena untuk konteks masyarakat Indonesia. Sifat fenomenal tokoh ini dapat kita lihat pada fakta bahwa dengan kekuatan pribadi dan pemikirannya, Cak Nur mampu melahirkan pengaruh terhadap perubahan-perubahan tertentu dalam masyarakat Indonesia. Pengaruh dan perubahan-perubahan itu bisa bersifat institusional dan literer. Lebih lanjut Fachry menambahkan, secara institusional pengaruh kekuatan pribadinya dapat terlihat pada spesifik organisasi HMI dan Yayasan Paramadinanya. Secara literer, kehadiran Cak Nur telah memperkaya khazanah literature intelektual di Negara kita (Baca: Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer).
Periodesasi selama memimpin HMI, membuatnya mulai getol menyuarakan tentang perlunya pembaharuan pemikiran Islam, meski awalnya Cak Nur belumlah sekontroversial sesaat dia mengumandangkan tentang perlunya modernisasi pasca pulang dari USA. Kalau kita telaah lebih lanjut perjalanan pemikiran Cak Nur, didalam Pergolakan Pemikiran Islam Catatan Harian Ahmad Wahib, maka sekilas gambaran saat itu, di internal HMI terdapat dua kubu pemikiran yang saling berseberangan dan berkembang. Yang oleh Alm. Kanda Ahmad Wahib diasosiasikan dengan Poros Bandung dan Jogja. Poros Bandung yang diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Kanda Imaduddin Abdurrahim yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) PB HMI, kemudian Alm. Mang Endang Saefuddin Anshori (rekan sejawat Cak Nur yang ditugasi menyusun Nilai Dasar Perjuangan [NDP] HMI bersama Alm. Saqib Mahmud) dengan corak pemikiran modern fundamentalisnya yang sangat di amini oleh Prof. Rasjidi. Sedangkan kubu Jogja saat itu, representasinya di wakili oleh Alm. Kanda Ahmad Wahib sendiri, kemudian Kanda Djohan Effendi, Kanda Dawam Rahardjo, Kanda Tawang Alun dkk dengan Limited Groupnya dibawah asuhan Prof. Mukti Ali. Kebetulan Cak Nur saat itu corak pemikirannya sangat cenderung kepada poros Bandung-Jakarta, sehingga saking demennya Bang Imad (sapaan Kanda Dr. Imaduddin Abdurrahim) pada Cak Nur karena pemikirannya itu, salah seorang putranya diberi nama Nurcholish pula.
Perubahan mendasar terjadi sesaat sepulang dari USA, setelah belajar dibawah asuhan Fazlur Rahman, ide-ide pemikiran yang dilemparkan Cak Nur bak menyengat, dan ini lagi-lagi diakui oleh anak mbandel seperti Ahmad Wahib, bahwa setelah melihat perubahan progressif pemikiran Cak Nur, dengan meminjam kharisma Cak Nur selaku Ketua Umum PB HMI saat itu, dia berkeliling Jogja dan Badko Jabagteng (Jawa Bagian Tengah) untuk menggaungkan pemikiran meretas perubahan sosial di tataran ummat dan bangsa yang selama ini diperjuangkannya (baca: Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib).
Dus, puncaknya adalah pidato Cak Nur dalam pertemuan halal bihalal organisasi muda Islam, 3 Januari 1970 yang berdasarkan analisisnya mengenai keadaan organisasi-organisasi politik Islam, ia merasa yakin bahwa Islam tak mungkin lagi akan mendapatkan kekuatan politik, jika masih mengharapkannya melalui jalur politik yang bersifat praktis itu. Karena itu, demi kepentingan perkembangan ummat ia pun menyerukan---yang menjadi slogan pembaruan politik Islam di Indonesia--sampai terlempar cetusan tentang Islam Yes, Partai Islam No, sebagai semboyan Islam a-politik atau lebih dikenal dengan ide sekularisasinya Cak Nur. Meski artikel ini menimbulkan kegegeran dan mendapat reaksi keras, toh akhirnya banyak pula yang mengamini dan menyetujui bahwa ber-Islam tidak perlu dilembagakan secara politik apalagi dipolitisasi demi kepentingan politik, sehingga Islam sebagai Negarapun menurut Cak Nur hanyalah sesuatu yang naif, yang paling penting adalah substansi pengejawantahan nilai-nilai Islaminya, seperti teruntai dalam dialektika kata-kata ‘Negara Islam atau Negara yang Islami’. Sejak saat itu, merebaklah pembaharuan pemikiran tentang Islam yang progressif terhadap perubahan sosial, perjalanan panjang pemikiran Islampun beralih dari Islam politik kepada pendekatan Islam cultural. Pemikiran tokoh-tokoh pembaharuan yang digerbongi Cak Nur sebenarnyapun cukup beragam, namun mainstream utama tetap pada bagaimana membangun ke-Islaman yang modern. Yang oleh Cak Nur disebut “Keislaman, Keindonesiaan dan Kemodernan” (Mungkin saat ini telah berubah mainstream masuk pada Post-Modernisme, Islam Transformatif dll). Cak Nur dalam berbagai hal memang sangat dipengaruhi Rahman (Fazlur Rahman) dalam pendekatan-pendekatan yang digunakannya untuk pemikirannya, dalam konteks kekinian, tentang Islam dan situasi kontemporer, dengan daur sederhana mencari dasar etis pada sumber ajaran Islam dengan mengkaji term-term agama dengan analisis histories-kontekstual yang kemudian menafsirkan, menjabarkan dan menerangi problem kontemporer dengan semangat etika agama yang sudah ada, dan Cak Nur merumuskan modernisasi adalah rasionalisasi, karena itu modernisasi berarti penerapan ilmu pengetahuan yang merupakan suatu keharusan, malahan kewajiban. Selain itu, pembaharuan pemikiran Cak Nur tidak hanya melingkupi permasalahan agama an sich, tetapi begitu berbunga pada masalah-masalah sosial-budaya dan kebangsaan, kerap pula membincangkan masalah membangun pluralisme, demokrasi dan memperjuangkan keadilan sosial. Sehingga oleh beberapa pihak seringkali Cak Nur dianggap biang kerok dari berkembangnya pluralisme dan liberalisme dalam ranah pemikiran di tanah air. Cak Nur adalah sosok yang elegan dalam menyampaikan ide-idenya, kritis dan transformative. Terhadap pemerintah dan system politikpun tak segan-segan ia melontarkan kritiknya, dengan ide keharusan adanya oposisi untuk menciptakan check and balance dalam upaya membangun demokrasi yang mensyaratkan adanya keterbukaan, anti diskriminasi, kebebasan informasi, berserikat, berpendapat termasuk berbeda pendapat serta oposisi tentunya.
Meskipun pro-kontra terjadi, tetaplah dia seorang tokoh yang dihormati, sehingga Bang Imad yang kebetulan tahun 2003 lalu pernah berkunjung di Pontianak dalam rangka Intermediate Training (Latihan Kader II) HMI Cabang Pontianak, sekaligus memberikan kuliah NDP, mengutarakan kekagumannya kepada sosok Cak Nur, meskipun corak pemikiran mereka cenderung berbeda.
Meski belum pernah berjumpa dengan Cak Nur secara langsung, tapi jujur saja harus diakui, bahwa warna pemikiran seorang anak manusia ini telah memberikan warna dan karakter. Pemikiran-pemikirannya juga rekan-rekan sejawatnya seperti Alm. Kanda Ahmad Wahib, Bang Imad, Kanda Djohan, Kanda Dawam dll, kerap didiskusikan berkenaan dengan konteks kekinian. Semangat kekaderannya selaku tokoh yang disegani dan menjadi referensi serta dijadikan teladan. Sekalipun belum pernah bertatap muka secara nyata, tapi corak pemikirannya telah membekas dan menggairahkan apalagi sedari dini memang menjadi rujukan dalam NDP HMI sebagai Ideologi gerakan, maka tak pelak Cak Nur telah menjadi bagian dari kancah pemikiran HMI khususnya, ummat dan bangsa secara luas.
Susah memang mencari tokoh sekaliber Cak Nur, seperti diakui oleh Fachry Ali, bahwa selama mereka di Ciputat coba terus membangun kesadaran pemikiran dan intelektualitas agar bisa menjembatani generasi intelektual agar tidak terputus, tapi tetap saja harus mengakui mereka belum bisa menyamai Cak Nur, makanya gerakan mereka adalah mengembangkan gagasan Cak Nur secara kolektif dan Harun Nasution tentunya.
Kepiawaiannya dalam mengelaborasi term-term pemikiran modern dan kekayaan intelektual beliau dalam memahami teks-teks dari tradisi Islam klasik adalah keunggulannya. Tentunya karena beliau juga memahami kajian-kajian hermeneutic, semantic atau tata bahasa Arab yang membuatnya sangat kaya akan khazanah Intelektual baik kontemporer maupun klasik. Sebagaimana kita ketahui ciri khas kaum modernis adalah orientasi pada perkembangan ilmu di Barat dan cenderung berpikiran terhadap pemikiran tradisional. Aliran modernis mempelajari Barat modern maupun Islam klasik. Mereka bersikap empati dan sekaligus kritis terhadap keduanya. Kapasitas seperti itu dimiliki oleh seorang seperti Nurcholish Madjid secara prima, Tak banyak yang mempunyai kemampuan seperti itu, paling banter dimiliki oleh Gus Dur, Syafi’i Maarif (rekan seperguruan murid Fazlur Rahman semasa di Chicago), Jalaludin Rahmat, Syu’bah Asa dan Djohan Effendi.
Bisa jadi karena kontribusi pemikiran beliau, sehingga Bintang Mahaputra Utama dari Pemerintah RI menjadi bukti pengakuan, meski bukan itu harapan beliau. Sehingga seperti profil yang disiarkan oleh Metro TV bahwa kesejahteraan Negara-Bangsa yang berperadaban merupakan pandangan idealisnya. Bahwa perdamaian, semangat pluralis dan demokratis adalah cita-citanya, sehingga julukan yang wah…sebagai Guru Bangsa dan sebagainya disematkan kepadanya.
Yah, itulah Cak Nur, ibarat tiada gading tak retak, dengan segala kelebihan dan kelemahan selaku manusia, dengan segala perbuatan baik dan buruk. Beliau telah menghadap Ilahi dengan damai. Kita telah kehilangan salah satu tokoh pemikir Islam kontemporer, mudah-mudahan akan lahir Nurcholish-Nurcholish baru.
Selamat Jalan Kanda…Semoga Allah Azza Wajalla meridhai beliau, mendapatkan ampunan atas segala dosa dan kesalahannya, dan mendapatkan kelapangan di alam sana. Amin.

0 komentar: